Jika vaksin adalah harapan, tes Covid-19 merupakan kebutuhan mendesak di Indonesia. Tes cepat dan akurat, diikuti isolasi atau perawatan bagi yang terinfeksi, merupakan langkah kunci memutus rantai penularan virus.
Memasuki bulan kesepuluh sejak virus korona baru, SARS-CoV-2, muncul di Wuhan, China, Indonesia masih berkutat dengan persoalan tes. Kegagalan pemeriksaan dengan reaksi berantai polimerase (PCR) oleh Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan, pada bulan Januari-Februari 2020, membuat kita gagal mendeteksi dini awal penularan.
SARS-CoV-2 yang memicu pandemi Covid-19 ini baru berhasil dideteksi pada awal Maret dan sejak itu sejumlah laboratorium dari berbagai institusi lain mulai dilibatkan, termasuk swasta. Hingga saat ini total ada 343 jejaring laboratorium yang melakukan tes PCR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan bertambahnya jejaring laboratorium, jumlah pemeriksaan terus meningkat, misalnya pada Kamis (1/10/2020), kita memeriksa 30.296 orang, dan 4.174 orang di antaranya positif. Ini jauh lebih tinggi daripada rata-rata Juni-Juli lalu yang hanya di kisaran 10.000 orang yang diperiksa.
Namun, menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pekan lalu, jumlah tes secara nasional baru separuh dari ambang minimal 1 per 1.000 penduduk per minggu. Mengacu pada standar ini, Indonesia harusnya minimal melakukan tes terhadap 38.500 orang per hari. Berdasarkan data worldometers.info, jumlah tes per populasi di Indonesia di urutan ke-157 dari 213 negara.
Dengan tingginya transmisi virus di komunitas, Indonesia seharusnya melakukan tes lebih banyak lagi, seperti India yang memeriksa 1 juta orang per hari. Tes ibarat jaring yang ditebar untuk mengetahui keberadaan orang di kolam virus. Makin besar jaringnya, kasus yang ditemukan akan kian banyak.
Makin banyak orang yang terjaring untuk dikarantina bagi yang tanpa gejala atau dirawat bagi yang sakit, sangat penting bagi penanganan dini untuk menghindari keparahan. Selain itu, jika tidak segera ditemukan, orang yang telah membawa virus ini akan terus menulari orang lain, apalagi karakter khas dari Covid-19 mayoritas tanpa gejala.
Tes PCR menjadi standar emas dalam diagnosis Covid-19, tetapi prosesnya tak mudah, selain biayanya mahal. Untuk menganalisis PCR, butuh laboratorium memadai berikut peralatan, reagen dan bahan habis pakai, selain tenaga laboran terlatih. Inilah yang menyebabkan di banyak daerah akses terhadap tes PCR masih terbatas dan lama.
Untuk menutupi keterbatasan dan mahalnya biaya tes PCR, tes cepat antibodi banyak dipakai di Indonesia, termasuk sebagai syarat penerbangan. Namun, menurut epidemiolog kolaborator Laporcovid19.org, Henry Surendra, tes cepat antibodi tidak tepat untuk diagnosis.
Tes cepat antibodi, yang biasanya diambil dari darah kita, sebenarnya ditujukan untuk memeriksa antibodi yang dikeluarkan tubuh sebagai respons jika terjadi infeksi virus. Biasanya antibodi ini akan muncul 7-14 hari setelah infeksi sehingga kalau pemeriksaan dengan tes cepat antibodi dilakukan di luar masa inkubasi, kemungkinan hasil negatif tinggi. Tes cepat antibodi seharusnya untuk studi guna melihat tingkat infeksi di suatu populasi.
Pada 11 September 2020, WHO memberikan lampu hijau untuk penggunaan darurat tes cepat antigen, di wilayah dengan transmisi komunitas meluas sementara pengujian diagnostik berbasis PCR masih terbatas.
Bahkan, WHO telah menjalin kerja sama dengan the Bill & Melinda Gates Foundation dan sejumlah lembaga donor lain untuk menyediakan tes antigen ini bagi negara-negara miskin di Afrika. Namun, sejauh ini, WHO baru memvalidasi satu merek tes cepat antigen buatan Korea Selatan. Direncanakan, WHO menyediakan 120 juta tes cepat antigen bagi 133 negara, terutama negara berpendapatan rendah dan menengah.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito, dalam jumpa pers, di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (1/10), menyatakan, pihaknya mengusulkan kepada WHO agar Indonesia jadi negara prioritas penerima tes cepat antigen. Jadi, kasus Covid-19 di masyarakat bisa cepat dideteksi.
