Asap tampak mengepul tipis di sejumlah titik lahan rawa gambut ketika kami melintasi areal perkebunan sawit milik Woodman Group di Miri, Sarawak, Malaysia, pekan lalu. Aroma khas gambut terbakar pun menyeruak saat pintu mobil dibuka.
Doktor Lulie Melling, Direktur Tropical Peat Research Laboratory-lembaga riset gambut tropis di bawah Pemerintah Negara Bagian Sarawak-bergegas mengajak rombongan memasuki lahan gambut bekas terbakar itu. Sisa semak-semak bekas terbakar sekitar dua hari lalu itu masih memenuhi permukaan rawa gambut yang basah akibat hujan semalaman. Di lahan yang diklaim milik warga dan sengaja dibakar itu juga tampak embung buatan berdiameter sekitar 1,5 meter yang penuh air.
“Kalian beruntung bisa mendapatkan contoh lahan yang baru terbakar,” kata perempuan yang selama 25 tahun meneliti gambut itu. Tak jauh dari doktor lulusan Hokkaido University di Jepang itu, para anak buahnya yang terlatih sedang mengebor tanah dengan auger (alat pengambil sampel tanah) gambut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia pun mengambil lapisan gambut pada kedalaman 0-50 sentimeter (cm) dan 50-100 cm. Pada lapisan 0-50 cm, kondisi tanah hancur tercerai-berai pada 30 cm pertama, lapisan selanjutnya dipenuhi air serta serasah kayu dan dedaunan coklat akibat tak sempurna membusuk. Kondisi gambut itu berbeda dengan gambut subtropis berupa partikel lembut karena berasal dari lumut/jamur dan tumbuhan kecil.
Saat contoh lapisan gambut dalam itu diremas, air mengucur dari sela-sela jari. Itu karena tanah gambut normal sekitar 70 persennya berupa air. “Kalian lihat, air permukaan sangat tinggi dan gambut di bawah amat berair, tetapi gambut lapisan atas masih terbakar,” ujarnya.
“Hal ini menunjukkan, menjaga level air saja tak akan cukup menghindarkan gambut dari kebakaran,” kata Lulie kepada rombongan dari Indonesia. Rombongan itu terdiri dari sejumlah wartawan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, ahli ilmu tanah Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata, dan profesor (emeritus) dari Kyoto University Jepang, Hisao Furukawa.
Lulie pun menyoroti regulasi Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, yang memberi rambu-rambu agar kegiatan usaha di gambut menjaga permukaan air (ground water level) pada 40 cm. Hal itu, menurut Basuki dan Lulie, sulit dilakukan, terutama pada musim kemarau, apalagi saat El Nino hujan tak turun berbulan-bulan sehingga tidak menjamin gambut bebas dari api.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Edward, petugas Tropical Peat Research Laboratory Unit Malaysia, Kamis (25/2), menjelaskan alat dan metode pengukuran emisi karbon dari tanah gambut secara otomatis yang dipasang di perkebunan sawit yang dikelola perusahaan Ta Ann di Sibu, Sarawak, Malaysia. Pengukuran memakai sensor CO2 (karbon dioksida) dan CH4 (metana) pada 16 katup bergantian. Kerja sama dengan Hokkaido University, Jepang, tersebut berjalan sejak Mei 2014. Selain itu, diukur pula genangan air dan subsidensi gambut.
Berpindah ke lokasi lain perkebunan sawit perusahaan Woodman Group, Donie dan kawan-kawannya, yang merupakan anggota staf dari Lulie, kembali mengambil sampel lapisan gambut di kedalaman 0-300 cm, dengan tiap rentang pengambilan 50 cm. Kondisi lapisan itu amat berbeda dari lokasi pertama.
Sampel gambut pada lapisan 0-250 cm berbentuk seperti lontong padat dan pulen saat dipegang. Saat bagian lapisan itu diremas, hanya menitikkan sedikit air. “Ini yang kita butuhkan, gambut menjadi lembab, bukan berair,” ucap Lulie.
Kondisi lapisan
Perbedaan kondisi lapisan gambut itu disebabkan lahan di Woodman telah dikompaksi atau dipadatkan. Jadi, gambut yang memiliki porositas tinggi (0,1 gram per cm kubik) dipadatkan hingga sekitar 0,2 gr/cm3. Pemadatan itu bertujuan untuk menciptakan gaya kapiler, yakni air meresap melalui celah-celah kecil, termasuk secara vertikal ke atas.
