Pandemi Covid-19 telah memaksa dunia pendidikan lebih cepat masuk dalam sistem belajar jarak jauh dengan mengandalkan teknologi internet. Pertanyaannya, kurikulum model apa yang lebih relevan dengan situasi sekarang?
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO–Siswa kelas V SD Ricci II, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (3/4/2020), mengikuti pelajaran yang diselenggarakan sekolah lewat aplikasi telekonferensi dalam jaringan internet.
Kurikulum dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketika zaman berubah, kurikulum pun perlu disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru yang berbeda dari sebelumnya. Salah satu tantangan terkini adalah pembelajaran jarak jauh dengan mengandalkan teknologi internet. Kurikulum seperti apa yang cocok dengan situasi terkini?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Coba kita ikuti kisah beberapa orangtua yang mengasuh anak-anaknya untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh yang diterapkan sekolah sejak pandemi Covid-19 mendera Indonesia. Mereka punya pengalaman nyata bagaimana kurikulum pendidikan diwujudkan dalam praktik belajar dari rumah. Tak selalu mudah, meski ada harapan pengembangan.
Kita mulai dari Inneke, karyawan asal Jakarta, yang mempunyai dua anak yang bersekolah di Bimbingan Minat Baca dan Belajar Anak (BiMBA). Dia menyebut BiMBA semacam sekolah pendidikan anak usia dini. Selama pembelajaran jarak jauh berlangsung dua bulan, dia melakukan penyesuaian diri, seperti membagi waktu bekerja dan mendampingi anak belajar.
”Guru kedua anakku mengirimkan tugas melalui aplikasi pesan instan. Tidak ada modul seperti pembelajaran di kelas. Aku baru bisa mendampingi kedua anakku belajar jika mereka sudah mood,” ujar Inneke.
Inneke mengakui, suasana belajar di rumah berbeda dengan di kelas. Anak pertamanya yang berusia tiga tahun lebih menjadi lebih banyak bermain dibandingkan mengerjakan tugas yang diberikan guru. Padahal, di kelas, Inneke mendapat laporan bahwa si anak sudah mandiri. Kondisi serupa terjadi pada anak kedua yang berusia 2,5 tahun.
Lain dengan cerita Kinanti Kusumawardani, ibu muda yang tinggal di Bintaro, Jakarta Selatan. Kinanti dan suami adalah tipe orangtua yang mengimplementasikan zero tech policy atau tidak memberikan gawai kepada anak sebelum pandemi Covid-19. Dengan demikian, membuat anak bisa menggunakan teknologi adalah tantangan tersendiri.
Anak kedua Kinanti yang duduk di kelas I SD, kemampuannya mengetik dan tanggung jawab sebagai pembelajar belum muncul. Berbeda dengan kakaknya yang duduk di kelas IV SD. Padahal, sekolah kedua anak Kinanti menerapkan pembelajaran jarak jauh metode dalam jaringan (daring) langsung dan tidak langsung.
Kinanti mengatakan, anak keduanya harus didampingi secara penuh. Selama pembelajaran jarak jauh, anaknya cenderung memilih bermain dengan adik bayi dibandingkan belajar. Kalau tidak didampingi, dia tidak mengerjakan tugas sekolah yang harus diselesaikan.
Menurut Kinanti, prinsip pembelajaran jarak jauh yang digunakan sebagian besar institusi pendidikan sekarang adalah classroom as usual atau dengan kata lain, proses pembelajaran tetap terselenggara seolah-olah siswa dan guru masih berada di kelas. Namun, tatap muka dilakukan melalui perangkat komputer dan layar untuk menggantikan tatap muka secara langsung.
Pada saat bersamaan, implementasi pembatasan sosial berskala besar menyebabkan layanan pendukung rumah tangga dibatasi. Akibatnya terjadi pengalihan beban pekerjaan rumah tangga ke keluarga. Bagi sebagian keluarga, hal itu menjadi tuntutan yang harus disesuaikan dalam kehidupan. Jika ditambah harus mendampingi anak mengikuti pembelajaran jarak jauh metode daring sampai tujuh jam, ada tekanan psikis baru.
