Matahari ”Lockdown” bagi Ketahanan Pangan

- Editor

Rabu, 24 Juni 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Berdasarkan beberapa pengalaman dalam menghadapi resesi di masa lampau ketahanan pangan merupakan modal utama untuk pemulihan. Jangan sia-siakan situasi solar minimum kali ini, kemarau basah 2010 dapat menjadi pelajaran

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN—Panorama langit Jabodetabek jelang matahari terbit di kawasan Serua, Depok, Jawa Barat, Senin (25/5/2020). Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan secara umum musim kemarau tahun ini diprediksi lebih basah dari musim kemarau tahun 2019.

Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat atau NASA menyebutkan bahwa tahun 2020 ini adalah tahun ”solar minimum” di mana aktivitas Matahari mencapai siklus bintik matahari atau sunspot minimum. Siklus yang berfluktuasi sekitar 11,2 tahun ini mencapai nilai minimumnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Terakhir kita mengalami siklus minimum adalah pada 2010. Siklus bintik matahari minimum terjadi saat jumlah bintik matahari yang terdeteksi dari Bumi mencapai nilai terendah.

Permukaan Matahari adalah sebuah reaktor nuklir raksasa dengan suhu di permukaan mencapai sekitar 6.000 derajat celsius. Suhu tersebut berasosiasi dengan sinar warna kuning, seperti apa yang terlihat dari permukaan Bumi.

Pada suatu waktu tertentu di permukaan Matahari dapat terjadi kondisi suhu yang lebih tinggi karena aktivitas Matahari (solar) sehingga menghasilkan bintik hitam di luar sinar tampak. Bintik hitam ini dikenal sebagai solar sunspot.

Jumlah bintik matahari akan berubah terus-menerus dari maksimum ke minimum dan naik kembali ke kondisi maksimum. Kondisi pada saat permukaan Matahari memiliki sunspot terendah ini yang disebut ”lockdown Matahari”, dengan asumsi Matahari beraktivitas minimum atau dianggap berhenti beraktivitas. Istilah lockdown Matahari diberikan awak media untuk mengacu pada situasi pandemik global saat ini.

KOMPAS/RIZA FATHONI—Kabut inversi permukaan menyelimuti sebagian besar wilayah Jakarta pada Selasa (9/6/2020) pagi hari. BMKG menyebut hal ini disebabkan oleh adanya kondisi inversi di lapisan atmosfer yang merupakan fenomena biasa saat radiasi matahari belum menghangatkan permukaan bumi yang mendingin di pagi hari, namun hal ini dapat diperparah dengan adanya polusi udara.

Potensi El Nino
Dengan menurunnya jumlah bintik matahari, nilai emisi radiasi matahari akan turut menurun. Pada kondisi aktivitas Matahari maksimum, maka Bumi akan menerima energi matahari yang jauh lebih besar dari biasanya. Para ahli iklim telah mengetahui bahwa solar maksimum berasosiasi dengan kejadian El Nino setahun kemudian.

Prosesnya terjadi pada peningkatan kumpulan energi di dalam dan di atas lautan terluas di dunia, yaitu Samudra Pasifik. Kita tahu bahwa fenomena El Nino sangat memengaruhi cuaca dan iklim wilayah maritim Indonesia.

Bencana kekeringan yang menyebabkan situasi kering pada musim kemarau menjadi bertambah kering akibat El Nino. Dengan terjadinya solar minimum ini, maka kemungkinan terjadinya El Nino tahun ini sangat tidak mungkin. Lalu, apa artinya untuk iklim dan ketahanan pangan Indonesia saat ini?

Beberapa pihak mengkhawatirkan kejadian solar minimum kali ini parah, seperti ”Dalton Minimum” atau memunculkan zaman mini es atau little ice age, yang menyebabkan Bumi dingin dan merugikan iklim Indonesia karena kurangnya penguapan.

NASA menyebutkan, pengaruh radiasi Matahari hanya seperenam dari pengaruh gas rumah kaca yang telah memanaskan Bumi sehingga kekhawatiran tersebut sangat tidak beralasan. Iklim Indonesia akan sangat diuntungkan dengan kejadian solar minimum yang terjadi pada saat pemanasan global.

Di lain pihak bahkan NOAA, lembaga laut dan atmosfer Amerika Serikat, telah mendeklarasi bahwa musim semi (spring) 2020 merupakan terpanas selama sejarah pengamatan manusia.

Ketahanan pangan
Meskipun tidak berhubungan, kombinasi kedua fenomena ini akan menguntungkan iklim Indonesia.

Inilah saat yang tepat bagi Indonesia untuk meningkatkan hasil pangan yang sangat berhubungan erat dengan iklim. Indonesia harus menyiapkan diri dengan cukup logistik dan waktu tanam yang optimal hingga kebijakan berorientasi ekspor pada waktu yang tepat sehingga produksi dapat terus dioptimalkan.

Dengan berbagai kenyataan tersebut dapat diprediksi bahwa kemungkinan kita menghadapi kemarau basah. Sebenarnya kondisi kemarau basah terakhir berlangsung juga sekitar 2010, yaitu pada saat Matahari juga mengalami solar minimum.

Banyak yang dapat kita pelajari dari kejadian lampau tersebut. Tentu saja ada dampak negatif dari kondisi kemarau basah, seperti hujan terus-menerus sepanjang tahun di beberapa daerah.

Selanjutnya banyak kemungkinan kejadian banjir hingga pertengahan Juni dan hama yang menggerogoti wilayah yang tidak berganti komoditas. Produktivitas perikanan dan kelautan tentu saja tidak akan menggembirakan, tidak seperti pertanian darat akan sangat diuntungkan.

Selain itu kita mengharapkan terjadi penurunan jumlah titik api atau kebakaran hutan. Selain ancaman kondisi kemarau basah tentu saja dapat berdampak positif pada pola tanam komoditas tertentu. Beberapa daerah dapat mengambil manfaat dengan pola tanam lebih banyak dan waktu panen yang lebih singkat dari biasanya.

Komoditas tanam juga dapat dioptimalkan dengan memilih komoditas yang lebih sesuai kondisi basah tersebut. Hal ini terutama dalam menghadapi pandemik global saat ini. Tentu saja berita kemungkinan peningkatan pangan saat ini merupakan angin segar yang harus kita manfaatkan.

Terlebih untuk meningkatkan pergerakan ekonomi yang baru pulih dari masa resesi pandemik. Peningkatan ketahanan pangan merupakan solusi terbaik saat ini guna mengangkat struktur ekonomi pada level masyarakat petani.

Kita mengetahui berdasarkan beberapa pengalaman dalam menghadapi resesi di masa lampau bahwa ketahanan pangan merupakan modal utama untuk pemulihan. Ketahanan ekonomi pertanian akan berujung pada ketahanan pangan suatu bangsa. Jangan sia-siakan situasi solar minimum kali ini, kondisi kemarau basah 2010 lampau dapat menjadi pelajaran berguna.

Edvin Aldrian, Profesor Meteorologi dan Klimatologi BPPT.

Sumber: Kompas, 24 Juni 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB