Cuaca dingin sekitar minus empat derajat celsius dipadu dengan sinar matahari yang tak terhalang awan menjadikan pesisir Jinha dan Imnang, Korea Selatan, terasa segar, baik udara yang dihirup maupun pemandangan mata. Tidak sedikit pun menyiratkan bahwa di kawasan ini terdapat empat reaktor nuklir aktif dan empat reaktor lainnya sedang dalam masa pembangunan.
Secara de jure, status Korea Selatan masih berperang dengan Korea Utara karena masih berstatus gencatan senjata sejak tahun 1953 hingga sekarang. Namun, status itu tidak menahan negara seluas 98.480 kilometer persegi ini menunda pengayaan uranium untuk mendapatkan energi listrik murah.
Bayangan peristiwa ledakan pembangkit listrik tenaga nuklir di Chernobyl pada 26 April 1986 sama sekali nihil. Kini, Korea Selatan memiliki teknologi pengayaan nuklir pada generasi keempat, yang mampu memberikan perlindungan lima lapis pada inti uranium yang menjadi pusat reaktor sehingga menekan potensi kebocoran yang memang selalu menjadi momok menakutkan bagi masyarakat di negara tanpa reaktor nuklir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nama kawasan ini adalah Kori Nuclear Power Site. Dibandingkan dengan Seoul, ibu kota Korea Selatan yang tidak memiliki reaktor nuklir, daerah di sekitar Kori jauh lebih bersih. Bahkan, kota terdekat, yakni Busan, masih lebih polutif dibandingkan dengan kawasan di sekitar Kori Nuclear Power Site. Murah dan ramah lingkungan adalah dua alasan utama Korea Selatan terus membangun reaktor-reaktor nuklir barunya.
Reaktor nuklir bisa dibilang tidak boros bahan bakar karena setiap kilogram (kg) uranium mampu menghasilkan energi listrik setara dengan energi yang dihasilkan oleh 9.000 drum bahan bakar minyak (BBM) atau 3.000 ton batu bara. Sebanyak 1 kg uranium mampu menghasilkan daya 1.000 megawatt (MW) selama satu tahun operasional.
Jadi, bandingkan dengan 1.000 MW proyek PLTU yang sedang dibangun di Jawa Tengah, yang akan berbahan baku batu bara sehingga jauh lebih boros dari minyak, apalagi nuklir.
Korea Selatan juga bersemangat membangun reaktor-reaktor baru karena biayanya paling murah dibandingkan dengan menyediakan pembangkit listrik dengan bahan bakar lain. Untuk menghasilkan 1 kilowatt hour (kWh) listrik dari sebuah reaktor nuklir hanya membutuhkan dana sebanyak 35,64 won (mata uang Korea Selatan) atau sekitar Rp 285.
Bandingkan dengan ongkos memproduksi 1 kWh listrik dari sebuah pembangkit listrik tenaga batu bara yang membutuhkan 60,31 won atau Rp 482; pembangkit listrik tenaga air yang memerlukan ongkos 109,37 won atau setara dengan Rp 874; dan pembangkit listrik tenaga angin yang menuntut biaya 109,44 won atau Rp 875. Apalagi jika dibandingkan dengan biaya produksi 1 kWh dari pembangkit listrik tenaga minyak yang mencapai 145,62 won atau Rp 1.164; pembangkit listrik tenaga gas sebesar 153,06 won atau Rp 1.224; dan, yang termahal, pembangkit listrik tenaga matahari sebesar 677,38 won atau Rp 5.419.
Produksi gas karbon
Bukan hanya itu, pembangkit listrik tenaga nuklir sudah terbukti memproduksi gas karbondioksida (CO) yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan sumber energi lain. Pembangkit listrik tenaga nuklir menghasilkan emisi CO sekitar 10 gram per kWh. Hanya PLTA yang mengalahkannya, yakni 8 gram per kWh. Tiga sumber energi lain, yakni gas, minyak, dan batu bara, masing-masing memproduksi CO sebanyak 549 gram per kWh, 782 gram per kWh, dan 991 gram per kWh.
Beragam keunggulan yang dimiliki pembangkit listrik tenaga nuklir inilah yang membuat Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak setengah memaksa Hatta Rajasa, sebagai Utusan Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, untuk mengunjungi pembangkit listrik tenaga nuklir Kori ini, 15 Februari 2011.
Padahal, jarak Seoul ke Kori lumayan jauh, butuh 30 menit penerbangan dengan pesawat kepresidenan Korea Selatan (Seoul-Busan) dan 12 menit penerbangan dengan helikopter militer jenis Black Hawk dari Busan ke Kori.
Di Kori, sebanyak 13 delegasi Indonesia menjadi saksi pembalikan citra tentang sebuah reaktor nuklir. Bukan hanya sekadar berudara bersih, reaktor nuklir Kori juga dikelilingi oleh hunian dan tempat wisata pantai.
Perusahaan pengelola reaktor nuklir Kori, Korea Hydro and Nuclear Power Co Ltd (KHNP), memang menyediakan anggaran khusus untuk kegiatan berbasis komunitas di sekitar reaktor nuklir sekitar 15,2 juta won atau Rp 121,6 miliar per tahun.
