Kecelakaan nuklir di PLTN Fukushima Daiichi, Jepang, pascatsunami memberi pelajaran berharga bagi negara lain, terutama Indonesia yang sedang merencanakan pembangunan PLTN. Pemerintah telah menyiapkan pembangunan PLTN sejak lama, tetapi siapkah kita dengan segala risiko yang terjadi apabila PLTN ada di Tanah Air?
Sebelum merealisasikan pembangunan PLTN, pemerintah memilih membangun reaktor nuklir riset. Reaktor Penelitian Triga Mark II di Bandung menjadi saran pelatihan, riset, dan pembuatan isotop radioaktivitas. Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) juga mengembangkan Pusat Penelitian Tenaga Atom Pasar Jumat. Di Yogyakarta juga ada Pusat Penelitian Gamma dan Reaktor Kartini.
Di sisi sumber daya manusia untuk pengembangan energi nuklir telah dilakukan sejak lama. Batan sudah mempunyai Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir sejak tahun 2001. Selain itu, UGM, ITB, dan Batan juga mempunyai tenaga ahli nuklir yang jumlahnya ratusan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Indonesia telah lama merencanakan pembangunan PLTN, yang diusulkan pertama kali sejak tahun 1968 di sebuah seminar di Cipayung, Jawa Barat. Seminar itu menghasilkan: PLTN mendesak karena kebutuhan listrik yang semakin tinggi, sementara pasokan masih rendah. Namun, hingga kini, perencanaan pembangunannya masih pasang surut.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Tumiran, pernah mengungkapkan, DEN akan tetap mengusulkan rencana pembangunan PLTN tetap dilanjutkan. ”Kalau tidak ada kasus Fukushima, tahun 2020 pembangunan (PLTN) sudah dimulai. Undang-undang tentang nuklir juga mengamanatkan demikian,” kata Tumiran.
Kontroversi soal keberadaan PLTN di Tanah Air juga terjadi di kalangan mahasiswa. Pongga Dikdya Wardaya, mahasiswa Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Teknologi Bandung, berpendapat, dari segi keilmuan, SDM, dan sumber daya energi nuklir, Indonesia sudah layak membangun PLTN.
”Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tinggi, kebutuhan listrik tentu akan meningkat. Nah, pasokan listrik dengan sumber daya alam yang ada sekarang tentu akan habis dalam lima sampai sepuluh tahun mendatang. Jadi, energi nuklir sangat mungkin digunakan untuk listrik,” jelas Pongga.
Persiapan untuk pembangunan PLTN, seperti SDM dan sumber uranium, menurut Pongga, sudah mencukupi sehingga PLTN bisa segera diwujudkan. Hanya saja, Pongga menambahkan, kebaikan energi nuklir belum tersosialisasikan dengan baik.
”Masyarakat tidak mengetahui aplikasi nuklir yang bisa digunakan untuk pengobatan, radiologi, dengan menggunakan radio isotop. Nuklir juga bisa menciptakan varietas padi baru,” ujar Pongga.
Di sisi lain, ada pula mahasiswa yang tidak setuju dengan pembangunan PLTN di Tanah Air. Berto Sitompul, mahasiswa Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan, mengungkapkan, energi nuklir bukanlah energi pilihan untuk pembangkit listrik.
”Sejatinya, kita tak perlu bersibuk diri dengan agenda pembangunan PLTN. Sebab, kita masih bisa memenuhi kebutuhan energi sampai dua dekade ke depan dengan memberdayakan sumber daya energi potensial, seperti mikrohidro, panas bumi, biomassa, surya, dan tenaga angin, yang ketersediaannya begitu berlimpah,” ungkap Berto.
Alternatif
Menurut Berto, PLTN bukanlah energi pilihan di Indonesia karena mempunyai risiko yang besar. ”Biaya PLTN mahal dan permasalahan limbah nuklir. Sejarah menyaksikan bahwa negara-negara maju, seperti Ukraina, India, AS, dan Jepang, sekalipun gagal meminimalisasi bahaya energi PLTN. Fakta ini mengungkap bahwa energi nuklir lebih banyak bahayanya daripada keuntungannya,” tegasnya.
