Media cetak harus dapat beradaptasi dengan kemajuan teknologi digital jika tidak ingin tergilas pesaing di era disrupsi ini. Industri media cetak masih tetap dibutuhkan sebagai verifikator di tengah tsunami informasi. Namun agar tetap bisa bertahan, perusahaan harus mampu membangun kedekatan dengan pembacanya dalam upaya membangun kapabilitas pasar digital.
J Johny Natu Prihanto memaparkan hal itu dalam disertasinya berjudul “Strategi Membangun Keikutsertaan Pelanggan Melalui Pendekatan Kapabilitas Dinamik: Studi Mengenai Transformasi Digital Berkelanjutan Industri Media Cetak di Indonesia”. Ia mempertahankan disertasinya dalam sidang terbuka promosi doktor di Universitas Bina Nusantara, Kamis (22/2), di Jakarta.
Atas disertasi itu, Johny berhak menyandang gelar Doktor Riset Manajemen (Doctor of Research in Management). Ia lulus dengan predikat yudisium sangat memuaskan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam latar belakang disertasinya, Johny merujuk pada survei Nielsen Consumer & Media View hingga triwulan ketiga tahun 2017, yang menunjukkan adanya pergeseran kebiasaan membaca orang Indonesia dari koran ke digital selama empat tahun terakhir. Pada 2017, tingkat pembelian koran secara personal hanya sebesar 20 persen, menurun dibandingkan pada 2013 yang mencapai 28 persen. Tingkat penetrasi media digital mencapai 11 persen dengan jumlah pembaca 6 juta orang pada 2017, jauh lebih banyak dari pembaca media cetak yang hanya 4,5 juta orang.
NIKOLAUS HARBOWO–J Johny Natu Prihanto (tengah) bersama para penguji dan promotor dalam dalam sidang terbuka promosi doktor di Universitas Bina Nusantara, Kamis (22/2), di Jakarta. Johny memaparkan disertasinya berjudul “Strategi Membangun Keikutsertaan Pelanggan Melalui Pendekatan Kapabilitas Dinamik: Studi Mengenai Transformasi Digital Berkelanjutan Industri Media Cetak di Indonesia”.
Tak hanya itu, belanja iklan, baik koran, maupun majalah juga menurun. Hasil survei Nielsen Ad Intel pada Januari hingga September 2017, menunjukkan, belanja iklan surat kabar dari sebelumnya mencapai Rp 24,3 triliun pada bulan Januari hingga September 2014, di bulan Januari hingga September 2017 menurun hingga Rp 21 triliun. Majalah dari Rp 1,6 triliun pada bulan Januari hingga September 2014 turun hingga Rp 0,8 triliun pada Januari hingga September 2017.
Meski demikian, Johny mengatakan, industri media cetak tidak harus mati. Menurut Johny, melihat fenomena tersebut, industri media cetak seharusnya membangun model bisnis baru dengan bermain di dua platform secara bersamaan, yakni media cetak dan digital.
“Teknologi digital bukanlah sesuatu yang harus dihindari, suka tidak suka industri media cetak harus masuk era digital. Perusahaan harus membangun bisnis model yang baru dengan menjadikan kapabilitas teknologi digital menjadi norma,” kata Johny.
Johny menuturkan, meskipun harus beralih ke media digital, kultur media cetak dalam memberikan informasi yang kredibel harus tetap dipertahankan. Pembaca masih ingin mendapatkan informasi yang akurat di era banjirnya berita di media sosial.
“Ideologis tetap karena media cetak selalu mengandalkan cek dan ricek. Bagaimana pun ketika industri media cetak membangun media digital, kredibilitas itu tetap menjadi norma untuk melawan berita-berita bohong (hoaks) dan berita yang tidak diterima masyarakat secara etis,” kata Johny.
Interaksi pelanggan
Johny menjelaskan, saat ini media digital telah salah mendidik para pembacanya. Pembaca telah masuk dalam kategori ekonomi premium di mana mereka bisa mendapatkan informasi yang bagus tetapi gratis.
“Ini tantangan bagi media cetak yang ingin beralih ke media digital secara berbayar karena selama ini media cetak punya konsep sebaliknya,” kata Johny.
Karena itu, menurut Johny, konsep media berbayar adalah salah satu cara untuk mengembalikan konsep itu kembali. Selain itu, dengan model tersebut, industri media juga dapat mengumpulkan data base pelanggan. Hal tersebut sebagai upaya peningkatan kapabilitas pasar digital.
“Selama ini industri media cetak sama sekali tidak mengenal pelanggannya. Model bisnis yang ditempuh melalui loper koran, sehingga tidak tahu siapa sebenarnya pelanggan. Sebaliknya, dalam konteks industri digital, pelanggan menjadi driver bagi industri,” kata Johny.
Johny juga menyoroti soal aspek kapabilitas kepemimpinan digital yang masih belum baik di industri media cetak. Menurut dia, pemimpin media harus berani menjadi tenaga perubahan.
Ketua penguji yang juga Kepala Bidang Kajian Manajemen Strategis dan Riset Pemasaran Universitas Bina Nusantara Asnan Furinto menuturkan, peralihan media digital memang belum tentu memberi jaminan akan mendapatkan profit yang besar. Namun demikian, data pelanggan yang diterima saat peralihan ke dunia digital yang berbayar, perlu untuk dilihat peluangnya lebih jauh untuk memunculkan penawaran lain yang profitnya jangka panjang.
“Dengan ada data itu bisa dimanfaatkan untuk memberi penawaran lain sehingga tidak hanya mengandalkan pada satu jenis media cetak atau digital tetapi kita bisa ciptakan penawaran-penawaran sesuai keinginan pelanggan. Itu malah bisa menambah pemasukan lebih besar,” kata Asnan.
Narasumber ahli, Ninok Leksono mengatakan, di era digital ini tanggung jawab wartawan menjadi lebih berat karena harus tetap memberikan berita yang berkualitas di saat berita hoaks bertebaran. Di samping itu, ada beberapa wartawan mengalami masa sulit yang tidak sebanding antara gaji dan tuntutan pekerjaan.
“Wartawan tidak dalam posisi diberikan janjinya baik soal kenaikan jenjang kepangkatan maupun remunerasinya. Padahal tuntutannya besar, wartawan harus menjunjung tinggi kode etik, juga demokrasi, Sadar mengenai kebinekaan dengan tujuan-tujuan ikut membangun masyarakat. Itu tantangan kita,” ujar wartawan senior Kompas, yang juga menjabat Rektor Universitas Multimedia Nusantara.(DD18)
Sumber: Komapas, 23 Februari 2018