”Mencari waktu mendampingi anak belajar adalah tantangan luar biasa. Tugas mereka beres, tetapi tugas saya dan suami di pekerjaan bisa terbengkalai. Begitu pula sebaliknya,” ujar Kinanti.
Cerita berbeda dialami Didit, karyawan swasta yang tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan. Dia memiliki tiga anak dari jenjang PAUD, SD, dan SMP. Didit dan istri memang sudah membekali anak dengan gawai sehingga memudahkan anak mengikuti pembelajaran jarak jauh metode daring langsung dan tidak langsung.
Kendati demikian, dia mengakui tetap harus beradaptasi dengan pola hidup baru. Istri memegang peran utama mengawasi dan mendampingi anak belajar, sedangkan Didit punya peran membantu mendokumentasikan aneka tugas untuk disampaikan kepada guru. Dia pun harus pintar membagi waktunya bekerja.
”Suka tidak suka, menyesuaikan. Seiring waktu pembelajaran jarak jauh berjalan terjadi penyesuaian, seperti wujud tugas semakin realistis dan guru mau menyempatkan menyapa personal lewat voice note,” tuturnya.
Di luar itu, Didit menyebut adanya tantangan menjaga kesehatan psikis dirinya dan istri, lalu ketiga anak. Semakin lama pembelajaran jarak jauh berlangsung, pada anak mulai muncul gejala kecemasan, seperti suka menggerutu. Sementara dia dan istri tidak bisa selalu memastikan untuk tidak ikut emosi.
Kurikulum
Apakah Kurikulum 2013 yang tetap menjadi acuan dalam proses pembelajaran jarak jauh selama masa pandemi Covid-19 sudah cukup tepat? Guru Besar Tetap Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Said Hamid Hasan berpendapat, Kurikulum 2013 tidak menentukan sistem pendistribusian pelajaran. Jadi, pembelajaran jarak jauh bisa dipakai sebagai pengganti tatap muka.
Kurikulum 2013 merancang pengalaman belajar agar siswa mengamati, bertanya, mengumpulkan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Pengalaman belajar tersebut bersifat saintifik dan bisa dilakukan melalui pembelajaran jarak jauh.
”Materi pelajaran perlu diperkaya dengan keadaan terkini. Apabila hanya mengandalkan buku teks, akan selalu tertinggal. Model yang pas sekarang adalah pembelajaran terbuka sesuai kenyataan yang dialami siswa sehingga penilaiannya pun lebih autentik,” katanya.
Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2020, Said merasa guru perlu berefleksi tentang kompetensi dasar Kurikulum 2013. Misalnya, memetakan kembali kompetensi dasar Kurikulum 2013 mengenai gejala/fenomena/bencana alam dan kehidupan sosial ekonomi budaya saat ini. Kompetensi dasar untuk siswa SMA yang meliputi mata pelajaran Fisika, Kimia, Biologi, Sosiologi, Antropologi, Ekonomi, dan Sejarah bisa diperkaya dengan contoh terkait pandemi Covid-19.
”Tim pusat kurikulum pemerintah barangkali dapat membantu menyeleksi kompetensi dasar Kurikulum 2013 yang sesuai untuk kondisi terkini. Jika perlu, mereka mengembangkan kompetensi dasar khusus sebagai tambahan,” ucap Said.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Kebijakan belajar di rumah yang ditetapkan pemerintah terkait wabah Covid-19 dimanfaatkan SD Al Azhar 15 Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, untuk menggelar kegiatan belajar-mengajar secara daring, Selasa (17/3/2020). Siswa dan guru memanfaatkan aplikasi Google Classroom untuk ruang belajar dan Zoom Cloud Meeting untuk telekonferensi. Perkembangan teknologi dimanfaatkan pihak sekolah untuk menyiasati keadaan yang tak diduga seperti wabah Covid-19. Pembelajaran dimulai sejak pukul 07.30 hingga pukul 13.30.
Elaborasi luring
Spesialis Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah Tanoto Foundation, Makinuddin Samin, menyarankan guru bisa memanfaatkan program pembelajaran yang disiarkan TVRI. Guru cukup mengomunikasikan penugasan dan penyampaian umpan balik kepada orangtua ataupun siswa. Saran ini diperuntukkan bagi siswa di daerah yang jaringan internetnya amat terbatas.
