Jangan sepelekan lahan tandus. Dengan sentuhan kerja keras dan teknologi, daerah tandus yang menjadi padang ilalang dapat diolah untuk menghasilkan biomassa yang dijadikan sebagai bahan baku energi bagi pembangkit listrik.
Saat ini, cadangan bahan bakar fosil merosot. Di Indonesia, stok bahan bakar minyak ditaksir tinggal satu dasawarsa. Menurunnya sumber energi tak terbarukan itu mendorong pemanfaatan energi terbarukan, salah satunya biomassa.
Biomassa adalah sumber energi terbarukan yang bukan mengacu pada bahan kimia, melainkan biologis. Sumber biomassa paling umum adalah kayu, dedaunan, dan bioetanol.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penyediaan biomassa mensyaratkan lahan tanam. Sasarannya alang-alang di lahan telantar. Luas lahan alang-alang (Imperata cylindrica) di Indonesia sekitar 10 juta hektar. Kawasan miskin hara itu sumber daya lahan yang bisa disuburkan untuk mendukung ketahanan energi berbasis biomassa.
Upaya itu akan dilakukan peneliti dari Research Institute for Sustainable Humanosphere, Universitas Kyoto, Jepang, melalui proyek Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development (Satreps) III bekerja sama dengan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin Bambang Subiyanto.
Itu sejalan dengan program Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memanfaatkan biomassa dan biogas di wilayah kepulauan yang memiliki rasio elektrifikasi rendah. Potensi biomasa di Indonesia, menurut Kementerian ESDM, 32.654 megawatt (MW). Namun, baru 5,2 persen yang digunakan.
Pembangkit listrik berbasis hayati (bioenergi) itu berpotensi di daerah terpencil, dari limbah pertanian, industri sawit, industri kertas, hingga industri tapioka. Pada 2025, Indonesia diharapkan mampu menggunakan energi baru terbarukan 23 persen dari total suplai energi nasional.
Rekayasa lahan
Revegetasi daerah alang-alang yang tandus, menurut Toshiaki Umezawa dari Research Institute for Sustainable Humanosphere Universitas Kyoto, dengan pemberian pupuk hayati dan mikroba tertentu untuk menggemburkan tanah. “Proses rekondisi ini perlu waktu dua tahun, sebelum penanaman,” katanya.
Setelah perbaikan tingkat kesuburan tanah, dilakukan penanaman jenis akasia (Acacia mangium) dan eukaliptus (Eucalyptus deglupta). Dari dua jenis tanaman itu bisa dihasilkan kayu sumber selulosa 10-30 ton per hektar per tahun.
Pohon eukaliptus yang dapat mencapai tinggi lebih dari 30 meter tergolong yang terbanyak menghasilkan sumber kayu. Namun, masa pertumbuhannya relatif lama, 8 tahun. Alternatif tanaman kayu lain adalah Paraserianthes falcataria, Leucaena leucocephala, dan jenis tanaman Cryptomeria japonica yang tumbuh setinggi lebih dari 3 meter dalam waktu empat tahun.
“Uji coba rekondisi lahan alang-alang akan dilaksanakan di sekitar Kebun Raya di Kalimantan Tengah,” kata Bambang. Selain menjadi tanaman kayu, lahan alang-alang juga bisa dikembangkan jadi tanaman untuk pakan ternak, perkebunan sorgum, persawahan padi gogo, jagung, dan perkebunan tebu yang produk bagasnya dijadikan papan partikel komposit.
Revegetasi alang-alang merupakan bagian dari proyek kerja sama Indonesia yang diwakili LIPI dan Jepang yang melibatkan tim peneliti dari Universitas Kyoto dan Institut Riset DNA Kazusa. Kemitraan riset kedua negara itu untuk memproduksi material dan energi biomassa melalui revegetasi lahan alang-alang, yang dilaksanakan September 2016-2020.
Biomassa
Upaya rintisan juga dilakukan pemerintah daerah, antara lain DI Yogyakarta, yang akan memanfaatkan tanaman aren sebagai bioetanol. Bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan, DIY akan menanam pohon aren di lereng Gunung Merapi yang juga untuk reboisasi.
Saat ini, pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi pembangkit listrik dan reboisasi juga dirintis di Nusa Tenggara Timur. Salah satu jenis biomassa yang ditanam, gamal (glicideae). Program rintisan dilakukan di Desa Gung, Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur.
Lahan tidur di NTT terdiri dari padang savana dan stepa. Tanaman pagar yang tumbuh subur di lahan kering selanjutnya dijadikan bahan bakar pembangkit listrik tenaga biomassa.
Ketua Yayasan Energi Lestari, Ario Senoaji, menjelaskan, upaya itu dimulai pada 2013. Dalam kerja sama itu, Pemkab Kabupaten Manggarai Timur menyediakan lahan 1.300 hektar yang merupakan lahan tidur.
Perkebunan gamal melibatkan masyarakat dengan sistem inti dan plasma. Lahan 1.000 hektar sebagai plasma dikelola masyarakat. Dari tanaman pagar yang bisa tumbuh di daerah kurang air itu dapat dihasilkan kayu bakar 275 ton per hari. “Ini akan menjadi bahan bakar bagi PLT biomassa berkapasitas 7 megawatt,” ucap Ario.
Program itu memanfaatkan lahan marjinal dan membuka lapangan kerja penduduk lokal. “Ketersediaan listrik akan mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Ario yang juga pendiri Indo Energi Lestari, pengelola PLTU biomassa tersebut.
Penanaman lahan gundul itu, menurut Sri Endah dari Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), dapat mengonservasi lahan dan air tanah. “Perbaikan iklim mikro dapat tercapai sehingga dalam jangka panjang lahan jadi subur dan dapat untuk budidaya tanaman pagar yang produktif,” ucap Sri yang juga Ketua Divisi Teknik Energi Terbarukan ITB.
Kapasitas pembangkit bahan bakar bioenergi di Indonesia sebenarnya telah terbangun hingga 141,7 MW. Pembangkit listrik itu tersebar di Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku yang dikembangkan swasta dan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM.
Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa di antaranya di NTT berkapasitas 1 MW. Biomassa berbasis limbah perkebunan sawit untuk pembangkit listrik di PT Perkebunan Nusantara III di Sumatera Utara berdaya 7 MW. Pembangkit yang sama di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan berkapasitas masing-masing 6 MW dan 10 MW.–YUNI IKAWATI
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Mei 2016, di halaman 14 dengan judul “Memanen Listrik dari Lahan Telantar”.