Nur Isnaini, mahasiswi Pendidikan Geografi Universitas Negeri Semarang, mengungkapkan, nuklir memang merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan sebagai energi pembangkit listrik yang sudah dipakai di beberapa negara maju, seperti Jepang.
”Apabila gempa dan tsunami di negara yang teknologinya sudah maju seperti Jepang dapat salah dalam memprediksikan gempa dan tsunami sehingga menyebabkan kebocoran di PLTN- nya, bagaimana dengan Indonesia yang teknologi dan kesadaran akan pencegahan bencananya masih rendah?” kata Nur.
Ia menambahkan, seperti halnya Jepang, Indonesia merupakan negara yang rawan gempa dan tsunami. ”Untuk itulah, bila masih ada jalan keluar selain nuklir, alangkah baiknya menggunakan energi lain yang lebih aman untuk Indonesia,” ujarnya.
Guru Besar Reaktor Nuklir ITB Zaki Su’ud mengatakan, mau tidak mau, Indonesia harus mempunyai PLTN untuk memenuhi kebutuhan listrik di masa mendatang. ”Paling tidak, tahun 2020 atau 2025 Indonesia sudah mempunyai PLTN. Kalau tidak, biaya listrik akan semakin mahal, malah akan menjadi bumerang bagi Indonesia bila masih menggunakan energi lain, seperti batu bara yang makin lama makin habis,” ujarnya.
Nah, apabila kebutuhan listrik sudah semakin meningkat dan PLTN tidak terhindarkan lagi, seharusnya persiapan untuk membangun PLTN dimulai dari sekarang. Bagaimana teknologi terbaik yang bisa meminimalisasi kecelakaan nuklir tentu menjadi tanggung jawab generasi muda.(Susie Berindra)
——————
Potensi PLTN
Badan Tenaga Nuklir Nasional menyebutkan, berdasarkan statistik PLTN dunia tahun 2002, terdapat 439 PLTN yang beroperasi di seluruh dunia dengan kapasitas total sekitar 360.064 GWe (gigawatt electrical), 35 PLTN dengan kapasitas 28.087 MWe (megawatt electrical) sedang dalam tahap pembangunan. PLTN yang direncanakan untuk dibangun ada 25 dengan kapasitas 29.385 MWe. Kebanyakan PLTN baru dan yang akan dibangun berada di beberapa negara Asia dan Eropa Timur.
Kapasitas listrik yang tersedia di Indonesia saat ini 30.000 MWe yang memenuhi 60 persen wilayah Indonesia. Pada 2025 dibutuhkan sekitar 100.000 MWe sehingga Indonesia akan mengalami kekurangan pasokan sebesar 70.000 MWe.
Pemenuhan itu kemungkinan hanya bisa didapat dari energi nuklir. Energi geotermal menghasilkan pasokan listrik sekitar 27.000 MW. Potensi sebesar itu tidak mungkin bisa dikembangkan seluruhnya atau hanya dapat terealisasi sekitar 9.000 MW.
Potensi energi makrohidropower yang dimiliki sekitar 75.000 MW dan realisasinya hanya 10.000 MW. Total dari gabungan kedua energi itu hanya menghasilkan 19.000 MW atau masih ada kekurangan pasokan sekitar 50.000 MW.
Jika menggunakan energi surya, pada kapasitas 1 GW perlu luas area 20 kilometer persegi. Satu panel surya berukuran 1 meter persegi hanya menghasilkan 50 watt listrik. Namun, jika menggunakan PLTN, satu unit yang menghasilkan 1.000 MWe hanya memerlukan 2 kilometer persegi area. (SIE)
Sumber: Kompas, 12 April 2011