Perjalanan terburu-buru mengejar kereta cepat Shinkansen saat cuaca dingin musim gugur, Rabu (29/11) siang, terbayar sudah. Rasa capek langsung sirna saat mata kelima jurnalis peserta MRT Jakarta Fellowship Program 2017 dan tim dari PT MRT Jakarta berjumpa si biru.
Siang itu, tim PT MRT Jakarta, Badan Pembinaan BUMD Pemprov DKI, dan lima jurnalis peserta MRT Jakarta Fellowship Program 2017 berkunjung ke Nippon Sharyo, LTD, tepatnya di pabrik Toyokawa di Prefektur Aichi, Jepang.
Nippon Sharyo bukan nama asing di dunia perkeretaapian. Perusahaan ini dikenal sebagai produsen kereta ternama, bukan hanya di Jepang, melainkan juga di sejumlah negara di dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Shinkansen adalah kereta cepat produk Nippon Sharyo yang sejajar dengan kereta cepat TGV Perancis ataupun ICE Jerman. Shinkansen, yang juga disebut “Kereta Peluru” atau Bullet Train, memiliki reputasi apik sejak diproduksi pertama kali pada 1964 sampai sekarang. Keamanan, kenyamanan, kecepatan, dan ketepatan waktu konsisten dijaga. Sampai tahun 2010, sudah 3.000 kereta Shinkansen diproduksi Nippon Sharyo.
KOMPAS/HELENA F NABABAN–Bagian depan kemudi kereta listrik untuk MRT Jakarta yang dibuat Nippon Sharyo, LTD di pabrik Toyokawa di Toyokawa, Prefektur Aichi, Jepang.
Melengkapi reputasi itu, Nippon Sharyo juga memproduksi aneka kereta, di antaranya seri kereta komuter, kereta ekspres, kereta antarkota, juga kereta dalam kota di pabrik Toyokawa yang berdiri di areal seluas 316.000 meter persegi.
KOMPAS/HELENA F NABABAN–Teknisi dari Nippon Signal CO LTD, Senin (27/11), di pabrik Utsunomiya-Shi, Jepang, mengecek operasional dan fungsi gerbang masuk-keluar penumpang yang dipesan PT MRT Jakarta. Sebanyak 99 set gerbang penumpang yang sudah sedia berada di pabrik di Utsunomiya-Shi, Jepang, dan siap dikirim ke Jakarta. Gerbang penumpang itu akan dipasang di 13 stasiun MRT di Jakarta dan menjadi gerbang masuk-keluar penumpang, mengecek operasional dan fungsi gerbang masuk-keluar penumpang yang dipesan PT MRT Jakarta. Sebanyak 99 set gerbang penumpang yang sudah sedia berada di pabrik di Utsunomiya-Shi, Jepang, dan siap dikirim ke Jakarta. Gerbang penumpang itu akan dipasang di 13 stasiun MRT di Jakarta dan menjadi gerbang masuk-keluar penumpang.
Nippon Sharyo mampu memproduksi 600 kereta komuter per tahun. Di Indonesia, kereta produksi Nippon Sharyo bisa dilihat di sejumlah seri KRL yang dioperasikan PT Kereta Commuter Indonesia.
Sejak 2013, Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan pemerintah pusat dan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) membangun angkutan/ transportasi massal cepat (MRT) rute Lebak Bulus-Bundaran HI.
MRT sering didefinisikan sebagai sistem transportasi kereta yang mengangkut banyak orang dan memiliki jalur khusus serta tanpa perlintasan sebidang.
PT MRT Jakarta berupaya memenuhi penyelesaian jadwal konstruksi dan waktu operasional rute ini, yakni Maret 2019. Dalam tahapan pengerjaannya, PT MRT Jakarta membagi pekerjaan dalam paket-paket kontrak.
Tubagus Hikmatullah, Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta, menerangkan, pengadaan kereta termasuk paket kontrak (CP) 108. Paket senilai Rp 1,2 triliun itu meliputi 96 kereta atau 16 set kereta. Nippon Sharyo LTD dan PT MRT Jakarta menandatangani kontrak pengadaan kereta pada 2015.
Si biru
Saat Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Sumarsono menjabat, muncul polemik terkait warna kereta dan desain muka (mock up) di akhir 2016. Warna hijau kereta kemudian berubah menjadi biru tua. Desain kereta juga berubah dengan lengkungan yang aerodinamis.
