Menambang Emas Tanpa Merkuri

- Editor

Senin, 22 Januari 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pelarangan penggunaan merkuri di pertambangan emas rakyat mulai berlaku Maret 2017. Itu berdasarkan Instruksi Presiden dan Undang- Undang yang meratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri.

Bangun instalasi pengolah emas nonmerkuri pun dirancang, antara lain memakai sianida, tiosulfat, dan tiourea. Penyesuaian sistem proses diperlukan untuk meredam dampak negatif bahan alternatif itu bagi manusia dan lingkungan.

Merkuri yang dikenal dengan nama hidrargirum (Hg) digunakan di pertambangan emas sejak 35 abad silam, antara lain zaman Mesir kuno. Logam berbentuk cair dalam suhu kamar ini dipakai mengekstraksi, yaitu memisahkan emas dari bahan lain menurut beda kelarutannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selama ini merkuri atau air raksa banyak dipilih petambang karena prosesnya sederhana, mudah, dan murah. Namun, emas yang terekstraksi sedikit sehingga banyak emas terbuang bersama limbahnya. Dalam limbah, merkuri ikut terbuang.

Di lingkungan, bahan berbahaya itu mencemari tanaman pertanian dan organisme di perairan. Dalam bentuk gas, pencemaran melintasi batas negara. Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, termasuk area dengan tingkat pencemaran mencapai 40 persen.

Menurut Mercury Watch, pelepasan merkuri di Indonesia terbesar dari pertambangan rakyat skala kecil, 57 persen. Air raksa sulit terdegradasi hingga memicu keracunan, kecacatan, dan kematian, seperti dialami warga Minamata, Jepang.

Kini pemakaian merkuri dilarang di 147 negara, termasuk Indonesia, terkait kesepakatan Konvensi Minamata tentang merkuri. Presiden RI meratifikasi konvensi ini dengan UU No 11/2017 pada 19 September 2017. Pada 9 Maret 2017, ada Instruksi Presiden terkait merkuri, termasuk penghentian pemakaian merkuri di tambang rakyat.

Penghapusannya mengancam mata pencarian ribuan petambang yang tergantung bahan ini. Pertambangan emas skala kecil (PESK) menghasilkan sekitar 80 ton per tahun.

Alternatif bahan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi koordinator penerapan Konvensi Minamata menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN). ”Program ini melibatkan 17 kementerian dan pemangku kepentingan,” kata Direktur Pengelolaan Bahan Berbahaya Beracun KLHK Yun Insiani.

Salah satu komponen RAN adalah riset dan pengembangan teknologi proses untuk menghasilkan teknik alternatif pengolahan emas nonmerkuri ramah lingkungan. Sejumlah bahan alternatif diteliti, antara lain sianida, tiosulfat, dan tiourea.

Sianida berdaya larut kuat sampai 90 persen untuk mengekstrak emas, tetapi berisiko ada racun. Untuk mengolah emas, harus ada proses tambahan mengolah limbahnya jadi sianat agar daya toksinnya berkurang 1.000 kali dan memenuhi baku mutu lingkungan.

Untuk tiourea, ekstraksi emas 46 persen, tingkat keasaman tinggi atau bersifat korosif. Adapun daya ekstraksi tiosulfat 38 persen, prosesnya lebih rumit, dan senyawa emas terbentuk kurang stabil, tetapi ramah lingkungan. Tiosulfat bisa untuk bijih emas mengandung karbon.

Program nasional penghapusan merkuri melibatkan tim peneliti dan perekayasa dari Pusat Teknologi Sumber Daya Mineral Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PTSDM BPPT). Tim itu merancang bangun proses pengolahan emas dengan bahan nonmerkuri.

Tim diketuai Dadan M Nurjaman mengembangkan teknik pengolahan emas skala kecil nonmerkuri sejak 2014. Hasilnya berupa pabrik percontohan kapasitas 1,5 ton di Ciampea. Unit pengolahan emas ini diuji coba pada Juni 2017 dengan bijih emas dari tambang emas Gunung Pongkor. Dari proses itu, diperoleh emas 91,2 persen dari bijih yang diolah.

Instalasi PESK itu dilengkapi pengolahan tailing atau limbah dan memakai sianida untuk mengekstraksi emas. Pengolahannya dilakukan di tabung reaktor pelindian dan penghancuran limbah. Desain teknik proses ini, menurut Widi Brotokusumo, pendesain reaktor itu, ialah modifikasi teknologi proses sianidasi yang dikembangkan Selandia Baru. Reaktor dipakai untuk bijih emas berbutir halus.

”Tim perekayasa menghasilkan inovasi, yakni rancang bangun dan rekayasa pengolahan emas skala kecil dilengkapi reaktor pelebur emas terpadu,” kata Dadan Nurjaman yang juga Kepala PTSDM BPPT. Di satu reaktor bisa dilakukan dua proses, yakni pengolahan lindi dan destruksi tailing. Pada reaktor sama dilakukan pengambilan emas sisa pelindian lewat pemisahan debu karbon dengan semburan udara.

Material bijih emas yang telah dihancurkan jadi butiran halus di reaktor dicampur sianida dan kapur jadi senyawa emas sianida (AuCN) terlarut di air. Emas sianida diabsorb dengan karbon aktif. Karbon aktif yang mengandung emas dipisahkan dengan saringan. Karbon aktif pun dibakar jadi abu. Lalu abu mengandung emas itu dilebur dengan boraks dan menghasilkan emas di bagian bawah dan slag di atas. Emas didapat setelah pendinginan. Proses itu berlangsung 72 jam.

Sementara pengolahan limbah dilakukan dengan mencampur antara lain sodium metabisultite (SMBs) di tangki pelindian lalu diendapkan di kolam. Itu menurunkan sianida hingga baku mutu lingkungan menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 202/2004.

Pengolahan emas dengan reaktor bisa memakai bahan pengekstraksi lain, seperti tiourea dan tiosulfat. Itu perlu penyesuaian material. Untuk tiourea bersifat korosif, tabung reaktor memakai baja tahan karat, agar tak cepat berkarat.

Pengolahan emas sistem baru ini dibangun di pertambangan emas Sampay, Lebak, Banten, Oktober 2017. Proyek ini dilakukan KLHK, bersama BPPT dan pemerintah daerah setempat. Instalasi ini mirip dengan yang dibangun di Ciampea.

Penerapannya di tambang rakyat bisa memadukan unit yang ada, yakni mesin penghancur dan mesin penggerus bijih emas. Penambahannya hanya reaktor pelindian dan penghancur tailing. Reaktor ini bisa dipakai secara kolektif. Reaktor 1,5 ton menampung bijih emas dari 10 petambang.

Menurut rencana, KLHK akan membangun fasilitas serupa di 14 kabupaten di Indonesia, antara lain di Barito Barat, Kalimantan Tengah, agar para petambang rakyat tak lagi memakai merkuri. Pendapatan mereka pun meningkat dan lingkungan terjaga.–YUNI IKAWATI

Sumber: Kompas, 22 Januari 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 44 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB