Para tenaga kesehatan di garis depan melawan Covid-19 nyaris tanpa perisai, dengan senjata seadanya. Namun, perlindungan bagi mereka belum memadai, termasuk saat mereka membutuhkan pengobatan.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Petugas medis mencocokan data diri pengemudi angkutan umum sebelum diambil sampel adarahnya saat mengikuti tes cepat pemeriksaan Covid-19 di halaman Kementerian Perhubungan, Jakarta, Senin (20/4/2020). Sebanyak 200 pengemudi angkutan umum mengikuti tes cepat Covid-19 yang diadakan Kementerian Perhubungan tersebut. Tes dilakukan untuk memberikan kenyamanan kepada pengemudi dan keluarganya serta para penumpang.
Para tenaga kesehatan di garis depan, termasuk yang ada di layanan kesehatan tingkat pertama, melawan Covid-19 nyaris tanpa perisai, dengan senjata seadanya. Namun, ketika mereka terinfeksi, bantuan tak segera tiba. Tak hanya itu, sebagian masyarakat justru menstigma mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pagi itu, Rabu (8/4/2020), Budi (32), bukan nama sebenarnya, dokter di salah satu puskemas di Kabupaten Lebak, Banten, ini tiba-tiba merasa tidak enak badan. Tubuh pun lemas, dan siang harinya, tiba-tiba tidak bisa mencium bau sama sekali.
Namun, dia masih mengabaikan gejala awal itu. “Awalnya saya pikir mungkin mau flu. Saya akui ambang batas nyeri saya tinggi. Jadi saya tidak cepat mengeluh untuk sakit-sakit ringan,” tuturnya.
Hari berikutnya, dia masih masuk kerja dan melayani pasien yang terus berdatangan. Sejak pandemi Covid-19, puskemasnya semakin banyak dikunjungi masyarakat yang berobat. Kebanyakan dengan gejala seperti flu dan batuk-batuk.
Namun, indera penciuman Budi tetap menghilang, badan pun masih lemas. Dia kemudian melaporkan kondisinya kepada atasannya. “Pak Kepala Puskemas tanggapannya biasa saja, juga menganggap saya kena flu biasa,” ujarnya.
Sore harinya dia mulai ragu, bahwa yang dialaminya bukan flu biasa. Budi pun menghubungi rekan-rekan dokter lain dan mempelajari gejala Covid-19. “Umumnya, Covid-19 dikenali dari gejala demam, sesak napas, dan batuk kering. Namun, ada informasi baru penyakit ini juga bisa ditandai oleh hilangnya penciuman,” katanya.
Budi mulai mencari cara untuk mendapatkan tes Covid-19. Namun, mendapatkan tes korona tidaklah mudah, bahkan bagi tenaga kesehatan, apalagi di daerah pedalaman.
Masih dengan badan sakit dan hilangnya penciuman itu, Budi memutuskan pulang ke rumahnya di Depok, Jawa Barat, Sabtu (11/4). Awalnya dia mencoba ke puskemas di dekat rumah, namun tenyata disuruh langsung ke rumah sakit umum daerah setempat.
Dia mencoba beranya ke layanan daring Halodoc, namun disuruh langsung ke Rumah Sakit Darurat di Wisma Atlet. Sebaliknya, hotline Covid-19, menganjurkannya datang ke RSUD.
FUTRI DEWI SARI UNTUK KOMPAS–Tenaga kesehatan merawat pasien Covid-19 di rumah sakit darurat Wisma Atlet, Jakarta.
Pada hari Minggu (12/4), Budi akhirnya datang ke RSD Wisma Atlet, namun dia tidak boleh masuk karena tidak ada rujukan. Dia akhirnya ke RSUD di Depok. Setelah antrean lama, akhirnya bisa diterima di Unit Gawat Darurat (UGD).
“Saya sudah menjelaskan gejala anosmia (hilangnya indera penciuman) dan mengaku sebagai tenaga kesehatan, minta tolong diberi rapid test (tes cepat). Tetapi, ditolak karena dianggap tidak ada keluhan berat, selain keterbatasan rapid. Saya disarankan untuk cek darah dulu dan rontgen dulu,” ungkapnya.
Hampir menyerah dengan rumitnya birokrasi, Budi akhirnya menghubungi rekan-rekan sejawatnya di berbagai rumah sakit. Salah seorang seniornya yang bekerja sebagai dokter di RSUD Pasar Minggu di Jakarta Selatan, mengulurkan bantuan untuk memeriksanya.
“Sebagai dokter saja saya susah untuk mendapatkan pemeriksaan. Bagaimana dengan masyarakat?” keluh Budi, yang pernah enam tahun bertugas di pedalaman Papua ini.
Malam itu juga Budi diperiksa dan langsung dirawat di rumah sakit. Paginya dia mulai diambil sampel darah, rontgen, dan diambil swab untuk pemeriksaan spesimen menggunakan PCR. Menunggu hasil tes, dia sudah menjalani terapi Covid-19, termasuk dengan diberi antibiotik.
Di situasi saat ini, mendapatkan pemeriksaan Covid-19 dan penanganan segera memang tak mudah, dan itu juga dialami para tenaga medis. Kisah serupa juga pernah dialami dokter Bartholomeus Bayu Satrio Kukuh Wibowo, yang meninggal pada 26 Maret 2020 setelah ditolak di sejumlah rumah sakit rujukan.