Pada Rabu sore itulah, setelah Nippon Sharyo berupaya keras memenuhi permintaan Pemprov DKI Jakarta, akhirnya kami bisa bertemu muka dengan si biru yang gagah. Bukan hanya melihat, pihak Nippon Sharyo juga menyilakan kami masuk ke dalam kereta yang tengah diparkir di workshop (bengkel) Toyokawa dan menjalani pengerjaan detail akhir itu.
Seperti anak kecil diberi mainan baru, kami langsung mendekati si biru. Kami begitu terharu, bangga, sekaligus senang karena boleh menjadi orang pertama yang menginjak lantai kereta yang masih ditutupi material pelindung itu. Kami bisa menyentuh permukaan kursi penumpang yang terbuat dari plastik warna biru muda, juga masih terbungkus plastik. Kami pun menjajal pegangan tangan untuk penumpang kereta.
“Terus terang, kami sempat kesulitan dengan permintaan perubahan desain dan warna. Namun, kami berusaha keras memenuhi permintaan Pemprov DKI Jakarta. Inilah hasil kerja keras kami, kereta berwarna biru,” tutur Hiroyuki Idei, General Manager International Project Department Rolling Stock Division Nippon Sharyo, LTD.
Idei menerangkan, tahapan pembuatan kereta MRT Jakarta, sama dengan kereta lainnya, diperlukan waktu 17-20 bulan. Tahap pertama merupakan tahap perancangan sekitar 12 bulan. Tahap kedua, procurement,sekitar 3-12 bulan. Tahap satu dan kedua berjalan simultan.
Lalu ketiga adalah tahap produksi bagian-bagian badan kereta yang diikuti perakitan badan kereta selama dua bulan serta pemasangan instalasi dan perpipaan cairan sekitar 2 bulan. Terakhir adalah pengetesan dan inspeksi selama satu bulan sebelum dikirim ke pembeli.
Untuk menjaga kualitas produk, Nippon Sharyo mempertimbangkan situasi alam dan iklim di negara pembeli. Badan kereta untuk MRT Jakarta, misalnya, menggunakan bahan-bahan dari baja antikarat.
“Bahan tersebut disesuaikan dengan kondisi iklim Jakarta yang lembab dan terik,” ujar Idei sambil menjelaskan, dengan pemeliharaan yang baik dan sesuai jadwal, kereta bisa bertahan hingga 30 tahun.
“Saat ini, produksi kereta untuk MRT Jakarta sudah sekitar 90 persen. Sekitar 10 persen merupakan tahap finalisasi, inspeksi, dan pengetesan kereta,” ujar Idei.
Di pabrik Toyokawa, terdapat trek kereta untuk mengetes kereta. “Dalam pengetesan, kereta akan dijalankan pelan-pelan sejauh 700 meter di trek tersebut,” kata Idei sambil menunjukkan trek kereta yang terletak persis di samping bengkel.
Inspeksi dan pengetesan, menurut Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta Silvia Halim, akan berlangsung pertengahan Desember 2017. Selanjutnya, kereta dikirim ke Indonesia. Pengiriman dengan jalan laut akan dilakukan bertahap mulai Februari 2018 hingga September 2018.
Pengujian kereta juga bakal dilakukan di Jakarta, mulai pertengahan 2018 hingga siap beroperasi Maret 2019.
Pada Agustus 2017, dilakukan pengujian pada bogie frame (rangka roda). Di akhir September, dilakukan pengujian subsistem kereta, antara lain meliputi pendingin ruangan, sistem pintu, motor traksi, dan sistem informasi kereta.
Pendukung operasional
Untuk mendukung operasional, PT MRT Jakarta melakukan pengadaan sistem persinyalan, gerbang masuk-keluar penumpang (passenger gate), serta mesin pembelian tiket. Nippon Signal Co LTD menjadi penyedia semua keperluan itu.
“Sesuai kontrak, sudah ada 99 passenger gate dan 35 mesin tiket yang diproduksi untuk MRT Jakarta,” ujar Satoshi Konnai dari Overseas Sales Department, Overseas Division, Nippon Signal Co LTD.
Dalam kunjungan ke pabrik Nippon Signal di kota Utsunomiya-Shi, Prefektur Tochigi, gerbang untuk penumpang serta mesin tiket masih menjalani tahap finalisasi seperti penambahan detail dan fitur. Fitur “terima kasih” dimunculkan acap kali penumpang memindai kartu tiket di gerbang.
