ADALAH sosiolog Dr Mochtar Naim yang termasuk salah seorang yang telah menanggapi cetusan hati Bapak Emil Salim. Ujarnya, pembangunan kini lebih diberi makna pembangunan fisik, dalam arti ekonomi dan teknologi. Selama ini terasa sekali, kita agak mengabaikan segi-segi pembangunan mental spiritual. Ada dua pangkal kelemahan yang merupakan kendala ke arah pembangunan berwawasan lingkungan, yaitu sistem komando terpusat yang hirarkis vertikal, dan sistem ekonomi yang dasarnya kapitalis-materialistis (Kompas, 12 Mei 1986).
Saya percaya, pihak pemerintah bukanlah tidak menyadari akan hal ini. Pada kesempatan herbicara di depan seminar lingkungan hidup di IKIP Bandung, Bapak Menteri KLH menekankan perlunya kita mencapai anak didik yang selaras dengan lingkungannya. Keselarasan memiliki tiga segi, yaitu keselarasan manusia dengan Tuhan yang berdasarkan iman, manusia dengan lingkungannya berdasarkan budi, dan manusia dengan alam berdasar rasio. Arah dan tujuan pendidikan seharusnya mencakup iman, budi, dan rasio. (Kompas, 22 April 1986).
Pak Emil Salim benar dengan pernyataannya tentang pembangunan berwawasan lingkungan itu, karena itulah yang semestinya merupakan hakikat pendidikan kita, sehingga anak didik jika telah menjadi orang mampu menerapkan ilmunya, beramal kepada sesamanya, dan mensyukuri nikmat yang ia peroleh dari Yang Maha Tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kasus masyarakat Bali
Barangkali Pulau Bali termasuk salah satu diantara sedikit daerah di bumi ini yang menerapkan asas pelestarian lingkungan hidupy tanpa banyak yang mengetahui atau mungkin pula yang menyadarinya. Ini disebabkan, semua itu seakan-akan sudah built-in, sudah manunggal atau tak terpisahkan lagi dengan kehidupan orang Bali.
Dalam kehidupan orang Bali ada hal yang menarik. Mereka mengenal ajaran yang disebut tri semaya, yang barangkali dapat kita salin menjadi ”tiga ikatan janji”, atau kalau kita Inggriskan menjadi the three commitments. Menurut ajaran itu, runtunannya ialah atita (masa lalu), anagata (masa datang), dan wartamana (masa kini).
Sepintas, runtunan itu memang terasa janggal. Model yang kita pungut dari Barat menyatakan, sekaranglah yang menentukan mesa yang akan datang. Tetapi jika kita perhatikan secara seksama, sebenarnya pandangan itu ada dasarnya.
Sebagai ilustrasi, barangkali perencanaan landasan lapangan udara Ngurah Rai dapat kita pakai sebagai contoh. Sebagaimana kita lihat sekarang, landasan itu dibangun menjorok ke laut di barat. Ini tentu membawa berbagai akibat. Secara fisik lahiriah, landasan itu bisa saja tadinya dijulurkan ke timur, menjorok ke Teluk Benoa. Secara teknologi hal semacam itu selalu mungkin. Tetapi ternyata ada sesuatu yang ikut menentukan dalam perencanaan tadi: adanya sebuah pura di dekatnya (timur). Pura tidak mungkin dipindahkan begitu saja, apalagi yang tingkatannya tinggi. Sebabnya, karena letaknya tidak ditentukan lewat perencanaan sebagaimana kita kenal dari Barat, melainkan lewat semadi. Ibaratnya, kehadiran pura itu telah menentukan perkembangan daerah itu untuk selanjutnya, atau dengan istilah di atas, telah diikat dengan janji.
Di antara perkembangan selanjutnya dapat kita lihat pembangunan jalan raya Sanur-Nusa Dua: Andaikata landasan tadi menjorok ke timur, jalan raya tersebut –jika toh dibangun– harus melintasi Teluk Benoa, atau di bawah landasan tadi. Kedua lintasan itu tentu mahal, dan jika dianggap terlalu mahal, mungkin jalan itu bahkan tidak (belum) dapat dibangun. Dan seterusnya, barangkali Presiden Reagan juga menyinggahi tempat yang lain pada waktu kunjungannya di Bali baru-baru ini.
