Tentang dunia anak, tak kurang dari Dr Soedjatmoko bekas Rektor Universitas PBB yang kini tercatat sebagai calon terkuat menduduki kursi Dirjen UNESCO perhah berkata, ”masa depan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan kita mangembangkan sumber daya alam yang kita miliki. Masa depan terutama ditumbuhkan oleh kemampuan kita untuk mengembangkan sumber daya manusia yang potensinya terdapat dalam kelompok anak usia 15 tahun ke bawah.”
Tampaknya keinginan Soedjatmoko masuk akal, mengingat jumlah kelompok usia ini (di Indonesia) pada tahun 1980 hampir menyamai jumlah penduduk usia produktif 39 persen dari seluruh jumlah penduduk. Bahkan angka itu bisa lebih besar, mencapai 50 persen jika diletakkan dalam definisi undang-undang Kesejahteraan Anak No. 4/1979 yang menetapkannya dalam batas 9 sampai 21 tahun.
Sementara itu, para orang tua berlomba menginginkan anaknya jadi “juara”, menginginkan anaknya jadi “pemenang”. Semua ingin meningkatkan kualitas sang anak. Seakan-akan di hadapan mereka tak ada pilihan lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun proses modernisasi dalam arti proses perubahan masyarakat kea rah nilai-nilai modern, ternyata tak selunak itu. Banyak harapan dan impian tak terwujudkan. Bahkan tak jarang modernisasi membawa petaka. Maka orang lalu ramai-ramai mulai mempertanyakan. Seminar, diskusi, lokakarya mengenai anak pun mereka datangi berbondong-bondong sekadar mencari resep.Padahal persoalan taklah sesederhana itu.
BAGI Dr. Sarlito W. Sarwono, gejala pencarian resep itu memuat dua keuntungan. Pertama, orangtua bisa membantu kesulitan anak. Kedua, keterlibatan orangtua secara emosional memberi semangat pada anak. Anak merasa diperhatikan, dan merasa dekat dengan orangtua. Orang tua tidak hanya marah jika anaknya tak lancar dalam studi, tapi bisa mengerti.
Sebaliknya, dr Jan Prasetya, Kepala Bagian kejiwaan Anak RSCM, berpendapat gejala itu bisa menguntungkan, bisa merugikan. Menguntungkan karena sepintas kelihatan betapa orangtua mau lebih terlibat dengan kebutuhan anaknya terutama soal pendidikan. Merugikan, dikhawatirkan kesadaran akan pantingnya pendidikan menjurus ke over education.
“Orang tua yang terlalu ingin menjagoi anaknya justru menaruh beban berat bagi anak. Anak merasa dituntut untuk selaIu pintar, seIalu mencapai prestasi tinggi, ” katanya. Risikonya, anak diawasi dan digenjot mati-matian, lewat tes ini dan itu.
Tapi tanpa menyebut istilah modernisasi, semuanya adalah gejala perubahan zaman. Modernisasi dengan salah satu wujudnya “Persaingan” dalam segala bidang, termasuk juga bidang tenaga kerja. Penerapan teknologi, salah satu kelanjutan sekuensial dari industrialisasi, mau tak mau menyodorkan persyaratan baru yang ketat, misalnya dalam penerimaan pegawai.
Memang sebagai Negara membangun, negeri ini tak lepas dari proses itu. Anak-anak pun dicoba dipersiapkan ke sana. Orang tua berusaha keras lewat berbagai cara, dengan tujuan mereka bisa lolos dari segala persyaratan. Konsep jagoan, pahlawan, serba nomor satu, segera saja diterapkan bertubi-tubi. Anak harus jadi insinyur mesin, jad insinyur pertanian, ahli ekonomi, jadi dokter, dan seterusnya.
PENDIDIKAN formal pun tampaknya telah hanyut dalam proses itu, ditandai dengan adanya sistem ranking atau sistem seleksi. Semua pihak mempersiapkan anak jadi “pemenang”.
Gejala ini kelihatannya telah merasuk di mana-mana. Beberapa kalangan ahli yang dihubungi Kompas mengakui keberadaannya. “Bukan di negeri ini saja, tetapi sudah menjadi gejala umum di Negara-negara berkembang,” Jelas Prof Ny. T. O Ihromi, staf pengajar FISIP-UI yang banyak meneliti tentang dunia anak anak.
