”Hampir mustahil mempelajari keilmuan apa saja di era sekarang jika tak cakap bermatematika.”
(Iwan Pranoto, ”Kompas”, 10/2)
SEJAK Oktober 2013 sampai Mei 2014, penulis dilibatkan Bank Dunia Jakarta dalam mempersiapkan dan melakukan supervisi terkait uji coba modul Geometri untuk guru-guru SMP/MTs lewat kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Matematika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara sengaja, penulis yang notabene ”orang ilmu sosial” dilibatkan secara langsung ke dalam kegiatan ”orang-orang ilmu pasti” itu dengan satu alasan: apa pun ranah ilmunya, harus selalu dicermati metode pembelajarannya. Uji coba modul Geometri ini menerapkan metode pembelajaran ELPSA (experience, language, picture, symbol, and application), sementara selama lebih dari 12 tahun di bawah Unicef (Badan PBB untuk Anak-anak) penulis terlibat dalam pengembangan metode pembelajaran AJEL (active, joyful, and effective learning), yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan).
Iwan Pranoto (Kompas, 10/2/2014), yang terinspirasi oleh Tan Malaka, secara sangat meyakinkan menegaskan bahwa ”Hampir mustahil mempelajari keilmuan apa saja di era sekarang jika tak cakap bermatematika. (Namun) kenyataannya saat ini orang dapat marah jika dikatakan tak mampu membaca, (sebaliknya) justru orang dapat tertawa jika dikatakan tak menguasai matematika.”
Ilmuwan sosial hendaknya tak tersinggung atas pernyataan itu. Sebab, dalam kenyataan, antarpara pakar ilmu pasti juga tidak semua sependapat bahwa matematika adalah ”raja ilmu”.
Research Institute for Professional Practice, Learning and Education (RIPPLE, 2014) dari Charles Sturt University, Australia, misalnya, menawarkan pentingnya para siswa matang mempelajari geometri dulu, baru setelah itu (silakan) berabstrak- ria dengan matematika. Pembelajaran semua mata pelajaran harus senantiasa dikaitkan dengan kegiatan hidup sehari-hari siswa. Itulah makna dari metode pembelajaran yang mengutamakan pengalaman sehari-hari. Semakin siswa mantap dengan model pembelajaran semacam itu, semakin mantaplah kemudian ketika siswa dihadapkan pada mata pelajaran apa pun, termasuk matematika.
Bukankah sampai kini masih ada persepsi betapa matematika itu abstrak karena itu tak menarik sebagai mata pelajaran, bahkan dianggap momok/hantu? Ikutannya ialah guru matematika itu sangar dan killer.
Kehidupan sehari-hari (baca: sosial) menjadi sangat penting dan utama sebagai media dan medan penerapan ilmu apa pun. Karena itu, perlu diajukan pertanyaan, dalam konteks penerapan ilmu ataupun proses pembelajaran, apakah matematika (bermatematika) dapat menggantikan kehidupan sehari-hari?
ELPSA, sebuah tawaran
Pengalaman sehari-hari sangatlah penting sehingga, misalnya, seorang siswa dihadapkan pada pertanyaan ”Apakah isi itu?”, ia mampu menjawab secara deskriptif dan variatif tentang isi karena merefleksikan pengalaman sehari-hari, bukannya hanya mampu menyampaikan rumus tentang isi.
Model pembelajaran guru sampai saat ini cenderung mengumumkan rumus (dan itukah matematika?) bahwa isi ialah panjang kali lebar kali tinggi. Sangat abstrak, bukan? Ketika seorang siswa masuk sebuah ruang kelas, lalu diberikan pertanyaan: ”Tentang ruang kelas ini, apa itu isi?”, mereka pasti akan kebingungan menjawab karena di hadapannya terdapat meja, kursi, lemari, teman-teman, guru, dan ”isi” lainnya. Bagaimana rumus panjang kali lebar kali tinggi tadi berlaku untuk menjawab pertanyaan tadi?
ELPSA menawarkan model pembelajaran sebagai siklus antara pengalaman, bahasa, gambar/ungkapan, simbol, dan aplikasi. Beri kesempatan seluas-luasnya siswa mengungkapkan pengalamannya berkaitan dengan isi bila pokok bahasannya tentang volume.
Apabila tas yang selalu dibawa ke sekolah terasa berat, umumnya dikatakan karena berisi penuh; sebaliknya ketika terasa ringan, dikatakanlah kosong atau karena isinya sedikit. Dari pengalaman konkret sehari-hari seperti ini, siswa akan menggunakan ungkapan (bahasa) berbeda, seperti: isi itu ya daya tampung; sementara siswa lain mengatakan isi berkaitan dengan berat. Pada saat suara telepon seluler terdengar keras sekali, seorang siswa lain mungkin menegur: ”volume-nya dikurangi dong, bikin kaget saja!” Saat itu siswa tersebut mengungkapkan bahwa volume identik dengan keras-lemahnya suara.
Begitulah siklus ELPSA, dan metode pembelajaran ini dikatakan berhasil apabila pokok bahasan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus dipaksakan ataupun dihafalkan seperti dalam matematika. Pokok bahasan isi/volume bukan hanya ada jawaban tunggal, yaitu panjang kali lebar kali tinggi, melainkan muncul jawaban variatif disertai deskripsi (bahasa) atas dasar pengalaman hidup.
Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari (di rumah) juga variatif, seperti siswa makin tahu berapa menit harus menunggu bak mandi itu penuh, sementara itu ia dapat mengerjakan PR matematikanya. Itu baru tema isi/volume, belum tema-tema lain dalam geometri. Mungkinkah pembelajaran matematika dilakukan seperti itu? Jawaban mungkin akan ”berputar” seperti orang tidak pernah selesai bertanya-tanya tentang telur dan ayam.
Dikaitkan dengan metode
PAKEM, model pembelajaran seperti itu sangat kuat dalam upaya mengembangkan aktivitas dan kreativitas, baik guru maupun siswa, dalam seluruh proses pembelajaran. Metode pembelajaran semacam itu juga pasti menyenangkan karena variatif dan menjauhkan kesan sangar. Sebaliknya, ketika siswa selalu dihadapkan pada rumus-rumus belaka tanpa aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, jangan sakit hati kalau ada julukan guru/dosen killer. Pada saat orang ”terbebas” dari situasi semacam itu, ia bangga karena meski dahulu bodoh dalam matematika, tetapi kini bisa jadi pejabat.
Metode pembelajaran guru/dosen sangatlah menentukan mata pelajaran/kuliah itu menjadi ”raja ilmu” ataukah sekadar dan asal diikuti saja oleh siswa. Matematika dapat menjadi raja ilmu di mata siswa (dan kelak di dalam kehidupan sehari-hari) ketika guru memang benar-benar pintar ”merajakannya”. Juga tentunya mata pelajaran lain. Jadi, sebuah ilmu itu raja bukan karena mata pelajaran itu namanya matematika yang ”hampir mustahil mempelajari keilmuan apa saja di era sekarang jika tak cakap bermatematika”, tapi karena sangat terpengaruh oleh profesionalitas gurulah maka sebuah mata pelajaran itu raja di mata siswa.
JC TUKIMAN TARUNA, Pengembang PAKEM; Tinggal di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah
Sumber: Kompas, 5 April 2014