Ucapan yang ditandai warna hijau diikuti membukanya gerbang sehingga penumpang bisa lewat. Gerbang tidak akan terbuka jika tiket tidak sesuai. Dengan teknologi terbaru, gerbang ini bisa melayani 60 penumpang setiap satu menit.
“Jenis kartu kereta (tiket), nominal, serta detail atau fitur kartu tiket masih dalam proses. Kami juga akan melakukan revisi pada mesin tiket yang kami pesan,” terang Hikmatullah.
Konnai menjelaskan, gerbang penumpang serta mesin tiket sedianya akan dikirim ke Jakarta antara Februari-Maret 2018 sehingga bisa mulai dipasang di stasiun-stasiun MRT Jakarta.
Silvia mengatakan, pemasangan gerbang penumpang dan mesin tiket sesuai dengan jadwal penyelesaian konstruksi di Jakarta.–HELENA F NABABAN
Sumber: Kompas, 11 Desember 2017
———————-
Melihat Masa Depan TOD Dukuh Atas
Menjelang pengoperasian MRT Jakarta pada Maret 2019, PT MRT Jakarta memikirkan cara penataan ulang dan pengembangan kawasan stasiun untuk menambah pendapatan dari aspek nontiket. Satu kawasan yang dirancang segera ditata ulang dan dikembangkan sebagai kawasan pengembangan berorientasi transit (TOD) adalah Dukuh Atas.
KOMPAS/HELENA F NABABAN–Stasiun Shinjuku di Shinjuku, Tokyo, Jepang, merupakan salah satu contoh penataan dan pengembangan kawasan berorientasi transit (TOD). Satu operator terbesar di stasiun itu, JR East, menata ulang kawasan dan menyatukan stasiun dengan bisnis gaya hidup untuk meningkatkan nilai kawasan dan mendapat tambahan pemasukan dari nontiket. Penataan itu juga memudahkan akses penumpang kereta.
Belajar dari Shinjuku, Tokyo, Jepang, yaitu saat tim MRT dan lima jurnalis peserta MRT Jakarta Fellowship Program 2017 berkunjung di akhir November lalu, Stasiun Shinjuku merupakan contoh pas pengembangan TOD. Di sana ada sejumlah operator kereta dan bus yang beroperasi di satu kawasan dan bisa melayani penumpang dengan mulus.
Sesuai prinsip dasar pengembangan kawasan TOD yang dimuat dalam Peraturan Gubernur No 44 Tahun 2017 tentang Pengembangan Kawasan TOD, disyaratkan setidaknya ada dua moda transportasi berbeda yang melayani di kawasan itu. Satu dari dua moda itu disyaratkan berbasis rel.
Di Dukuh Atas, bukan hanya ada dua moda, sekurangnya ada enam moda bersinggungan. Hanya saja, keberadaannya dengan gedung-gedung di sekitar kawasan belum terintegrasi.
Tubagus Hikmatullah, Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta, seusai kunjungan ke kantor operator perkeretaapian terbesar di wilayah timur Jepang, East Japan Railway Company (JR East), menyebut, Dukuh Atas memenuhi syarat pengembangan TOD. Namun, ada perbedaan signifikan dengan Shinjuku.
Sejumlah operator di Stasiun Shinjuku, karena sudah beroperasi ratusan tahun, rata-rata punya sendiri aset trek kereta, stasiun, dan gedung seperti hotel, pusat perbelanjaan, dan perkantoran. Itu memudahkan mereka menjalankan bisnis karena mendapatkan dua jenis pemasukan langsung: tiket dan nontiket.
Bagaimana dengan MRT Jakarta? Ahmad Giffari, Kepala Bidang Usaha Transportasi, Properti, dan Keuangan Badan Pembinaan Badan Usaha Milik Daerah Pemprov DKI, mengatakan, hingga beroperasi nanti, aset perkeretaapian MRT Jakarta masih milik Pemprov DKI. Supaya harga tiket terjangkau, Pemprov akan menggelontorkan anggaran pelayanan publik (PSO) atau subsidi bagi MRT Jakarta.
”Saya kira wajar ada PSO karena tidak mungkin aset langsung diserahkan. Di banyak negara, MRT yang dikelola pemerintah pada awalnya pasti mendapatkan subsidi,” ujarnya.
