Petang di Canberra, Australia, terasa begitu lengang seperti tak berpenghuni. Sama sekali tak bisa dibandingkan dengan Jakarta. Berjalan dari Hotel Realm, tak jauh dari kantor Kementerian Luar Negeri Australia, ke Empire Circuit di Yarralumla, kawasan kedutaan besar negara mitra, hanya ada trotoar yang lebar dan kosong. Di Jakarta, situasinya jauh berbeda. Petang laksana siang, saat trotoar penuh dengan pejalan kaki, pedagang makanan, dan pengojek.
Kompas secara berurutan—sejak akhir 2017 hingga pertengahan tahun 2018—mengunjungi Canberra, Sydney, dan Melbourne, serta merasakan betapa suasana kota-kota di Australia itu juga berbeda. Dibandingkan dengan Melbourne dan Sydney, kota Canberra terasa “kaku”.
Canberra kental dengan aktivitas birokrasi. Pusat kota Canberra berisikan kantor pemerintah dan kedutaan asing. Warganya kebanyakan ialah aparat sipil negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak mengherankan, sampai saat ini masih ada yang keliru menganggap ibu kota Australia adalah Sydney, bukan Canberra. Hal itu bisa dimengerti karena Sydney memiliki semua “simbol” yang diasosiasikan dengan Australia, seperti Gedung Opera yang ikonik. Sydney juga merupakan kota tertua yang didatangi warga Eropa pada 1788. Mengapa bukan Sydney ataupun Melbourne yang ditetapkan sebagai ibu kota Australia? Persaingan kedua kota itu sangat keras. Ketika Melbourne dipertimbangkan sebagai ibu kota, warga Sydney menolak karena menganggap kota mereka lebih pantas. Bukan saja kota terbesar, Sydney pun memiliki populasi terbesar.
Untuk meredam permusuhan itu, akhirnya diambil jalan tengah. Pada 1901, Federasi Australia menetapkan ibu kota Australia akan berada di antara Sydney dan Melbourne. Pada 1927 Canberra resmi ditetapkan sebagai ibu kota dan parlemen Australia mulai bersidang di Canberra pada 1929.
Alasan keamanan
Berbeda dari Australia, junta militer Myanmar pada 6 November 2006, dengan alasan keamanan, menetapkan Naypydaw sebagai ibu kota baru, menggantikan Yangon. Naypydaw yang berarti ‘kota kerajaan’ terletak sekitar 320 kilometer sebelah utara Yangon. Kota itu berada lebih “di tengah” dari sudut pandang keamanan dan stabilitas.
Kota baru ini lebih strategis dibandingkan Yangon, dan lebih dekat menjangkau tiga negara bagian lainnya, yaitu Shan, Kayah, dan Kayin. Yangon pada 2008 juga dihantam topan Nargis yang menewaskan lebih dari 100.000 orang sehingga dinilai rentan bencana alam. Alasan resmi junta militer adalah Yangon terlalu padat oleh penduduk dan juga bangunan sehingga sulit bagi pemerintah untuk memperluas fasilitas perkantoran.
Pembangunan kota Naypydaw dimulai pada 2002 dan berlangsung satu dekade. Sejumlah sumber menyebutkan, pembangunan ibu kota baru itu melibatkan 25 perusahaan konstruksi. Sebagaimana Canberra, Naypydaw juga lengang.
Alasan keamanan juga menjadi alasan Pemerintah Pakistan pada 1960-an memindahkan ibu kota dari Karachi ke Islamabad. Karachi dianggap kelewat rentan untuk serangan dari Laut Arab. Kota yang merupakan pusat ekonomi itu juga rentan terhadap kepentingan bisnis para pejabat pemerintah.
Sebaliknya Islamabad, dari segi keamanan lebih strategis. Selain dekat dengan pusat militer di Rawalpindi, kota ini dekat dengan Kashmir, wilayah yang menjadi sumber konflik dengan India.
Dari sudut pencitraan, Islamabad dianggap lebih metropolis karena memiliki Indeks Pembangunan Manusia kedua tertinggi di Pakistan. Islamabad memiliki pula sekitar 20 universitas dan merupakan salah satu kota yang relatif teraman di Pakistan.
Dengan sejumlah alasan, beberapa negara tetangga pernah melakukan pemindahan ibu kota, seperti yang dilakukan Indonesia sekarang. Tujuan utamanya cenderung sama, yaitu agar fungsi pemerintahan negara berjalan lebih efektif dan menciptakan kemajuan bagi semua wilayah negara. (MYR/BEN/JOS)
Sumber: Kompas, 28 Agustus 2019