Indonesia telah mendapatkan rekomendasi dari WHO untuk menyelenggarakan tes cepat Covid-19 yang mutunya baik. Saat ini tes itu dikaji untuk selanjutnya akan digunakan dengan akurasi lebih tinggi. ”Karena ini mendeteksi antigen, tentu lebih baik dibandingkan dengan mendeteksi antibodi dalam rangka skrining sebelum dilakukan tes penegakan diagnosis dengan realtime PCR,” jelasnya.
Menurut epidemiolog Indonesia di Griffith University Dicky Budiman, Indonesia juga bisa menggunakan tes antigen guna mengejar ketertinggalan pemeriksaan. ”India juga sudah menggunakan antigen ini sehingga bisa melakukan tes sampai 1 juta per hari,” katanya.
Kondisi darurat
Tonang Dwi Ardyanto, pengurus pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS Patklin) mengatakan, Indonesia harus membenahi soal tes Covid-19, dengan memakai metode tes berbeda sesuai proporsinya. ”PCR tetap yang terbaik dan kita harus terus berupaya meningkatkan kapasitas, tetapi tes antigen memang bisa dipakai, dengan sejumlah syarat,” ungkapnya.
Mengacu pada panduan WHO, selain jika telah terjadi persebaran di komunitas yang luas sementara kemampuan PCR terbatas, tes antigen juga disarankan untuk komunitas yang cenderung tertutup, misalnya di asrama, perkantoran, dan penjara. Selain itu, hal ini juga bisa dilakukan jika terjadi lonjakan kasus yang tinggi, yang membuat waktu tunggu tes PCR menjadi terlambat.
Menurut Tonang, kebijakan tentang pemeriksaan Covid-19 di Indonesia membingungkan karena ada keterbatasan kapasitas. Misalnya, menurut panduan terakhir dari Kementerian Kesehatan pada Juli 2020, orang dengan riwayat kontak yang tanpa gejala tidak perlu diperiksa, hanya diminta isolasi mandiri 14 hari.
Akhirnya, banyak orang dengan tanpa gejala melakukan tes mandiri dengan biaya sendiri. Bagi yang tidak mampu, kebanyakan enggan isolasi tanpa ada hasil tes. ”Amerika sempat membuat keputusan tidak memeriksa riwayat kontak yang bergejala pada 24 Agustus. Namun, pada 18 September aturan itu dicabut lagi. Semua kontak dites karena ini tak akan bisa memutus penularan,” ujarnya.
Selain itu, aturan baru Kemkes menyebutkan, pemulangan pasien tidak perlu menunggu hasil tes negatif. Pasien bisa dinyatakan sembuh setelah 10 hari menunjukkan gejala ditambah minimal 3 hari tanpa gejala, termasuk demam dan gejala gangguan pernapasan.
Namun, hal itu kerap memicu masalah karena pasien yang dinyatakan sembuh kemungkinan masih membawa virus dan menularkan. ”Di Singapura, pasien baru dipulangkan setelah 21 hari dirawat, ditambah 7 hari isolsi di rumah,” kata Tonang.
Padahal, rekomendasi WHO pada 26 Mei dan diperkuat pada 17 Juli 2020 menegaskan, pemulangan pasien tanpa tes disarankan jika tes PCR terbatas sehingga dapat dipertimbangkan penggunaan diagnosa berbasis gejala dan waktu. ”Jadi, pilihan terbaik pemulangan pasien tetap dengan tes negatif. Panduan Kemkes yang baru ini lahir karena menyiasati keterbatasan tes, selain mungkin agar angka kesembuhannya terlihat naik,” ucapnya.
Dengan menggunakan antigen secara tepat, beban penumpukan sampel di laboratorium PCR bisa dikurangi. Selain memeriksa semua orang dengan riwayat kontak, idealnya bahkan tes massal dilakukan secara aktif untuk menemukan kasus-kasus baru, yang mungkin luput dari proses pelacakan.
Peneliti di Balai Litbang Kemkes Papua Hana Krisnawati mengaku setuju penggunaan tes cepat antigen ini untuk kondisi darurat, terutama di luar Jawa yang akses tes PCR terbatas. ”Namun, tes antigen yang dipakai harus divalidasi, karena dipasaran banyak merek. Paling aman, pakai yang sudah direkomendasikan WHO, jangan yang lain. Jangan seperti tes antibodi yang kemudian banyak merek dan tidak jelas validasinya,” tuturnya. (LAS)
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 2 Oktober 2020