Tidak ada pasien yang pernah dilayani dr Maria Yosephina Melinda Gampar (34) yang bisa melupakan keramahannya saat memberikan pelayanan kesehatan. Obat ternyata bukan segala-galanya yang berpengaruh dalam proses penyembuhan pasien.
Sapaan yang manis, senyum, dan dukungan moril dari dokter amat membantu proses penyembuhan pasien yang sedang sakit. Amat pas jika predikat dokter teladan tingkat provinsi pun diraih dr Melinda pada tahun 2012.
Hubungan emosional antara dokter dan pasien dipahami benar oleh dr Melinda dalam tugas pelayanan setiap hari. Pasien yang datang ke puskesmas memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap sang dokter atau paramedis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak mengherankan jika setiap petunjuk, nasihat, resep obat, dan pola hidup sehat yang disampaikan sang dokter ditaati oleh pasien sesuai kemampuan mereka.
Ketika hendak ditemui Kompas di Puskesmas Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), pertengahan bulan lalu, dr Melinda memilih waktu petang. Ia tidak ingin waktu untuk melayani pasien yang sedang rawat jalan jadi berkurang.
”Saya dipanggil menjadi dokter hanya karena ada orang sakit atau pasien. Tanpa mereka, tugas dan fungsi saya tidak bermakna sama sekali. Karena itu, pasien selalu saya prioritaskan dalam tugas dan pelayanan,” kata dr Melinda.
Kepedulian terhadap pasien itu pulalah yang membuat tim seleksi dokter teladan tingkat Provinsi NTT menetapkan dr Melinda sebagai dokter teladan tingkat provinsi tahun 2012.
Namun, menurut dr Melinda, apa yang dilakukan masih jauh dari kemampuan yang harus diberikan kepada pasien. Lagi pula, pengabdian dan pelayanan yang dijalankan bukan untuk mendapatkan penghargaan atau predikat apa pun, melainkan semata-mata melayani pasien.
Dua jam perjalanan
Status pegawai negeri sipil (PNS) baru disandang dr Melinda pada 2008. Ia sudah melalui masa kerja sebagai dokter pegawai tidak tetap (PTT) yang berlangsung mulai tahun 2006 sampai 2008. Masa PTT sampai dengan status PNS lima tahun dijalani dr Melinda di Puskesmas Waenakeng, Kabupaten Manggarai.
Untuk menuju Puskesmas Waenakeng yang memiliki dua dokter dan lima tenaga perawat ini, dr Melinda harus berkendaraan roda empat selama dua jam dari Labuan Bajo. Puskesmas ini merupakan puskesmas rujukan dari tiga kecamatan terdekat. Setiap hari, puskesmas ini melayani 30-100 pasien rawat jalan dan 5-10 pasien rawat inap.
”Namun, masa paling menyenangkan itu saat bertugas di Puskesmas Waenakeng. Pasien yang datang dari desa-desa tidak punya uang, kecuali membawa telur ayam, sayur, pisang, dan buah-buahan. Tetapi, secara perlahan, pasien menyadari harus membeli obat dan membayar jasa dokter dengan uang sebagai alat tukar resmi,” ungkap dr Melinda.
Ia mengatakan, pasien dari desa sangat ramah dan sopan terhadap dokter. Mereka memahami kesibukan yang dialami seorang dokter sehingga sangat jarang menuntut pelayanan cepat meski untuk itu mereka tidak bisa pulang ke rumah lebih awal.
Meski dari desa terpencil, pasien-pasien paham tentang perbedaan jenis obat yang diberikan dokter dari puskesmas dan obat yang diberikan dokter yang berpraktik sore.
Sepintas warna kemasan obat dari puskesmas sering terlihat sama, yakni kuning dan putih. Sementara obat yang didapat dari dokter praktik sore selalu berbeda-beda kemasan ataupun warnanya.
