Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove menjadi strategi untuk melindungi ekosistem esensial sekaligus bisa membawa manfaat ekonomi bagi warga setempat.
Pelibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan hutan mangrove menjadi pilihan strategi di Indonesia untuk melindungi ekosistem rentan tersebut. Langkah ini membantu masyarakat untuk berkontribusi aktif dalam perlindungan karena mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial dari pengelolaan mangrove yang ramah lingkungan.
Diharapkan upaya ini akan menekan laju kerusakan mangrove yang hingga kini terus terjadi. Ini mengingat peranan ekosistem pesisir tersebut sangat penting bagi mitigasi perubahan iklim, dan penopang perekonomian masyarakat yang tergantung pada perikanan maupun pariwisata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Asep Sugiharta mengatakan, dari 3,3 juta hektar (ha) mangrove di Indonesia, seluas 2,6 juta ha berada di luar kawasan konservasi. Meski mangrove yang berada di kawasan konservasi dinilai relatif aman karena memiliki unit pengelola, pengelolaannya tak luput dari tantangan.
Dalam mengelola kawasan terbuka ini, Ditjen KSDAE mendorong pengelolaan berbasis masyarakat melalui program kemitraan konservasi. Ini mengingat di sekitar kawasan konservasi terdapat 6.747 desa yang ditinggali 9,5 juta jiwa.
Pelibatan masyarakat dalam konservasi tertuang dalam sejumlah aturan, mulai dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya hingga Peraturan Menteri LHK Nomor 48 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem Pada Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam.
Asep menjelaskan, kemitraan konservasi yakni terkait dengan pemberdayaan masyarakat dan pemulihan ekosistem. “Pemberdayaan masyarakat berarti ada akses pada kawasan konservasi agar terjadi dampak atau manfaat misalnya kegiatan wisata alam. Nanti ada sistem zonasi dan ini yang akan diatur,” tuturnya.
Perlu restorasi
Kepala Penasehat Teknis Yayasan Hutan Biru, Benjamin Brown mengatakan kerusakan mangrove di kawasan konservasi membutuhkan restorasi. Ia mencatat kerusakan itu terjadi di di Cagar Alam Tanjung Panjang (Gorontalo), Taman Nasional Sembilang (Sumatera Selatan), dan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (Sumatera Utara).
“Mangrove di Tanjung Panjang pada tahun 2000 memiliki luas 8.800 hektar. Pada 2015 atau dalam kurun waktu 15 tahun, sebanyak 5.400 hektar mangrove beralih fungsi menjadi tambang,” ujar Benjamin yang juga peneliti pada Charles Darwin University, Australia.
Alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak terjadi di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut. Alih fungsi lahan ini mulai terjadi pada tahun 1990 dan meluas pada 2000-2010.
Dari sejumlah kasus tersebut, Benjamin menyimpulkan kerusakan mangrove mayoritas terjadi karena faktor manusia. Oleh karena itu, ia mengimbau agar pengelolaan kawasan mangrove yang dilakukan pemerintah dan kelompok masyarakat pesisir dilakukan dengan mengedepankan sifat adaptif dan kolaboratif.
Salah satu kelompok yang telah menjadi masyarakat mitra polisi hutan adalah kelompok jaga hutan (KJH) Kampung Nayaro di Timika, Papua. Sejak dibentuk pada 2018, KJH cukup aktif melakukan kegiatan monitoring hutan, patroli, dan sosialisasi perlindungan tumbuhan maupun satwa liar.
“Mangrove di hutan itu seperti ibu dan supermarket bagi suku Kamoro karena rumah bagi biota serta memiliki sumber ekonomi yang sangat tinggi bagi masyarakat. Saat pandemi Covid-19 mereka tidak terlalu risau dengan bahan makanan karena dapat mencari ikan dan kepiting di mangrove,” ujar Samuel Apoka, ketua masyarakat mitra polisi hutan Nayaro.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 7 Agustus 2020