Warga Mangunharjo di pesisir barat Kota Semarang berhasil menanam mangrove seluas 70 hektar di kawasan tersebut. Mangrove tersebut bukan saja menjadi benteng alami yang melindungi permukiman dari gelombang laut, tapi juga memulihkan lingkungan.
Sururi (62) belum tenang meski dirinya dan kawan-kawannya berhasil menanam mangrove seluas 70 hektar di pesisir Kota Semarang, Jawa Tengah. Ia merasa lahan tersebut bisa saja sewaktu-waktu diambil alih sebuah pengembang yang telah membeli lahan itu sejak tahun 2000-an.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Nelayan membawa lumpur di dasar air untuk melapisi bandeng bakar lumpur saat menjamu pengunjung di pinggir pantai Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (21/6/2019). Sejumlah warga setempat sejak tahun 2000-an berupaya memulihkan kondisi lahan yang terabrasi akibat hilangnya mangrove. Upaya itu kini telah menunjukkan hasil dengan pulihnya 70-an hektar hutan mangrove meski belum mampu mengembalikan seluruh lahan tambak warga yang tergenang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak abrasi parah tahun 1998-an, warga yang mengelola tambak di daerah itu menjual lahan-lahannya kepada pengembang. Kini, menurut Prof Sudharto P Hadi, pakar lingkungan Universitas Diponegoro Semarang yang juga mendampingi Sururi dan kawan-kawan, sedikitnya 65 persen lahan di pesisir Kota Semarang telah dikuasai perusahaan swasta.
Warga setempat kini menyewa lahan yang telah tergenang tersebut dari perusahaan. Pengakuan warga, setiap tahun Rp 4 juta-Rp 6 juta dibayarkan sebagai uang sewa. Biaya ini dinilai murah apabila dibandingkan hasil panen tambak berupa bandeng maupun udang yang berton-ton,
Hasil panen yang tinggi ini diakui warga dirasakan sejak tanaman mangrove yang ditanam Sururi dan kawan-kawan sejak tahun 2000-an itu tumbuh besar. Gelombang air laut dapat diredam oleh benteng alami pesisir tersebut. Selain itu, keberadaan mangrove meningkatkan kualitas kesehatan air.
PAPARAN DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN JAWA TENGAH–Paparan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Kamis (20/6/2019) di Semarang, Jawa Tengah terkait kondisi mangrove.
Selain hasil tambak, sejumlah warga pun menjalankan perikanan tangkap dengan memburu aneka jenis ikan. Mereka tak perlu lagi menghidupkan mesin pendorong perahunya ke tengah laut, cukup di dalam dan sekitar lahan bekas abrasi yang masih tenggelam untuk memasang perangkap kepiting, udang liar, dan ikan.
Ketua Rukun Nelayan Gisik Makmur di Mangkang Wetan – tetangga Mangunharjo – Mukharor mengatakan keberadaan mangrove dirasa positif bagi nelayan tangkap seperti dirinya. Selain melindungi langsung permukiman nelayan dari gelombang laut, mangrove menjadi habitat baik bagi kepiting serta menahan berbagai jenis ikan untuk tetap tinggal di saat air berangsur surut.
“Kepiting tak mungkin bikin sarang di tempat yang tidak ada mangrove. Dulu nangkap ikan seharian, hasilnya kurang, sekarang ikan banyak karena masuk lama di mangrove,” kata dia. Mukharor menunjukkan anak buahnya yang baru saja menyetor kepiting hasil menaruh bubu (jebakan) semalaman dekat mangrove, ke pengepul setempat seharga Rp 120.000.
Keberadaan mangrove serta upaya restorasi yang dikerjakan Sururi beserta kelompoknya, Sumber Makmur, pun menarik perhatian perguruan tinggi. Apabila berlangsung riset atau proyek penanaman, Sururi selalu menggandeng Mukharor untuk menyediakan jasa transportasi perahu.
Keberadaan mangrove serta upaya restorasi yang dikerjakan Sururi beserta kelompoknya, Sumber Makmur, pun menarik perhatian perguruan tinggi.
“Malam kami tangkap ikan, lalu pagi sampai siang antar mahasiswa penelitian. Saya dapat tambahan penghasilan dari situ juga,” kata dia.
Potensi jasa transport inilah yang kemudian berkembang di kepala Sururi untuk diperluas menjadi jasa ekowisata mangrove di Kota Semarang. Mulai dari atraksi trekking, edukasi mangrove, hingga penyediaan kuliner setempat berupa bandeng bakar lumpur, kepiting saus, dan tiram bakar diharapkannya bisa menjadi sumber penghidupan baru bagi warga setempat.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Rombongan pengunjung menikmati sajian aneka makanan laut yang disediakan warga saat mengunjungi area restorasi mangrove di Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (21/6/2019). Sejumlah warga setempat sejak tahun 2000-an berupaya memulihkan kondisi lahan yang terabrasi akibat hilangnya mangrove. Upaya itu kini telah menunjukkan hasil dengan pulihnya 70-an hektar hutan mangrove meski belum mampu mengembalikan seluruh lahan tambak warga yang tergenang.
Namun wacana untuk mengelola 70 hektar yang telah berhasil dihutankan – dan akan terus diperluas – tersebut saat ini masih jadi angan-angan. Apalagi Sururi mengingat lahan yang dihutankan tersebut merupakan milik perusahaan swasta.
