Kenaikan suhu bumi pada maksimal 2 derajat celsius paling hemat biaya secara ekonomi. Ini secara kebetulan tepat dengan angka target pada Perjanjian Paris 2015.
Para peneliti menunjukkan, tingkat pemanasan global yang paling hemat biaya secara ekonomi pada titik maksimal 2 derajat celsius. Angka ini bertepatan dengan target Perjanjian Paris 2015 yang telah ditandatangani 190 negara.
Hasil riset terbaru tersebut diharapkan bisa memaksa para pihak untuk lebih agresif menekan laju penambahan emisi. Ini karena angka komitmen penurunan emisi yang disampaikan setiap negara masih membawa bumi pada peningkatan 2,3 derajat celsius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Evaluasi terbaru pun menunjukkan aksi nyata para pihak, penandatanganan Perjanjian Paris, masih jauh dari angka tak aman tersebut. Di sisi lain, COP ke-25 Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Madrid, Spanyol, pada Desember 2019 tak berhasil membawa negara-negara untuk menaikkan ambisi penurunan emisi menuju maksimal 1,5 derajat celsius seperti arahan Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC).
Hasil penelitian terbaru dihasilkan dari simulasi komputer dengan menggunakan model yang ditemukan William Nordhaus, penerima Nobel Ekonomi 2018 dari Amerika Serikat, ini diharapkan bisa membawa semangat baru untuk sama-sama mengerjakan penurunan emisi agar suhu tak melebihi 2 derajat celsius. Model tersebut mempertimbangkan kerusakan iklim seperti peningkatan cuaca ekstrem dan penurunan produktivitas tenaga kerja terhadap biaya penurunan emisi gas rumah kaca dengan menghapus batubara dan minyak secara bertahap.
”Untuk mengamankan kesejahteraan ekonomi bagi semua orang di masa pemanasan global ini, kita perlu menyeimbangkan biaya kerusakan perubahan iklim dan biaya mitigasi perubahan iklim. Sekarang tim kami menemukan apa yang harus kami tuju,” kata Anders Levermann dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) yang juga akademisi Universitas Columbia, New York, ketua tim peneliti, 27 Januari 2019 pada Sciencedaily.
Dalam publikasi riset berjudul ”Paris Climate Agreement Passes the Cost Benefit Test” pada jurnal Nature Communication tersebut, Levermann menggunakan sejumlah pengujian menyeluruh dengan menggunakan komputer. ”Dan kami kagum menemukan bahwa membatasi kenaikan suhu global menjadi 2 derajat celsius, seperti yang disepakati dalam proses berbasis ilmu, tetapi sangat politis yang mengarah ke Perjanjian Paris 2015 yang memang muncul optimal secara ekonomi,” ujarnya.
Kebijakan iklim, seperti penggantian pembangkit listrik tenaga batu bara oleh kincir angin dan energi matahari atau pengenaan pajak emisi karbon dioksida (CO2), memiliki sejumlah konsekuensi biaya ekonomi. Konsekuensi serupa juga sama berlaku untuk kerusakan iklim.
Memotong emisi gas rumah kaca jelas mengurangi kerusakan akibat iklim. Namun, sejauh ini mengamati ”kerugian ekonomi” yang diakibatkannya belum benar-benar diperhitungkan dalam perhitungan jalur kebijakan yang optimal secara ekonomi. Ini yang dilakukan Levermann dan timnya.
Mereka melakukan penelitian tentang kerusakan ekonomi yang didorong oleh efek perubahan iklim dengan menggunakan sistem simulasi komputer yang paling terkenal, model Ekonomi-Iklim Dinamis Terpadu yang dikembangkan oleh peraih Nobel Ekonomi, William Nordhaus. Model ini digunakan di masa lalu oleh Pemerintah AS.
”Sungguh luar biasa, betapa masuk akal batas suhu kurang lebih 2 derajat celsius, menonjol di hampir semua kurva biaya yang kami hasilkan,” kata Sven Willner, dari PIK dan tim penulis penelitian.
Preferensi untuk konsumsi
Para peneliti menguji sejumlah ketidakpastian dalam studi mereka. Misalnya, mereka memperhitungkan preferensi orang untuk konsumsi hari ini daripada konsumsi besok dibandingkan gagasan bahwa generasi masa depan seharusnya tidak memiliki lebih sedikit pilihan konsumsi. Hasilnya batas 2 derajat celsius adalah yang paling hemat biaya secara ekonomi juga berlaku untuk berbagai kemungkinan sensitivitas iklim.
”Karena kita telah meningkatkan suhu planet lebih dari satu derajat. Dua derajat celsius membutuhkan tindakan global yang cepat dan mendasar,” kata Levermann.
–Potensi kerugian ekonomi di Indonesia dari empat sektor akibat perubahan iklim (dalam triliun rupiah). Sumber: Bappenas
Ia menyatakan analisisnya didasarkan pada hubungan antara suhu dan pertumbuhan ekonomi yang masih memungkinkan terdapat efek lain yang belum dapat diantisipasi. Efek itu di antaranya pada respons masyarakat terhadap perubahan iklim seperti konflik yang bisa mengubah analisis biaya-manfaat yang dilakukannya. Namun, riset terbarunya ini setidaknya bisa menjadi argumen pendorong dunia lebih ambisius menekan emisi gas rumah kaca.
”Dunia kehabisan alasan untuk hanya duduk dan tidak melakukan apa-apa. Semua (orang) yang telah mengatakan bahwa stabilisasi iklim akan menyenangkan tetapi terlalu mahal, kini dapat melihat bahwa pemanasan global bila tidak dikurangi-lah yang terlalu mahal,” kata Levermann.
Ia mengatakan, bisnis seperti biasa yang berjalan saat ini bukan merupakan pilihan layak. Pilihannya, dunia mendekarbonisasi ekonomi atau membiarkan pemanasan global menambah biaya bisnis dan beban masyarakat di seluruh dunia.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 1 Februari 2020