Kondisi lembab itu tidak akan membuatnya mengering dan mudah terbakar. Tak cukup berteori, ia meminta seorang jurnalis membakar sampel bagian gambut lembab itu menggunakan gas portabel. Hasilnya memang tak terbakar.
Managing Director Woodman Plantation Dato’ Sri Law Kiu Kiong mengatakan, air permukaan di kanal perkebunannya dijaga pada kedalaman 60 cm. Itu memberi kondisi lahan yang telah dipadatkan tetap lembab dan air mudah diserap tanaman.
Dengan kompaksi, kata dia yang mengelola sekitar 40.000 hektar kebun sawit di Adang Estate, Kuala Balam di Miri, tanaman tumbuh tegak karena akar mengikat material gambut dengan baik. Selain itu, produktivitas meningkat karena pemberian pupuk efisien di lahan padat. Ia mengklaim produksi naik dari rata-rata 27 ton jadi 32 ton per hektar setiap tahun.
Di perkebunan tetangga, pengelola perusahaan Sarawak Oil Palms mengaku produktivitas naik dari 15 ton menjadi 26 ton per hektar tiap tahun. “Kompaksi membuat tanah lembab sehingga api bisa dielakkan,” kata Chua Kian Hong, Group Plantation Controller Sarawak Oil Palms. Perusahaan-perusahaan yang kami kunjungi ini sebagian dari ratusan korporasi sawit di Sarawak yang menggunakan hampir separuh dari total luas gambut di Sarawak (1,6 juta hektar gambut) menjadi perkebunan sawit.
Di lahan untuk gambut, menurut Basuki Sumawinata, kedalaman air pun perlu dijaga agar tidak terlalu tinggi. Angka 40 cm, seperti dalam PP Gambut, dinilainya masih terlalu basah. “Produktivitas sawit kalau akarnya terlalu basah bisa cuma 8-10 ton per hektar setiap tahun,” ujarnya.
Bersihkan lahan
Saat lahan dipadatkan menggunakan alat berat, kata Dato’ Sri Law, itu sekaligus mencabut bonggol-bonggol kayu dan batang-batang kayu. Kemudian, itu diulang lagi sesuai kebutuhan sebelum tanam, bergantung pada jenis gambut.
Pembersihan bonggol ataupun batang kayu yang menonjol di permukaan itu bertujuan menghindarkan kebun dari risiko kebakaran lahan akibat mengering di saat musim kemarau dan El Nino.
“Sampah-sampah” kayu itu lalu ditumpuk (stegging) dan dibakar setelah mendapat izin dari pemerintah setempat. Dato’ Sri Law mengatakan, izin diberikan secara ketat, diawasi, dan itu dilakukan saat gambut basah atau di luar hari hujan intensitas rendah. Jika melanggar ketentuan, maka dikenai denda 50.000 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 175 juta.
Meski dari sisi ekonomi menarik, Basuki mengatakan, contoh baik itu sulit ditiru perusahaan di Indonesia. Sebab, regulasi dalam PP No 150/2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa, melarang subsidensi atau penurunan permukaan lahan. Jika terjadi penurunan muka tanah, aktivitas di atasnya harus bertanggung jawab secara hukum.
Hal itu karena pemadatan mempunyai risiko, bahkan mempercepat, subsidensi rawa gambut. “Paling hanya turun 30-50 sentimeter. Genangan itu terjadi kalau hujan lebat saja, habis itu air turun. Itulah perlunya pengelolaan air,” katanya.
Risiko subsidensi itu membuat metode kompaksi tak cocok bagi lahan gambut dekat pesisir atau pulau kecil yang terpengaruh pasang surut. “Tak ada satu jawaban untuk semua. Perlu uji konfigurasi gambut sebelum kompaksi,” ucap Lulie.
Selain itu, kawasan gambut di Indonesia hingga kini belum selesai dipetakan terkait zonasi budidaya dan zona perlindungan. Di sisi lain, penguasaan lahan, secara legal maupun ilegal, termasuk di lahan gambut, terus berlangsung dan menambah rumit persoalan.–ICHWAN SUSANTO
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Melihat Sarawak Kelola Gambut”.