Jumlah itu belum termasuk dukungan dana dari pemerintah daerah setempat yang mendapatkan keuntungan berupa pasokan listrik dengan besaran yang sama, yakni Rp 121,6 miliar.
Dengan anggaran tersebut, keharmonisan antara penduduk dan pengelola reaktor nuklir tetap terjaga. Bahkan, sudah ada 1.600 orang yang menjadi sukarelawan dalam seluruh program pengembangan komunitas itu.
Presiden Lee Myung-bak memang tidak menutupi keinginannya untuk mempromosikan kapasitas negaranya dalam membangun reaktor nuklir yang aman kepada Indonesia dengan meminjamkan pesawat kepresidenan dan helikopter kepada delegasi Hatta Rajasa.
Promosi ini bukan omong kosong karena Korea Selatan memiliki kemampuan untuk membangun reaktor nuklir di mana pun.
Apalagi di seluruh dunia, Korea Selatan adalah negara yang memiliki reaktor nuklir keenam terbesar, setelah Amerika Serikat (107 reaktor), Perancis (66), Jepang (50), Rusia (23), Jerman (21).
Korea Selatan memiliki sebanyak 18 reaktor. Dengan semua pembangkit listrik tenaga nuklir yang dimiliki, Korea Selatan mampu menutup 34,1 persen kebutuhan listrik di negerinya.
Jadi, Kori bukanlah satu-satunya kawasan yang dijadikan lokasi pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir di Korea Selatan.
Sebanyak 10 reaktor lainnya tersebar di pantai timur negara ini, antara lain di Ulchin, Wolsong, dan Yonggwang. Ini belum termasuk delapan unit reaktor yang sedang dibangun dan dua unit lain yang dalam perencanaan pembangunan.
Teknologi terbaru
Teknologi adalah kata kunci pengembangan reaktor nuklir ini Korea Selatan. Sebanyak dua dari empat reaktor yang sedang dibangun telah menggunakan teknologi generasi terbaru di Korea, yakni APR1400 (Advance Power Reactor 1.400 MW). Dengan teknologi ini, reaktor nuklir bisa beroperasi lebih lama, yakni 60 tahun. Seri sebelumnya, yakni OPR1000 (Optimized Power Reactor 1.000 MW), hanya bertahan 40 tahun.
APR1400 mampu menampung lebih banyak uranium, yakni 104 ton, dan menghasilkan listrik sebanyak 1.400 MW. Adapun tipe OPR 1000 hanya menampung 76 ton uranium dan memproduksi 1.000 MW. Adapun tipe yang lebih kuno lagi, yakni Pressurized Water Reactor (PWR), hanya mampu menampung uranium sebanyak 44 ton dan hanya memproduksi 587 MW hingga 950 MW.
Korea Selatan memulai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir pada 1978 dan dimulai di Kori. Empat reaktor yang dibangun pertama kali hingga saat ini masih beroperasi di Kori. Itulah reaktor pertama dan terakhir yang dibangun menggunakan teknologi Amerika Serikat, setelahnya selalu dikembangkan oleh orang Korea Selatan.
Bahkan kini, Korea Selatan sudah mampu menciptakan tipe pembangkit listrik tenaga nuklir yang bisa diekspor ke negara lain. Negara pertama yang menggunakannya adalah Uni Emirat Arab.
Negara teluk ini mengimpor teknologi Korea Selatan pada Desember 2009. Tipe ekspor, yang merupakan pengembangan jenis reaktor APR 1400, merupakan hasil pengayaan teknologi Korea Selatan dalam tiga dekade terakhir.
Korea Selatan, yang lebih dari tiga dekade lalu banyak belajar dari Indonesia dalam mengenal pengayaan uranium, sekarang berada tiga dekade lebih maju dari negeri ini.
”Dahulu mereka banyak belajar dari Indonesia. Sekarang mereka sudah semakin maju mengembangkan pembangkit nuklirnya,” ujar Staf Khusus Menteri Koordinator Perekonomian Amir Sambodo dalam sebuah kunjungan kerja ke Seoul beberapa waktu lalu.
Kunjungan khusus
Dalam kunjungan tersebut, Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak dengan sengaja mengatur kunjungan di luar jadwal bagi Utusan Khusus Presiden Indonesia Hatta Rajasa untuk mengunjungi Kori.
Dalam kunjungan di Kori, Hatta dan rombongan diberi penjelasan tentang teknologi terbaru pada reaktor nuklir milik Korea Selatan. Hadir juga dalam kesempatan itu Menteri Perindustrian MS Hidayat dan Ketua Komite Ekonomi Nasional Chairul Tanjung.
Tujuan Pemerintah Korea Selatan memperlihatkan reaktor nuklirnya itu tidak lain adalah promosi bahwa mereka sudah memiliki teknologi pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir. Jika Indonesia berkenan, mereka siap melakukan alih teknologi.
Namun, bagi Hatta Rajasa, Indonesia sebenarnya terus melakukan penelitian pembangkit listrik tenaga nuklir meskipun dalam skala kecil di Serpong, Tangerang. Akan tetapi, nuklir hanya akan berkembang di Indonesia ketika masyarakat Indonesia sudah siap menerimanya. (Orin Basuki)
Sumber: Kompas, 21 Maret 2011