Kawasan lindung
Area tersebut dikuasai pengembang karena awalnya tata ruang Kota Semarang menempatkannya sebagai kawasan industri. Namun kini, Perda Provinsi Jateng Nomor 13 tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Jateng, menempatkan hutan mangrove sebagai kawasan lindung.
Perda RZWP3K Provinsi Jateng ini yang kemudian akan menjadi acuan bagi Kota Semarang untuk memperbaharui tata ruangnya. Sudharto P Hadi mengusulkan agar hutan mangrove yang berhasil ditanami di seputar Mangunharjo tersebut ditetapkan Pemkot Semarang menjadi Ruang Terbuka Hijau.
Bahkan, ia pun mendorong agar Pemkot Semarang membelinya seperti yang dilakukan Pemkot Surabaya atas hutan mangrove di Wonorejo. Kemudian, pengelolaan hutan mangrove tersebut bisa dikerjakan kelurahan atau kelompok masyarakat.
M Imran Amin, Direktur Aliansi Restorasi Ekosistem Mangrove (MERA) mengatakan inisiatif dan aksi nyata warga ini merupakan modal kuat untuk bekerja di Semarang. MERA terjun ke Kota Semarang setelah bekerja sama dengan PT Djarum yang telah lebih dulu memberikan pembiayaan penanaman mangrove di Mangunharjo.
Sebelum mengerjakan penanaman mangrove dari Djarum, mulai tahun 2000-an, Sururi telah mengerjakan proyek penanaman mangrove dari Pemprov Jateng dan gerakan nasional reboisasi hutan dan lahan (Gerhan) dari Kementerian Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Proyek Gerhan ini kemudian berhenti diterimanya di tahun 2007 yang kemudian mengantarkan Sururi diperkenalkan Sudharto dengan Djarum.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Kondisi di pinggir pantai Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (21/6/2019). Sejumlah warga setempat sejak tahun 2000-an berupaya memulihkan kondisi lahan yang terabrasi akibat hilangnya mangrove. Upaya itu kini telah menunjukkan hasil dengan pulihnya 70-an hektar hutan mangrove meski belum mampu mengembalikan seluruh lahan tambak warga yang tergenang.
Menurut Sururi, sekitar 1,4 juta bibit tanaman disediakannya bagi Djarum untuk ditanam di Brebes, Tegal, Pemalang, Semarang, Demak, Pati, Jepara, dan Rembang. Di Semarang, penanaman mencapai hampir separuhnya, yaitu 650.000 bibit.
Diakuinya, penanaman mangrove memiliki risiko kegagalan tinggi. Ini karena kondisi gelombang laut maupun keberadaan hewan ternak kambing yang memakan pucuk daun bibit.
CEO PT Djarum Victor Hartono menyebut kegagalan penanaman mangrove bisa mencapai 80 persen. Hal ini yang salah satunya mau bergabung dengan MERA untuk meningkatkan keberhasilan pemulihan ekosistem mangrove di Kota Semarang.
Imran mengatakan berbagai kegagalan penanaman mangrove disebabkan karena perencanaan yang minim. “Kami tak mau sekadar penanaman berapa yang ditanam, tapi berapa luas ekosistem mangrove yang fungsi ekologinya telah dipulihkan,” kata dia.
Secara teknis, perencanaan tersebut dimulai dengan pemetaan kondisi alam termasuk arah gelombang, lokasi sungai hingga jenis mangrove yang ditanam. Jenis tanaman pun penting karena keanekaragaman hayati merupakan salah satu faktor ekologi.
Ia mengatakan bila sebuah penanaman mangrove berhasil tapi hanya berupa satu jenis tanaman, itu tak ubahnya sebuah hutan monokultur. Artinya, secara tutupan lahan terpenuhi, namun fungsi ekologi belum terpulihkan. Di sekitar Mangunharjo, jenis mangrove yang ditanam sebagian besar berupa rhizopora. Jenis avicenia tampak di sejumlah lokasi sedangkan jenis bruguiera sangat sedikit.
Tak kalah penting, kata dia, pemetaan sosial dan dukungan dari masyarakat hingga pemerintah daerah pun dilakukan agar restorasi mangrove mendapatkan dukungan. Diantaranya, melibatkan diri dalam perubahan tata ruang Kota Semarang serta penyusunan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove di daerah dinilainya penting agar rencana restorasi mangrove sejalan dengan perencanaan daerah.
Selain bekerja di Kota Semarang, MERA yang dibentuk Yayasan Konservasi Alam Nusantara mengawali kerja di hutan mangrove Kota Jakarta dengan melibatkan Indofood, APP Sinarmas, Chevron, dan Djarum. Di Dumai dan Bengkalis, MERA menggandeng Chevron.
“Kami berharap 500.000 hektar mangrove di seluruh Indonesia bisa direhabilitasi,” kata dia. Ia pun menyebut sejumlah 50 persen mangrove Indonesia telah hilang akibat alih fungsi lahan untuk industri, tambak, dan permukiman. Di Jawa, sekitar 80 persen hutan mangrove dinyatakan hilang.
Upaya memulihkan kondisi mangrove seperti ini diakui tak ringan karena berkejaran dengan dampak perubahan iklim yang kian terasa bagi warga pesisir. Keberpihakan kebijakan dan anggaran diperlukan agar benteng alami di pesisir ini kembali melindungi Kota Semarang, maupun kota-kota lain di pesisir pantai di Indonesia.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 23 Juni 2019