Menata ruang
Sebenarnya, ’keganjilan’ (kalau memang hendak dikatakan demikian) dalam perencanaan pembangunan model Bali dapat pula kita lihat dari sudut pandangan Barat yang lain. Pada hakikatnya, di Barat orang kenal akan apa yang disebut masterplan. Dan kepada masterplan pun orang harus mengikat janji: melaksanakan tanpa mengubah-ubahnya.
Bali memang memiliki tradisinya sendiri. Menata ruang, misalnya, sudah ada ‘pegangannya’ sendiri. Atau dengan istilah Barat, sudah ada standar atau bakuannya. Orang Bali mengenal apa yang mereka sebut tri mandala, yang barangkali dapat kita salin menjadi tiga mintakat atau lebih umum, ”tiga daerah”: utama, madya, dan nista. Tetapi sebenarnya tidak akan semudah itu kita mencari padanan katanya; seakan-akan padanya melekat “’daya” atau ”kekuatan”.
Tri mandala diterapkan dalam hubungan makro maupun mikro. Dalam menata ruang seluruh Pulau Bali kita dapat melihat bagaimana asas itu dilaksanakarn. Untuk Bali Selatan (yang memang terpenting dilihat dari segi social-budaya, dan sekarang juga segi yang lainnya) mandala pertama diterjemahkan sebagai tempat untuk pemujaan. Ini juga tempat yang dipelihara sebagai kawasan hutan. Yang kedua adalah tempat untuk kehidupan dengan perkampungan dan persawahannya. Pohon kelapa merupakan ciri khas yang dapat dikenali dari kejauhan. Yang ketiga identik dengan tempat pembuangan.
Menata ruang dalam kampung mengikuti asas yang sama: ada tempat untuk memuja (pura), ada tempat tinggal, dan ada tempat untuk mengubur. Dalam rumahpun asas tri mandala kita temukan kembali.
Fungsi tumbuhan, jenis demi jenis, dan secara berkelompok sudah merupakan salah satu segi dalam tata nilai kehidupan di Bali. Daerah pegunungan selain berhutan, sampai akhir-akhir ini banyak yang tertutup pohon kopi, dengan di selanya ditanam dadap. Pohon kopi ditanam rapat-rapat, sehingga dapat dikatakan merupakan penutup yang baik bagi lahan. Akibatnya, dapat dikatakan tidak ada pengikisan. Untuk menghindari jangan sampai tebing terkikis, lereng ditanami bambu. Di tempat lain, orang menanam alang-alang (atau boleh juga disebut: dibiarkan tumbuh).
Tumbuhan itu mempunyai fungsinya sendiri-sendiri dalam kehidupan orang Bali, tidak hanya dalam lingkungan besar, melainkan yang ditanam dalam halaman rumah. Demikianlah, ada yang digunakan untuk membuat rumah, membuat atap, untuk obat, menolak ular, atau tujuan lain.
Kita lihat, di Bali melestarikan lingkungan bukan lagi sebuah teori, melainkan sudah merupakan praktek sehari-hari, sudah diuji sejarah.
Masyarakat dengan tata nilai baru
Dapatkah konsep pengelolaan lingkungan model Bali kita terapkan di mana-mana? Tentu saja tidak. Bahkan di Bali pun dengan tuntutan dan laju pembangunan seperti sekarang tidak mungkin lagi tata nilai tradisi lama diterapkan begitu saja.