Akan tetapi, menurut dr Melinda, obat bukan segala-galanya yang bisa menyembuhkan pasien. Meski jenis obat yang diberikan merupakan obat umum yang biasa dikonsumsi pasien, jika obat itu diberikan dengan penuh pelayanan, yakni dengan senyum, keramahan, keyakinan, dan ketulusan hati, pasien yang bersangkutan punya keyakinan untuk cepat sembuh.
”Sebagai dokter di puskesmas terpencil, stok obat terkadang tidak lengkap untuk semua jenis penyakit. Meski demikian, obat yang diberikan kepada pasien, entah penyakit apa saja, mampu menyembuhkan sakit mereka,” ujar dr Melinda.
Dokter Melinda mengungkapkan, pasien yang pernah ditolong selalu mengingat dirinya. Tidak jarang, saat datang ke Waenakeng setelah sembuh, mereka menyempatkan diri berkunjung ke puskesmas meski hanya sekadar mengucapkan terima kasih.
Ada juga pasien yang datang membawa oleh-oleh dari hasil desa mereka, seperti jagung muda, buah-buahan, telur ayam kampung, dan ayam.
Darurat
Kondisi darurat sering diakrabi dr Melinda, misalnya ibu yang melahirkan pada malam hari. Apalagi jika di sekitar tempat tinggal sang ibu tidak ada tenaga medis, seperti bidan, ia juga harus mengunjungi pasien tersebut.
Berbeda dengan daerah lain, di area tugasnya tidak ada program Jaminan Persalinan. Program ini memberikan insentif Rp 500.000-Rp 600.000 kepada tenaga medis atau paramedis untuk setiap kelahiran sehat yang dibantunya.
”Saya sering bertengkar dengan pihak keluarga ibu yang akan melahirkan. Terkadang, pada saat kondisi persalinan sudah sangat gawat dan harus diambil tindakan dan keputusan yang cepat, keluarga menolak dengan alasan tidak masuk akal, seperti urusan adat belum beres, minta persetujuan leluhur, dan harus rembuk keluarga terlebih dahulu,” tutur dr Melinda.
Ia mengatakan, meski sudah bekerja maksimal, kasus kematian ibu melahirkan cukup tinggi, yakni 25 orang. Kematian itu, antara lain, disebabkan oleh keengganan pasien dan keluarga pasien untuk dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Ruteng.
Ada juga pasien darurat yang baru tiba di puskesmas tengah malam dan pada saat itu listrik padam. Terpaksa dr Melinda memanfaatkan sumber penerangan seadanya, seperti senter, telepon genggam, lilin, atau lampu darurat yang tersedia.
Atas keberhasilan mengemban tugas pelayanan di Puskesmas Waenakeng, Oktober 2013, dia ditugaskan ke Puskesmas Rawat Inap Labuan Bajo. Puskesmas itu berfungsi sebagai rumah sakit Labuan Bajo karena kabupaten itu belum punya rumah sakit. Padahal, sejak tahun 2005, daerah ini sudah menjadi daerah otonom.
”Saya sudah satu tahun bekerja di Puskesmas Labuan Bajo. Masalah utama yang dihadapi di Labuan Bajo adalah pasien yang datang dari pulau yang jauh. Kami harus prioritaskan pelayanan terhadap mereka agar mereka bisa pulang lebih awal ketika gelombang laut lebih tenang,” ujar dr Melinda.
Di Labuan Bajo atau Kecamatan Komodo, sebagian besar penduduk tinggal di pulau-pulau kecil. Meski sebuah rumah sakit sudah dibangun tahun 2012, kepala dinas kesehatan setempat tersandung masalah korupsi. Akibatnya, nasib rumah sakit itu pun terbengkalai sampai hari ini.
—————————————————————————
Maria Yosephina Melinda Gampar
? Lahir: Kupang, 7 Agustus 1980
? Pendidikan terakhir: Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya, Jakarta, 2006
? Penghargaan: Dokter teladan tingkat provinsi 2012
? Pekerjaan: Dokter pada Puskesmas Labuan Bajo
Oleh: KORNELIS KEWA AMA
Sumber: Kompas, 21 November 2014