Perbukuan nasional kita banyak dikeluhkan karena tidak ada kebijakan yang tunggal dan terpadu.
Ajip Rosidi, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), tahun 1978 sudah mengeluhkan ini. Kritik serupa disampaikan Ketua Umum Ikapi berikutnya, Ismid Hadad, 1980.
Suatu hari, tahun 1998, sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Ikapi, saya mendampingi Arselan Harahap (Ketua Umum Ikapi 1998-2002) menghadap pejabat tinggi pemerintah untuk membicarakan pengembangan perbukuan nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketika kami baru menceritakan kondisi perbukuan negara tetangga, sang pejabat langsung memotong. ”Saya tak suka membandingkan Indonesia dengan negeri lain. Ujung-ujungnya kalian hanya akan menuduh pemerintah kurang ini kurang itu.”
Saya jadi ingat kata-kata (mantan) Mendikbud Prof Dr Wardiman Djojonegoro dalam sambutannya pada HUT Ikapi tahun 1996. Ia justru menyarankan Ikapi membuat studi banding ke negara tetangga.
Maka, 16-21 Agustus 1996, saya memimpin Tim Ikapi untuk meninjau perbukuan di Malaysia. Tim kami melaporkan hasil kunjungan ini dalam mimeograf 77 halaman berjudul Melongok Penerbitan Buku di Malaysia.
Sikap Prof Wardiman membuat saya yakin bahwa perbukuan kita, bagaimanapun kondisinya, tetap bisa dan perlu didialogkan. Syaratnya, semua peserta mengakui bahwa perbukuan adalah milik kita bersama.
Seturut Augusto Curi (Brilliant Parents Fascinating Teachers, 2003), bicara adalah mengekspresikan dunia di sekitar kita, sedangkan berdialog mengekspresikan dunia kita. Maka kita tak hanya bicara, tetapi berdialog tentang perbukuan kita.
Tanpa saling tuding
Dialog bisa dimulai dari sorotan Ketua Dewan Pertimbangan Ikapi Pusat Setia Dharma Madjid atas pembubaran Dewan Buku Nasional (DBN) oleh Kementerian Pendayagunaan Negara dan Reformasi Birokrasi, dengan alasan lembaga nonstruktural tersebut belum berkinerja baik (Kompas, 29/6/2012).
Memang, Keppres Nomor 110 Tahun 1999 mengamanatkan pembentukan DBN. Namun, saat saya menulis ”Menggulirkan Dewan Perbukuan Nasional” (Kompas, 18 September 2002), keppres tersebut belum terwujud. Baru 18 September 2002 dideklarasikan berdirinya DBN oleh para pemimpin perbukuan seperti Ikapi, Himpunan Penerjemah Indonesia, Ikatan Pengarang Aksara, dan Wanita Penulis Indonesia.
Pendirian DBN sepengetahuan Dr Malik Fadjar sebagai Mendikbud kala itu. Bahkan, staf ahlinya, Endro Sumardjo, ia izinkan mengetuai DBN. Ia juga membolehkan sebagian dari anggaran Badan Pertimbangan dan Pengembangan Perbukuan Nasional untuk membiayai kegiatan DBN, sambil menunggu peresmian DBN sebagai lembaga nonstruktural atas dasar putusan Keppres 13 September 1999.
Di situlah kami berusaha menyusun kebijakan dan strategi pengembangan perbukuan nasional dan menanggapi usulan Dewan Buku Kebangsaan Malaysia tentang Pembentukan Dewan Buku ASEAN.
Saran UNESCO
Konsep DBN diperkenalkan oleh Organisasi PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai salah satu mekanisme pengembangan perbukuan nasional serta promosi minat baca. Data 1987 menunjukkan bahwa DBN telah dibentuk di 13 negara kawasan Asia, Afrika, dan Karibia. Di Asia Tenggara, DBN juga didirikan di Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Indonesia untuk menjawab kebutuhan bangsa akan buku. Di Indonesia, DBN bentukan 1978 itu disebut Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN).
DBN Filipina berada di bawah kantor kepresidenan untuk menjamin pengembangan industri buku lewat rumusan serta perwujudan suatu kebijakan perbukuan nasional. Rancangan pengembangan buku nasional DBN Filipina itu bisa menjadi model bagi DBN di Indonesia. Artinya, perbukuan nasional sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa langsung di bawah kendali Presiden RI.
Alfons Taryadi Mantan Ketua Dewan Pertimbangan Ikapi (1998-2002)
Sumber: Kompas, 23 Juli 2012