Manusia modern kian akrab dengan fotografi, setidaknya itu menurut sebuah studi yang dilakukan oleh InfoTrends. Dibandingkan tahun 2016, mereka di tahun 2017 lebih aktif memproduksi gambar dalam rentang angka ratusan miliar. Studi yang sama bahkan memperkirakan jumlahnya mencapai 1,3 triliun di tahun 2017, terpaut jauh dari tahun 2013 yang jumlahnya mencapai 660 miliar buah.
Semua tidak lepas dari tren kepemilikan ponsel pintar dengan kamera sebagai fitur wajib yang tidak bisa dilepaskan dengan aktivitas sehari-hari. Gawai tersebut kini mendominasi hingga 85 persen dalam perangkat penangkap gambar, sementara kamera digital sendiri menyumbang 10 persen.
Kehadiran media sosial juga memperkuat tren produksi gambar ini. Semakin mudah orang untuk berbagi momen-momen pribadi mereka, memancing rasa penasaran dan keinginan meniru dari pengguna lainnya. Semudah menekan tombol ”berbagi” dari koleksi foto di ponsel dan dalam sekejap kontennya sudah tersedia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO–CP1300 merupakan pencetak foto portabel yang mengincar pemilik ponsel pintar yang ingin mengolah gambar mereka menjadi karya cetak. Dengan harga jual Rp 2 juta, perangkat ini bisa mencetak foto-foto dengan mudah dan perangkat yang mudah dibawa.
Semakin canggih perangkat, semakin tinggi resolusi kamera yang dimiliki sehingga ukuran file gambar pun semakin besar. Toh itu bukan lagi kendala karena kapasitas penyimpanan internal ponsel juga terbilang besar, itu pun masih ditambah kartu penyimpanan untuk perluasan kapasitas. Masih kurang? Ada lagi layanan penyimpanan di awan (cloud storage) yang bisa dimanfaatkan secara gratis ataupun berbayar.
Layanan seperti Google Photo bisa bertindak sebagai lemari arsip foto yang bisa mengurutkan gambar berdasarkan tanggal pengambilan, lokasi, hingga mengelompokkan berdasarkan momen tertentu. Asalkan tersambung ke jaringan internet, pengguna bisa mengakses foto yang diunggah pertama kali tanpa harus khawatir mengganggu kapasitas penyimpanan internal ponsel.
Dengan fenomena seperti ini, masih relevankah mencetak foto?
Setidaknya menurut Fujifilm mereka masih meyakini itu. Mereka menyadari bahwa pusat pencetakan foto yang ada sekarang makin berjarak dengan kaum muda, beberapa alasan seperti suasana kuno, layanan yang biasa saja, dan alasan terpenting adalah tidak ramah bagi pengguna ponsel pintar.
Tidak berhenti di foto, hasil cetakan bisa dibuat ke produk lain, seperti dekorasi rumah atau tempelan. Survei internal mereka bahkan menyebut minat tinggi dari konsumen perempuan, terutama berusia remaja.
Itulah mengapa mereka membuka Wonder Photo Shop pertama di Indonesia pada bulan Juni tahun lalu. Tempat ini memiliki tata letak dan layanan yang memanjakan para pengguna ponsel pintar, mereka tinggal datang dan memindahkan gambar yang ingin dicetak dengan mudah atau bahkan mandiri. Inisiatif ini dirintis Fujifilm di Jepang pada tahun 2014 di daerah Shibuya.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO–Konsumen tengah memilih foto dari ponsel pintar mereka untuk dicetak di Wonder Photo Shop, sebuah tempat pencetakan milik Fuji yang dibuka pertama kali di Indonesia pada bulan Juni 2017. Toko ini merupakan pendekatan berbeda untuk konsumen yang terbiasa memakai gawai seperti ponsel pintar untuk mengambil gambar tetapi enggan untuk mencetaknya.
”Bukan berarti yang lama tidak baik, tetapi kami harus menyesuaikan diri dengan tren konsumen yang ada saat ini,” kata Presiden Direktur PT Fujifilm Indonesia Masatsugu Naito dalam acara Juni lalu.
Pencetak
Kehadiran pencetak atau printer sebetulnya cukup mewadahi kebutuhan pengguna untuk mencetak foto, hanya saja sering kali terbentuk alasan kepraktisan. Printer umumnya harus tersambung dengan komputer dan membuatnya tidak portabel untuk dibawa ke mana-mana.
Lantas muncul genre pencetak yang punya spesialisasi untuk menggarap foto, terutama dari ponsel pintar. Kualitas memang sedikit dikorbankan demi mendapatkan ukuran yang kecil dan bisa dibawa ke mana pun.
Salah satunya C1300, salah satu tipe pencetak dari seri SELPHY yang dirilis oleh Canon yang bisa didapatkan dengan harga Rp 2 juta. C1300 membutuhkan set kertas dan cartridge tinta yang khusus tetapi bisa didapatkan mudah di toko kamera.
Foto yang bisa dicetak oleh perangkat ini berukuran 4R dan bisa dikirimkan melalui selot kartu memori dan diska lepas (flashdisk). Kelebihan lainnya adalah koneksi nirkabel sehingga pengguna bisa dengan mudah mengirimkan foto melalui aplikasi untuk dicetak di CP1300 dengan mudah.
Proses pencetakan berlangsung dengan segera meski harus dilakukan berulang. Ini tidak lepas dari teknik pencetakan dye-sublimation yang mengharuskan foto maju mundur di dalam pencetak untuk memasang lapisan warna. Kesempatan pertama kertas akan diisi oleh lapisan warna sian, lantas kembali untuk dilapisi warna magenta, lalu kuning, dan diakhiri warna hitam. Semua ini terjadi dalam waktu kurang dari 4 menit.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA–Pencetakan foto dari CP1300 yang dikirimkan dari ponsel pintar secara nirkabel. Mencetak foto dianggap masih relevan meski banyak pengguna ponsel yang nyaman menyimpan gambar mereka secara digital di dalam perangkat.
Warna dari hasil pencetakan CP1300 bisa dibilang sedikit pucat apabila disandingkan dengan foto yang dicetak oleh printer dengan teknologi inkjet. Untuk dipajang di dalam pigura memang kurang sesuai, tetapi untuk pemanis meja kerja atau di buku harian akan sangat sesuai.
Kelebihan lain dari CP1300 adalah dukungan daya dari baterai. Tanpa harus tergantung dari daya listrik, pencetak ini bisa beroperasi sehingga bisa dipergunakan dalam acara khusus yang sulit mendapatkan colokan listrik. Kemungkinan lain dijadikan sebagai modal kerja oleh fotografer keliling yang biasa memakai aki untuk mengisi daya pencetak, ukurannya biasanya besar dan membebani.
Acara reuni, arisan, atau interaksi sosial lainnya akan bisa mengandalkan perangkat ini. Tentu saja foto-foto yang dihasilkan dari sana tetap bisa dibagi secara digital, tetapi mencetaknya akan membuat kenangan itu berbeda sebelum tertimbun oleh banjir momen di hari berikutnya.–DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Sumber: Kompas, 2 Januari 2018