Namun, supaya MRT Jakarta tak bergantung terus pada PSO, diterbitkan Pergub No 140 Tahun 2017 tentang Penugasan Perseroan Terbatas MRT Jakarta sebagai Operator Utama Pengelola Kawasan TOD Koridor Utara-Selatan Fase 1. Di fase sepanjang 16 kilometer dari Bundaran HI menuju Lebak Bulus, ada 13 stasiun. PT MRT ditunjuk mengembangkan TOD di delapan stasiun.
Seiring pengembangan TOD, PT MRT akan punya pendapatan nontiket. ”Yang pertama, maksimalkan yang kami punya, yaitu otoritas sebagai operator utama,” kata Direktur Utama PT MRT Jakarta William P Sabandar di Jakarta, akhir pekan lalu.
Selain membangun infrastruktur, menjalankan kereta, kata William, aspek ketiga adalah menjadi operator utama TOD. ”Kami belum punya aset properti. Yang kami harapkan kalau pemerintah memberikan kepercayaan kepada MRT, itu akan memberikan kesempatan dapat revenue lebih. Posisi MRT memulai apa yang diberikan pemerintah. Kewenangan ini yang coba kami manfaatkan,” paparnya.
Bisnis nontiket
Pengembangan bisnis nontiket JR East ada latar belakangnya. Dalam laman resminya dikatakan, JR East terbentuk dari hasil privatisasi Japan National Railway atau perusahaan perkeretaapian nasional Jepang yang kesulitan keuangan pada 1987.
Saat terbentuk, ada kekhawatiran mengenai kemampuan meraup untung dan mengembalikan kejayaan angkutan kereta. Karena itu, selain fokus menjalankan usaha utama perkeretaapian, JR East mengembangkan pemasukan di luar tiket, seperti bisnis properti, periklanan, hotel, restoran, dan pusat perbelanjaan.
Dari sisi operasi kereta, supaya cakupan layanan meningkat, JR East mengoptimalkan pengembangan layanan di area metropolitan Tokyo. Untuk perjalanan jarak jauh dikembangkan kereta cepat Shinkansen.
Sebagai bentuk efisiensi dan efektivitas, tahun 2001 JR East menerbitkan SUICA atau tiket berbentuk kartu. Awalnya hanya bisa digunakan di wilayah Tokyo, tetapi kini meluas. Bahkan, SUICA juga bisa dipakai di kereta dari operator swasta lainnya.
”Kalau seperti ini, biasanya kami buat kesepakatan business to business antar-operator,” ujar Yoichi Takahashi, Manajer Transportation Planning Department Odakyu Electric Railway Co Ltd. Ada pintu-pintu di mana penumpang bisa menggunakan kartu JR East atau Odakyu untuk berpindah moda.
Menyadari usaha utama angkutan kereta, tahun 2002 JR East mengubah bisnisnya. Bisnis tak lagi dikembangkan terpisah, tetapi dimasukkan ke stasiun.
”Di situlah kami mulai mengatur segalanya, memilih retail yang boleh masuk ke stasiun kami, mengatur zonasi jenis dagangan, dan tarif sewa. Kami juga menata ulang kawasan, mulai dari gedung, penghijauan, menambah area kebudayaan, hingga kawasan pejalan kaki,” ujar Haruo Yamada, Manajer Global Railway Business Division JR East.
Pengembangan bisnis yang sama, dengan memasukkan bisnis gaya hidup ke stasiun sehingga stasiun jadi kawasan terpadu dan bukan sekadar transit hub, juga dilakukan Odakyu dengan Mal Odakyu. Target JR East dengan Mal NEWoMan, setiap pengunjung setidaknya berbelanja 30.000 yen sekali datang.
Aspek inilah yang mesti menjadi perhatian MRT Jakarta. Tentu ini tantangan BUMD DKI itu mengajak pemilik gedung di sekitar stasiun terhubung dan bersama menata kawasan. Juga mengajak operator yang beragam di Dukuh Atas berintegrasi dalam pelayanan angkutan.
Kewenangan di dalam pergub, kata William, akan menjadi alat untuk bekerja sama.
HELENA F NABABAN
Sumber: Kompas, 12 Desember 2017
——————-
Simpul Transit, Shinjuku, dari Pertanian ke Pusat Ekonomi
Kehebatan bisnis Jepang sering dilukiskan oleh banyaknya gedung pencakar langit dengan latar belakang Gunung Fuji (3.776 meter), yang terlihat dari bangunan tinggi Shinjuku, Tokyo, ibu kota Jepang. Gunung Fuji terlihat dari jarak 100 kilometer.
Selamat datang di Stasiun Shinjuku! Selamat datang di stasiun tersibuk di Tokyo bahkan di dunia!”