Seperti dikisahkan dokter Tri Maharani, dokter spesialis emergensi yang saat ini diperbantukan di RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, dokter Bayu Bayu mulai mengeluh demam pada 18 Maret 2020 saat dia bertugas di Klinik 24 Jam di Bekasi, tempat biasa dia bertugas.
Dia kemudian diperiksa di RS Citra Harapan Indah, Bekasi, dan dari hasil rontgen dia diduga korona. Awalnya dia mengisolasi mandiri, tetapi karena sakitnya makin parah, Bayu dibawa ke sejumlah rumah sakit rujukan korona, mulai dari RS Persahabatan, RS Sulianti Saroso, hingga RSPAD Gatot Subroto.
Namun, semuanya menolak karena ruang perawatan sudah penuh. Dia kemudian dibawa ke Rumah Saki Darurat Wisma Atlet, tapi di sana tidak tersedia ventilator, sehingg kembali ditolak.
—Contoh baju alat pelindung diri (APD) medis model coverall dipajang di depan salah satu toko alat kesehatan di Pasar Pramuka, Jakarta, Rabu (8/04/2020). Baju APD medis model coverall kini sangat dibutuhkan para tenaga medis karena ketersediaan baju APD medis buatan produsen yang memperoleh izin dari Kementerian Kesehatan tak memadai. Sebagai gantinya, banyak beredar baju APD medis hasil produksi konveksi kecil, seperti yang dipajang di toko ini.
”Akhirnya dia dibawa kembali ke RSUD Bekasi, tetapi akhirnya meninggal dunia. Jadi, dokter juga ditolak di rumah sakit rujukan karena kapasitas terbatas. Ini tragedi,” kata Tri.
Menjalani Terapi
Hari kedua di rumah sakit, gejala penyakitnya bertambah, seiring itu injeksi antibiotik terus diberikan. Dia mulai mual dan muntah, disertai nyeri di ulu hati. Gejala itu terus dirakan “Sebelumnya saya sehat dan tidak punya komorbid (penyakit penyerta),” ujarnya.
Menunggu hasil tes PCR yang tak kunjung ada kabarnya, pada Kamis (16/4), dia mendapat tes cepat berbasis antibodi itu, dan hasilnya diketahui negatif. Hari itu pemberian antibiotik melalui injeksi dihentikan, namun dia masih menjalani isolasi di rumah sakit, sambil menanti evaluasi dan hasil swab.
Pada hari kelima semenjak tes atau Jumat (17/4), hasil test swab itu akhirnya keluar dan Budi dinyatakan positif Covid-19. Hasil rontgen dua kali juga menguatkan indikasi adanya infeksi, demikian juga tes darah menunjukkan adanya leukopenia atau penurunan sel darah putih yang mengindikasikan adanya infeksi.
Sabtu (18/4), Budi masih menjalani terapi. Untuk ketiga kali darahnya diambil dan diperiksa. Tes swab kedua juga sudah dilakukan. Nyeri ulu hati, mual, dan muntah, masih dirasakannya. “Serius sakit ini tidak enak sekali. Akhirnya kita tahu kenapa ini berbahaya. Virus ini bisa menunjukkan gejala berbeda di individu berbeda,” tuturnya.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI–Tenaga kesehatan diprioritaskan untuk menjalani rapid test di Kota Magelang, Jawa Tengah, Rabu (15/4/2020).
Hingga Senin (20/4), dia masih menjalani terapi. “Hingga saat ini saya masih berjuang untuk mengalahkan penyakit ini dan menunggu hasil swab kedua, semoga hasilnya negatif sehingga bisa kembali bersama teman-teman berjuang di lapangan,” sebut Budi.
Melalui komunikasi jarak jauh, dokter Budi awalnya bersemangat menceritakan kisahnya. Dia berharap pengalamannya bisa menjadi pelajaran bagai masyarakat agar tidak menyepelekan pandemi ini, dan terutama bagi tenaga kesehatan lain, terutama di Puskemas, yang saat ini banyak menghadapi gelombang pemudik dengan APD seadanya.
“Saya tidak tahu dari mana tertular, tetapi kemungkinan saat periksa pasien beberapa hari sebelumnya. Teman-teman ada di garda depan tanpa perisai. Minimal unuk nakes di puskemas harus ada masker, sarung tangan, pelindung wajah dan kaca mata. Akan lebih baik jika ada jubah pelindung,” ujarnya.
Namun, dia kemudian menghubungi kembali dan mengeluhkan tentang mulai adanya kekhawatiran terhadap stigma yang akan dialaminya dan puskesmas tempatnya bekerja. Dengan alasan itu pula dia meminta nama asli dan puskesmasnya agar disamarkan.
“Dari pemberitaan di media lokal, ada kepala desa yang telah menstigma tenaga kesehatan lain di puskesmas saya. Saya belum tahu nanti kalau pulang apakah akan diterima warga atau tidak,” keluh Budi.
Penyakit Covid-19 harus diakui memang sangat menular dan mematikan. Namun, para tenaga kesehatan yang telah berjuang di garis depan dengan berani itu seharusnya mendapat dukungan, bukan stigma. Ingat, mereka telah berjuang habis-habisan dengan senjata seadanya demi keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 21 April 2020