Tanpa banyak publikasi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada berupaya memberantas nyamuk demam berdarah. Bersama Yayasan Tahija sebagai penyandang dana, para ilmuwan Indonesia mengembangkan nyamuk Aedes aegypti pembawa wolbachia sejak 2011. Harapan di tengah kasus demam berdarah yang tertelan isu politik.
Bakteri wolbachia sering ditemukan pada serangga seperti capung, ngengat, lalat buah, juga nyamuk Aedes albopictus meskipun jarang. Pada saat Prof Scott O’Neill dari Monash University menengarai lalat buah carrier atau pembawa wolbachia berumur pendek, muncul ide memindahkan wolbachia ke Aedes aegypti, pembawa virus dengue penyebab demam berdarah dengue (DBD). Asumsinya, nyamuk mati muda sehingga tidak sempat menularkan dengue.
Namun, mengisolasi dan memindahkan wolbachia bukan pekerjaan mudah. Meskipun penelitian wolbachia pada nyamuk Culex pipiens sejak 1920-an, O’Neil dan timnya baru berhasil memindahkan wolbachia dari lalat buah ke Aedes aegypti, tahun 2008. Uji laboratorium menunjukkan, wolbachia bahkan melumpuhkan virus dengue sehingga aman bagi manusia.
Prof Scott O Neill, Guru Besar Jurusan Biologi, sekaligus Dekan Fakultas Sains Monash University di Melbourne, Australia. Ia menggunakan teknik injeksi mikro untuk menyuntikkan wolbachia pada telur nyamuk. Nyamuk betina pembawa wolbachia akan menurunkan ke generasi berikutnya, sedangkan jantan pembawa wolbachia akan mandul sehingga telur hasil pembuahannya tidak menetas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nyamuk wolbachia bukan nyamuk transgenik, karena tak ada manipulasi genetik. Wolbachia juga aman bagi manusia, karena ukurannya lebih besar dari probosis nyamuk untuk mengisap darah dan hanya bertahan pada sel serangga hidup.
Untuk Indonesia
Kasus demam berdarah masih tinggi di Indonesia. Meski angka kematian akibat DBD turun dari 0,9 persen menjadi 0,73 persen, angka kejadian meningkat dari 90.245 kasus tahun 2012 menjadi 105.545 kasus tahun 2013. ASEAN merupakan wilayah dengan kasus demam berdarah tertinggi dunia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun sekitar 390.000 juta orang terinfeksi virus dengue, 22.000 di antaranya meninggal dunia.
Berbagai upaya dilakukan di Indonesia. Dari pemberantasan sarang nyamuk, pengasapan, hingga penatalaksanaan pasien DBD. Namun, hasilnya belum signifikan. Maka, FK UGM bersama Yayasan Tahija mengembangkan Eliminate Dengue Project di Yogyakarta (EDP-Yogya) untuk mengendalikan Aedes aegypti dengan wolbachia.
Mencontoh Australia dan Vietnam, metode wolbachia diyakini mampu menanggulangi DBD secara berkelanjutan. Penelitian berlangsung di Yogyakarta, karena prevalensi demam berdarah cukup tinggi. Catatan EDP-Yogya, pada 2014-Februari 2015 terdapat 561 kasus DBD di Daerah Istimewa Yogyakarta, 11 di antaranya meninggal.
Titik berat penelitian itu adalah entomologi, dengan pelepasan nyamuk sebagai salah satu mata rantai krusial, karena melibatkan masyarakat. Dedik Helmy Yusdiana, spesialis pelibatan komunitas EDP menjelaskan, permukiman adalah habitat Aedes aegypti. “Perlu daerah seluas 40-60 hektar yang terisolir sawah, jalan besar, atau sungai untuk melepaskan nyamuk berwolbachia dan melihat perkembangannya,” papar Yusdi.
Dari enam lokasi penelitian-memenuhi syarat persentase Aedes agypti dan partisipasi masyarakat-di Kabupaten Sleman dan Bantul, menjadi lokasi kontrol. Aktivitas penelitian berlangsung setelah ada izin Komisi Etik FK UGM, Pemerintah DIY, Pemda Sleman dan Bantul, serta terutama informed concent dari masyarakat yang terlibat.
Menurut Prof dr Adi Utarini, Wakil Dekan FK UGM Bidang Penelitian, Pengabdian, dan Kerja sama yang memimpin proyek EDP, telur nyamuk berwolbachia dikirim dari Monash University untuk efisiensi. “Kami konsentrasi pada pengembangbiakan dan pemantauan nyamuk berwolbachia untuk jangka panjang,” ujarnya.
Kini, EDP-Yogya punya insektarium komplet di kawasan Sekip, yang berfungsi membiakkan telur nyamuk dari Australia, mengawin-silangkan dengan nyamuk lokal hingga generasi kelima, membiakkan lagi hingga generasi ke 28, baru melepas ke alam. “Sebenarnya sampai generasi kelima karakteristik nyamuk sudah sama dengan nyamuk lokal. Namun, kami memilih hati-hati,” kata Dr Warsisto Tantowijoyo, entomolog yang memimpin insektarium.
Nyamuk menetas dalam waktu satu minggu. Tim lapangan akan menghitung selongsong yang tertinggal pada hari ke 9-10 untuk memperkirakan jumlah nyamuk. “Bila sudah mencapai threshold 60 persen, pelepasan dihentikan,” papar Nurcholifah, petugas lapangan EDP di Desa Singosaren, Bantul.
Pemantauan dilakukan dengan menangkap nyamuk dewasa di lokasi pelepasan. Lalu, memeriksa apakah mengandung wolbachia atau tidak, di laboratorium diagnostik UGM.
Pendampingan
Nurcholifah dan kawan-kawan tak hanya meletakkan ember telur di halaman rumah, tetapi juga memantau perkembangan nyamuk dan kondisi warga. Merekalah ujung tombak yang mengajarkan perbedaan saat edar dan karakteristik nyamuk demam berdarah dengan nyamuk biasa, serta mengenali demam biasa atau akibat demam berdarah.
“Kalau di awal pelepasan keluhan lumayan banyak, sekarang hampir tidak ada. Bahkan, masyarakat tambah pintar karena ada pendampingan,” kata Paulus Enggal Sulaksono, spesialis komunikasi dan media EDP.
Menurut dr Riris Andono Ahmad, penanggung jawab ilmiah EDP, penelitian nyamuk berwolbachia terbagi dalam empat fase. Fase I mencakup persiapan, pengkajian, dan uji coba skala laboratorium. Fase II uji pelepasan nyamuk wolbachia skala kecil di lapangan, Fase III pelepasan pada skala lebih luas, dan Fase IV harapannya menjadi kebijakan nasional. “Ini kesempatan buat UGM terlibat proses inovasi,” ujarnya.
Agus Susanto, GM Dukungan dan Layanan Proyek dari Yayasan Tahija, menyebut proyek ini out of the box. “Sesuai filosofi yayasan, yang penting membangun sesuatu yang berguna bagi masyarakat,” katanya.(Agnes Aristiarini)
—————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Maret 2015, di halaman 14 dengan judul “Berpikir “Out of The Box” dengan Wolbachia”.