Perkembangan teknologi informasi mengancam perlindungan hak cipta terhadap industri penerbitan dan percetakan di Indonesia. Hal itu diperparah dengan belum adanya regulasi untuk melindungi penerbit dan pengarang.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu mengungkapkan, pertumbuhan teknologi yang pesat dalam lima tahun terakhir menghambat laju pertumbuhan industri penerbitan dan percetakan. Menurut Mari, kehadiran buku elektronik (e-book) ilegal di dunia maya memengaruhi minat pengarang untuk berkarya.
”Kita harus mencari cara untuk melindungi penerbit dan pengarang dalam penyebaran e-book. Kehadiran undang-undang pun takkan mampu menyaingi pertumbuhan teknologi informasi yang pesat,” papar Mari dalam seminar internasional bertema ”Legal and Financial Consequences of Copyright and Reproduction Rights Protection in the Digital Era”, di Jakarta, Selasa (16/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dia mengharapkan, sektor penerbitan dan percetakan menemukan model bisnis baru, yang mampu memadukan produk fisik dengan produk digital. Pencarian model bisnis baru itu, menurut dia, akan memengaruhi dinamika kehidupan kreativitas di Tanah Air.
”Pengarang dan penerbit tidak hanya bergantung dari penjualan produk fisik, tetapi mereka juga memanfaatkan internet sebagai media pemasaran dan penjualan,” tutur Mari.
Direktur Eksekutif Pusat Perizinan Hak Cipta Amerika Serikat (Copyright Clearance Center) Michael Healy mengatakan, Pemerintah Indonesia harus mendukung sektor industri untuk mengeluarkan produk digital. Bentuk dukungan itu antara lain mengeluarkan sistem pengawasan untuk mengawasi peredaran produk dan transaksi serta meningkatkan kesadaran hak cipta masyarakat dengan berbagai kampanye di media massa.
Iuran royalti
Untuk menjaga hak cipta pengarang, Indonesia bisa mencontoh Singapura yang memberlakukan iuran per tahun bagi semua siswa di berbagai jenjang pendidikan. Besaran iuran itu mulai dari 2 sen dollar Singapura hingga 13 dollar Singapura. Biaya itu digunakan untuk membayar royalti kepada pengarang.
”Sebagai bentuk penghormatan kami atas hak kekayaan intelektual pengarang, kami mengharamkan siswa menyalin materi buku tanpa izin,” ungkap Paul Wee, Chief Executive Officer Badan Administrasi dan Lisensi Hak Cipta Singapura (The Copyright Licensing and Administration Society of Singapore).
Namun, menurut Kepala Subdirektorat Luar Negeri Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Andrieansjah, untuk mengadopsi sistem itu, Indonesia harus memperbaiki budaya masyarakat yang telah kecanduan menyalin buku.
”Tidak hanya sistem yang disediakan, kita juga harus mengubah budaya masyarakat. Butuh usaha keras dan waktu yang lama untuk mewujudkan itu,” kata Andrieansjah. (A07)
Sumber: Kompas, 17 September 2014