Sebagai negara dengan risiko bencana alam, kesadaran bersama seluruh elemen bangsa Indonesia menjadi modal awal penanganan bencana. Belajar dari Jepang, kebijakan manajemen bencana di tingkat lokal merupakan kunci dan prioritas penanganan bencana.
Almarhum Sutopo Purwo Nugroho, pada 2016, mempresentasikan bahwa tsunami Aceh merupakan alarm yang membangunkan Indonesia tentang pentingnya manajemen bencana. Bahkan, ia menyatakan bahwa tsunami Aceh 2004 merupakan Kebangkitan Nasional Jilid II. Menurut Sutopo, pada saat itu timbul kesadaran secara nasional tentang pentingnya penanggulangan bencana.
–Akbar Lakati (51), warga Kelurahan Pengawu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, berdiri di bekas rumah batu bata yang hancur akibat gempa bumi, Senin (6/11). Padahal, rumah-rumah panggung dari kayu rata-rata masih berdiri, dengan sedikit kerusakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendapat almarhum Sutopo yang pernah menjabat Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tersebut tak berlebihan. Pascatsunami Aceh, berbagai aturan terkait kebencanaan, sebagai dasar pelaksanaan manajemen bencana, bermunculan di Indonesia. Dimulai dengan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai awalnya.
Kesadaran serupa terjadi di Jepang. Manajemen bencana di Jepang dimulai dengan sebuah kesadaran bahwa Jepang merupakan negara dengan risiko berbagai bencana alam yang mengintai sewaktu-waktu. Sejak 1940-an, Jepang mengeluarkan berbagai aturan sebagai pedoman mengelola bencana dalam berbagai fase, mulai dari persiapan, pencegahan atau mitigasi, tanggap darurat, hingga pemulihan atau pembangunan kembali.
Hal yang penting adalah bahwa dalam setiap fase bencana jelas ditunjukkan peran dan tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah lokal serta pihak-pihak lain yang bekerja sama mewujudkan berbagai penanggulangan bencana. Secara konkret, Jepang membentuk Dewan Manajemen Bencana (CDM) di setiap tingkatan pemerintahan dari pusat hingga kota.
Salah satu produk CDM pusat adalah rencana manajemen bencana dasar. Rencana itu berisi hal-hal terkait penanggulangan bencana yang komprehensif dan berjangka panjang. Saat ini, rencana manajemen bencana dasar terdiri atas 12 rencana sesuai tipe bencana dari berbagai fase, mulai bencana alam, kecelakaan, hingga kebakaran hutan.
Hasil CDM pusat tersebut kemudian menjadi pedoman untuk pembentukan rencana yang lebih spesifik di tingkat provinsi dan kota. Di tingkat provinsi, hasil dari CDM provinsi adalah rencana operasi manajemen bencana, sedangkan di tingkat kota, hasil CDM kota adalah rencana manajemen bencana lokal.
Kebijakan manajemen bencana di tingkat lokal merupakan kunci dan prioritas manajemen bencana di Jepang. Hal itu didukung oleh aksi sejumlah wilayah prefektur di Jepang dengan mengalokasikan dana yang besar untuk mengembangkan keselamatan di berbagai fasilitas umum.
Selain CDM di setiap tingkat pemerintahan, belajar dari gempa bumi di Kobe 1995, Jepang juga membentuk pos jabatan menteri manajemen bencana pada 2011, pos jabatan wakil kepala sekretaris kabinet bagian manajemen krisis, serta membentuk pusat pengumpulan informasi bagi kabinet.
Penambahan pos jabatan terkait bencana tersebut lebih merupakan usaha untuk memastikan terwujudnya kolaborasi di antara berbagai organisasi pemerintah dalam skala yang lebih luas.
Dari bawah
Di atas kertas, manajemen penanggulangan bencana Indonesia mirip dengan Jepang. Di Indonesia, BNPB di tingkat pusat, sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tugas BNPB dan BPBD sendiri senada dengan CDM di Jepang. Mengingat setiap bencana adalah peristiwa yang unik, satu tempat yang lain berbeda cara penanggulangannya, pelajaran utama dalam manajemen bencana adalah belajar dari penanganan bencana terus-menerus.
Momentum peringatan satu tahun penanganan pascabencana Palu dan Lombok dapat menjadi evaluasi bagi manajemen penanganan bencana di Indonesia. Tak perlu membuat aturan baru ataupun pos jabatan baru, tetapi bisa dengan mengoptimalkan hal yang selama ini belum berjalan dengan maksimal.
Mungkin, salah satu masukan yang diingatkan oleh almarhum Sutopo dapat menjadi pertimbangan, yang dapat dibahasakan sebagai manajemen dari bawah ke atas. Sutopo mendorong kesadaran pemerintah kabupaten atau kota tumbuh menjadi penanggung jawab utama penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya.
Dengan demikian, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat lebih berperan sebagai pendukung pemerintah kabupaten/kota ketika ada hal yang tak tertangani oleh daerah. Ditambah melibatkan TNI dan Polri sejak dini, resep manajemen bencana dari bawah ke atas warisan Sutopo ini dapat menjadi pendukung bagi perkembangan kesadaran manajemen bencana di Indonesia. (Mahatma Chrysna/Litbang Kompas)
Sumber: Kompas, 6 November 2019