Apabila sekolah berada di luar desa, apalagi berada di luar kota kecamatan, dan infrastruktur komunikasi terbatas, Samin berpendapat, upaya alternatif lainnya adalah sekolah bisa bekerja sama dengan pemerintahan desa dan kelurahan untuk membuka kotak penugasan di kantor desa/kelurahan. Sekolah dapat pula bekerja sama dengan PT Pos Indonesia (Persero), dibantu dinas pendidikan setempat, untuk pendistribusian penugasan.
”Guru jangan berkunjung langsung ke rumah siswa karena berpotensi terjadinya penularan virus di masa pandemi ini,” katanya.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim berpendapat, pemerintah tetap harus menelurkan panduan pembelajaran jarak jauh secara nasional, baik untuk asyncronous (daring tetapi tak langsung), syncronous (daring langsung), maupun luring. Panduan pembelajaran jarak jauh nasional ini diharapkan menjadi acuan sekolah ketika menghadapi bencana, tak melulu terkait pandemi Covid-19.
”Pembelajaran jarak jauh metode daring, baik asyncronous maupun syncronous, tidak ramah bagi siswa miskin dan rentan miskin. Hal itu diakui oleh banyak negara,” ujar Satriwan.
Dia membenarkan perlunya penyesuaian-penyesuaian standar isi kurikulum ketika pembelajaran jarak jauh terus berlangsung. Sebagai contoh, standar proses. Jika pada hari normal guru bisa menggelar minimal-maksimal pertemuan untuk berdialog dengan siswa, saat pembelajaran jarak jauh, standar itu disesuaikan.
Satriwan menambahkan, selama pembelajaran jarak jauh berlangsung, sebenarnya memungkinkan perampingan atau integrasi materi ajar. Misalnya, mata pelajaran satu rumpun dapat disinergikan, lalu diajarkan saat bersamaan.
Teknologi
Richardus Eko Indrajit, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Smart Learning and Character Center, mengakui pembelajaran jarak jauh bukanlah kurikulum, melainkan sebuah model pendistribusian pelajaran. Pembelajaran jarak jauh berkembang karena ada kebutuhan belajar peserta didik yang, karena alasan tertentu, tidak dapat secara fisik bertemu dengan sumber belajar.
Dia menyebut PGRI berusaha meningkatkan kapabilitas dan literasi guru agar siap menghadapi arus teknologi digital. Salah satu konsep pelatihan yang sedang dikembangkan adalah pedagogi siber.
”Teknologi digital membuat terjadinya konvergensi antara pendidikan formal, nonformal, dan informal sehingga setiap negara harus mampu beradaptasi. Saya yakin, setelah pandemi berakhir akan ada normal baru, yakni peran teknologi informasi bagi dunia pendidikan akan semakin signifikan,” tuturnya.
Head of Curriculum NUADU Frahel Theodora saat menghadiri diskusi virtual ”Pintek EduTalk”, Kamis (30/4/2020), di Jakarta menyampaikan, tantangan transformasi digital untuk dunia pendidikan bukan terletak pada kompetensi, melainkan pengekangan mental yang dibuat oleh sumber daya manusia sekolah. Berbagai solusi teknologi pendukung kegiatan belajar sudah melimpah, tetapi guru dan sekolah telanjur terbiasa dengan model belajar luring.
Di luar pengekangan mental, dia mengakui ada tantangan ketersediaan dana dan infrastruktur internet. Persoalan tersebut terjadi di dalam dan di luar negeri.
”Kami tawarkan solusi NUADU kepada guru-guru di Vietnam. Kendala kami sama saat di Indonesia, yaitu mental guru. Ditambah lagi, sebagian guru ternyata gagap memakai teknologi karena penjelasan teknis berbahasa Inggris,” tutur Frahel.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Awaluddin Tjalla mengatakan, guru dan kepala sekolah perlu menyusun program kegiatan pembelajaran harian dan mingguan. Program tersebut perlu dilengkapi dengan strategi pendistribusiannya dengan berbagai media.
”Guru dan kepala sekolah harus kreatif dan inovatif,” katanya.
Oleh MEDIANA
Editor ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 3 Mei 2020