Seusai keluar dari Bandar Udara Haneda, Tokyo, tepatnya di dalam monorel yang mengantar tim MRT Jakarta dan lima jurnalis peserta MRT Jakarta Fellowship Program 2017 ke Stasiun Hamamatsucho untuk berganti kereta menuju Stasiun Shinjuku, sapaan itu terngiang.
Benar saja, di pintu selatan Stasiun Shinjuku, Tokyo, Minggu (26/11), sapaan itu tergambar. Manusia ramai berlalu lalang di stasiun yang menjadi tempat lima operator kereta dan satu terminal bus. Belum lagi pemandangan gedung pencakar langit yang padat. Bukan main.
Wajar jika data dari laman resmi Stasiun Shinjuku menyebutkan, saban hari tak kurang dari 3,6 juta orang lalu lalang di stasiun yang mulai dibangun tahun 1885 itu. Dengan sekitar lima operator di Stasiun Shinjuku, tak kurang 50 peron terbangun dengan 200 pintu masuk- keluar. Sebagai perbandingan, KRL Jabodetabek melayani sekitar 1 juta penumpang sehari.
Transformasi
Pada periode Edo (1600-1867), Shinjuku merupakan daerah pertanian. Ada satu penginapan yang menjadi titik perhentian pertama para samurai yang berjalan kaki di jalan besar Koshu-kaido dari kastil para shogun atau penguasa militer tertinggi Jepang ke arah barat.
Peran sebagai tempat rehat berubah saat Jepang memulai program modernisasi pada 1860, ditandai dengan dibukanya jalur kereta pertama pada 1872. Shinjuku berkembang menjadi stasiun pada 1885, sebagai perhentian koridor Akabane-Shinagawa yang dioperasikan Nippon Railway, perusahaan kereta swasta pertama di Jepang. Rute itu merupakan cikal bakal trek lingkar Yamanote yang dioperasikan East Japan Railway Company (JR East).
Selanjutnya, sejumlah operator swasta masuk dan membangun jaringan kereta serta stasiun di Shinjuku. Chuo Line masuk pada 1889, Keio Line tahun 1915, dan Odakyu Line pada 1923. Marunochi Line menambahkan jaringan dan stasiun pada 1959, Toei Shinjuku Line pada 1980, dan Toei Oedo Line tahun 2000.
Kelima operator itu, dalam membangun gedung ataupun jaringan kereta, saling berdampingan dan saling membuka untuk memudahkan pejalan kaki dan pergerakan penumpang.
Hari ini, setiap operator memiliki gedung, tanah, jaringan rel, serta stasiun mereka sendiri. Operator terbesar di Stasiun Shinjuku, JR East, tidak hanya memiliki kereta, jaringan rel, stasiun, tetapi juga aset gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan di sekitar stasiun. Operator lain, Odakyu, juga menguasai aset perkeretaapian yang dibangun di bawah pusat perbelanjaan Odakyu di Stasiun Shinjuku.
Kawasan Shinjuku, yang awalnya bercirikan kawasan pertanian, bertransformasi menjadi pusat ekonomi tersibuk di Tokyo, bahkan di Jepang. Berada di Shinjuku sama dengan merasakan denyut nadi Jepang.
Shinjuku bukan hanya simpul transit atau perpindahan antarmoda saja, melainkan juga kawasan gaya hidup. Total ada 22 hotel, 15 mal, belum lagi gedung perkantoran pecakar langit, gedung pemerintahan, juga kawasan pertokoan dan kafe yang mengepung kawasan itu.
Tomoyuki Kawabata, Senior Representative Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) untuk Indonesia, menjelaskan, Shinjuku menjadi salah satu contoh pengembangan kawasan berbasis transit (transit oriented development/ TOD). Pembangunan kawasan Stasiun Shinjuku yang sudah memiliki jalur kereta membutuhkan sekurangnya 15 tahun.
Shinjuku menjadi salah satu contoh pengembangan kawasan berbasis transit (transit oriented development/ TOD).
Haruo Yamada, Manager Global Railway Business Division JR East, menjelaskan, meskipun penumpang JR East sudah banyak, perusahaan menilai perlu upaya-upaya menarik lebih banyak lagi warga Jepang menggunakan kereta. Penataan itu juga untuk meningkatkan nilai kawasan sehingga JR East memiliki pemasukan lain di luar tiket. (HLN)
Sumber: Kompas, 12 Desember 2017