Kita tahu, kini adalah abad teknologi, dan kita pun tidak mungkin terhindar dari itu. Demikian pula Bali tidak akan terlepas dari padanya. Tetapi rasanya, hakikat dari ajaran Bali tentang Semaya dan mandala akan tetap berlaku. Hanya saja, sesuai dengan tata nilai sekarang, keduanya harus dilihat dalam cakupan wacana yang lain. Yang pertama tidak lain ialah ketentuan mengenai aturan main, dan ini diawali dengan batasan atau definisi: Apa yang disebut apa. Apakah yang disebut perancang, perencana, pelaksana, konsultan, pengawas, profesional, dan seterusnya? Masing-masing memiliki kode etiknya, sehingga aturan main menjadi jelas. Jadi, misalnya, jika ada sebuah bendungan yang jebol dalam waktu singkat, jika ada jembatan yang ambruk sebelum diresmikan, itu berarti aturan main tidak dipatuhi. Apalagi jika kemudian ternyata tidak ada tindakan apa-apa karena memang semua atau banyak pihak yang terlibat, berarti orang tidak memiliki ikatan janji dengan pekerjaan yang ia lakukan, orang belum memahami mekanisme abad teknologi.
Yang kedua terutama berlaku dalam menata ruang. Mandala menglkutl Romo Mangunwijaya pada haklkatnya menyangkut energl; atau meminjam istilah bidang fisika, dapat diberi makna potensial. Mandala utama dengan sendirinya memiliki energi terbesar, potensial tertinggi daripada kedua mandala yang lain.
Marilah kita sekarang melihat jika kita menerapkan konsep ini pada kenyataan yang ada sekarang. Bagaimanapun juga kota memiliki energi paling besar atau potensial paling tinggi. Dari sana mengalir kekayaan (uang), ketrampilan, dan sebagainya, termasuk dengan sendirinya perintah atau instruksi.. Sebaliknya, dari pedalaman mengalir kembali segala jenis bahan dan tenaga yang tidak terdidik.
Di sini kita lihat, bahwa misalnya sebidang lahan di kota dengan sendirinya akan memiliki harga yang lebih tinggi daripada lahan yang sama luasnya tetapi terletak di pinggiran kota. Dan ini akan lebih tinggi harganya, daripada yang terletak makin jauh. Dan seterusnya.
Setiap daerah memiliki potensinya sendiri, kesanggupannya atau kecocokannya untuk digunakan bagi kegiatan tertentu. Lahan dengan tanahnya yang subur dan dengan airnya yang melimpah, misalnya cocok untuk pertanian, yang lain cocok untuk digali karena mengandung batu, yang lain sesuai untuk industri, tempat suaka gajah.
Semua potensi itu harus diketahui terlebih dulu, sebelum diambil putusan kegiatan apa yang akan dilakukan di daerah atau tempat tertentu. Mengenali potensi sesuatu daerah atau tempat mempersyaratkan keahlian tertentu yang hanya dimiliki oleh seorang yang karena pendidikan dan pengalamannya sesuai untuk tugas itu. Tetapi yang tidak kalah pentingnya, putusan itu diambil berdasarkan pertimbangan kepentingan umum.
Kini dalam hubungan dengan penggunaan ruang timbul istilah yang sebenarnya tidak mengenakkan banyak pihak: penggusuran. Andaikata saja, imbalan atau kompensasi yang diperoleh seorang yang digusur benar-benar memadai, tentunya ia tidak akan merasa tergusur. Di sini yang berlaku tidak hanya hasil musyawarah, melainkan aturan main yang dilatarbelakangi sifat dan sikap profesial.
Kita telah mengikat janji dengan pembangunan, dan ini merupakan ketetapan bersama.Tetapi di lain pihak masih banyak perkara yang perlu dijelaskan. Dan yang terpenting, kita harus menentukan aturan main yang sesuai dengan tuntutan zaman. Hanya dengan menyadari akan keterbatasan kita, dan selalu bersifat terbuka untuk kemungkinan memperbaiki langkah, memungkinkan kita mencurahkan kemampuan kita sebaik-baiknya, termasuk dalam mengelola lingkungan dengan sebaik-baiknya.
M.M. Purbo-Hadiwidjoyo, geolog dan pengamat masalah lingkungan
Sumber: Kompas, 16 Juni 1986