Pantai selatan Jawa diyakini berulang kali dilanda tsunami raksasa dengan periode perulangan 675 tahun. Namun, bukti-bukti sejarah yang tercatat sangat minim. Oleh karena itu, dibutuhkan metode lain untuk membuktikannya, salah satunya melalui penggalian deposit tsunami yang tertinggal di dalam tanah.
Metode penggalian deposit tsunami pada masa lalu atau dikenal sebagai paleotsunami itulah yang diajarkan kepada peserta lokakarya tsunami pada hari kedua, Sabtu (30/5), di Yogyakarta. Kegiatan itu diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Balai Pengkajian Dinamika Pantai-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Para peserta yang terdiri dari mahasiswa, peneliti, dan dosen dari sejumlah perguruan tinggi diajak untuk mencari deposit tsunami di sekitar Pantai Parangtritis dan Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta.
“Jika tsunami itu sangat besar, depositnya pasti bisa dijumpai di sepanjang pantai selatan Jawa, dari Jawa Barat hingga Jawa Timur,” kata Eko Yulianto, ahli paleotsunami LIPI, yang menjadi koordiantor lokakarya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selama sepuluh tahun terakhir, Eko telah mencari deposit tsunami di selatan Jawa untuk mendukung teori tentang keberadaan tsunami di kawasan tersebut. Dari penelitiannya di Sungai Cikembulan, Pangandaran, Jawa Barat, dia menemukan empat lapisan pasir yang diduga menjadi penanda keberulangan tsunami di kawasan ini.
Salah satu lapisan pasir cukup tebal, yang menunjukkan bahwa skala tsunaminya sangat besar. Dalam lapisan itu terdapat cangkang kerang Foraminifera yang menguatkan dugaan bahwa endapan ini berasal dari laut yang terbawa saat tsunami. Setelah dilakukan penanggalan, lapisan itu diduga akibat tsunami sekitar 400 tahun lalu. Itu berarti tsunami terjadi sekitar tahun 1600 atau abad ke-17.
“Setelah di Cikembulan, sekarang kami tengah melakukan riset di kawasan Lebak (Banten) dan menemukan beberapa material yang kami duga deposit tsunami juga. Sekarang masih kami lakukan penanggalan untuk mengetahui umurnya dan sekarang kami cari juga di sekitar Parangtritis,” ungkapnya.
Peserta lokakarya melihat proses penjalaran gelombang tsunami di laboratorium Balai Pengkajian Dinamika Pantai-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT), Jumat (29/5), di Yogyakarta. Kegiatan yang diselenggarakan atas kerja sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, BPDP-BPPT, dan Universitas Gadjah Mada ini diharapkan bisa menarik lebih banyak pihak terlibat dalam memahami karakteristik ancaman tsunami di Indonesia.–Kompas/Ahmad Arif
Eko menjelaskan, kejadian tsunami di selatan Jawa ini juga didukung oleh penelitian McCaffrey (2008) yang mengusulkan hipotesis baru mengenai potensi gempa bumi besar (Mw ? 9,0) yang berpotensi terjadi di seluruh zona subduksi di dunia setelah tsunami Aceh 2004. Hipotesis ini kemudian dikuatkan dengan tsunami yang dibangkitkan gempa Mw 9,1 di Sendai, Jepang.
“McCaffrey telah membuat perhitungan matematis bahwa periode perulangan gempa besar di selatan Jawa adalah per 675 tahun, sedangkan di Sumatera 512 tahun. Dari data inilah, kini kami melacak jejak tsunami di selatan Jawa pada masa lalu,” paparnya.
Geomitologi
Selain melalui penggalian deposit tsunami, Eko juga melacak keberadaan tsunami pada masa lalu melalui kisah-kisah dongeng dan mitos. Metode ini dikenal sebagai geomitologi dengan keyakinan bahwa mitos-mitos kerap menyimpan informasi tentang suatu peristiwa pada masa lalu.
“Apa yang dilihat orang sekarang dan yang dilihat orang ribuan tahun lalu mungkin sama. Tetapi, karena kepercayaan dan ideologi serta langgamnya berbeda, kita menyampaikannya dengan cara berbeda. Misalnya, Dewa Poseidon, Yunani, yang bertanggung jawab terhadap gempa bumi dan Dewa Laut sebenarnya merepresentasikan banyaknya kejadian tsunami pada masa lalu. Di belahan dunia timur, termasuk Indonesia, kebanyakan juga seperti itu,” kata Eko.
Dengan perspektif inilah, ia kemudian mencoba mengaitkan mitologi Ratu Kidul dengan peristiwa tsunami pada masa lalu. Dari Babad Tanah Jawa yang menggambarkan keberadaan Ratu Kidul, ia juga menemukan deskripsi tentang ombak besar yang menghancurkan daratan saat terjadi pertemuan Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati, pendiri Keraton Mataram, sekitar abad ke-17. Deskripsi ini, menurut dia, mirip dengan ciri-ciri tsunami.
Riset tsunami
Meskipun sejak tsunami Aceh 2004 penelitian tentang gempa dan tsunami di Indonesia mulai meningkat, menurut ahli tsunami dari BPDP-BPPT, Widjo Kongko, upaya ini masih bersifat sporadis dan sangat terbatas. Salah satu yang menjadi penyebab keterbatasan studi ini adalah masih sedikitnya jumlah sumber daya manusia yang terlibat.
Oleh karena itu, ia berharap lokakarya yang diselenggarakan atas kerja sama LIPI, BPDP-BPPT, dan UGM ini bisa menarik lebih banyak pihak terlibat dalam memahami karakteristik ancaman tsunami, khususnya di pesisir selatan Jawa. “Tanpa dukungan riset yang kuat, kebijakan pembangunan terkait penanggulangan kebencanaan rentan salah sasaran,” ujarnya.
Subagyo Pramumijoyo, guru besar teknik geologi dari UGM, menambahkan, Indonesia dikenal berada di lempeng tektonik sangat aktif sehingga menarik minat banyak peneliti asing. Namun, ahli-ahli dari Indonesia sangat kurang. “Padahal, masih banyak faktor yang tidak diketahui terkait dengan kegempaan dan tsunami, misalnya apakah ada kaitan antara gempa tektonik di Bantul tahun 2006 dan besarnya aktivitas Gunung Merapi tahun 2010,” katanya.
Menurut Widjo Kongko, dengan mengetahui sumber, kekuatan, dan mekanisme gempa, bisa dibuat model tentang besaran tsunami yang akan terjadi. Jika digabungkan dengan data batimetri pantai, barulah bisa dibuat peta landaan tsunami. Sejauh ini, daerah yang sudah memiliki pemetaan detail tentang hal itu baru Sumatera Barat atas dukungan dari sejumlah negara. Padahal, wilayah Indonesia yang rentan tsunami sangat luas.
Ahmad Arif
Sumber: Kompas Siang | 30 Mei 2015