Keterangan yang senada juga diperoleh dari Dra Judiawati E Markum, staf pengajar Fakultas Psikologi UI dan Drs Mulyono, pedagog yang sehari-hari banyak menangani kasus persoalan anak. ”Hal itu wajar saja dalam dunia yang kompetitif”.
”Hanya sayang, seperti juga di negara-negara berkembang lain, kita belum siap betul dalam proses itu,”lanjut Ihromi. ”Kalau ada yang jadi juara, tentu ada yang gagal. Nah kita kurang mempersiapkan anak untuk menghadapi kegagalan, sehingga tak jarang akhirnya menimbulkan tingkah laku menyimpang dari mereka yang tak berhasil jadi pemenang, sebagai self defence mechanism agar tetap diakui orang.
Di beberapa negara maju, ekses ketimpangan semacam ini menimbulkan tindakan-tindakan yang berbahaya. Di Jepang misalnya, anak-anak yang gagal keluar jadi ”pemenang” ramai-ramai melakukan bunuh diri. Karena situasinya gawat Perdana Menteri Nakasone dengan tergopo-gopoh membentuk komisi pendidikan. Mengusulkan untuk memperlunak sistem pengajaran di sekolah-sekolah Jepang.
Ekses demikian memang belum terjadi di Indonesia. Tapi beberapa data menunjukkan meningkatnya jumlah tingkah laku menyimpang di kalangan anak-anak, seperti juga diakui Ny. Lily Rilantono, ketua umum Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Dan tampaknya tingkah laku mereka juga didorong oleh tuntutan snobis dari luar diri mereka (pola konsumsi masyarakat) yaitu untuk segera menikmati kehidupan.
Berdasarkan catatan Biro Pusat Statistik, pada tahun 1981 persentase tambahan nara pidana anak-anak 3,7 persen. Tahun 1982 tercatat 3,5 pesen. Satu tahun berikutnya,1983 naik jadi 3,9 persen. Dan pada tahun 1984, tampak peningkatan yang cukup berarti, menjadi 4,3 persen.
Situasi yang sama juga ditemui di kalangan pemuda. Pada tahun 1984 persentase tambahan nara pidana meningkat 0,6 persen dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, kasus-kasus yang masih pada tingkat dikonsultasikan juga cukup besar jumlahnya pada tahun-tahun terakhir ini. Di Klinik Anak Fakultas Psikologi UI misalnya dalam seminggu saja rata-rata ada 24 kasus yang mareka tangani. Di Pusat Informasi tentang Anak yang dikelola oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, yang juga memberi jasa konsultasi walaupun baru didirikan empat bulan lalu, rata-rata lembaga ini tiap harinya menampung tiga kasus. Masalah yang menonjol di dua lembaga ini menyangkut “sekitar kenakalan anak” dan “masalah penurunan prestasi sekolah”.
KALAU masalah penurunan prestasi sekolah dicoba dirunut, segera kelihatan, penyebabnya tak semua beleh ditimpakan pada anak. Kurikulum yang diterapkan misalnya, ternyata tak sesuai dengan kebutuhah anak. Untuk itu diperlukan satu strategi bagaimana menerjemahkannya sesuai dengan masalah aktual, kata Dra Fauzia Aswin Hadis dari Fakultas Psikologi UI.
Menurut pengamatan Kepala Jurusan Psikologi Perkembangan FPUI itu, guru terlalu terpaku pada kurikulum. Mereka tak diberi kesempatan menafsirkan atau tak bisa menambahkan sesuai kebutuhan konkret dan actual.
Sekolah, an sich memang selalu akan ada jarak dengan perkembangan masyarakat.Perubahan masyarakat akan selalu lebih dulu menapak maju, kata Prof. Dr. Winarno Surakhmad. Tetapi dengan kelonggaran menafsirkan kurikulum kesenjangan ini sedikit bisa terjembatani. Kalau tidak selagi anak tertatih-tatih diterpa pengaruh modernisasi, serentak pula sekolah sudah mandul.
Dan yang terjadi kemudian, kasus kesulitan belajar semakin membesar jumlahnya, tambah Jan Prasetya. Banyak sebab bisa diajukan, termasuk pula soal kurikulum yang lepas kebutuhan. Akibat selanjutnya ialah tidak berhasil di sekolah adalah kegagalan. Sukses di sekolah adalah ukuran utama, belum lagi diperkuat oleh keberhasilan sekolah yang diukur dari selembar ijasah.
Tanpa semua itu, gelar juara tak terpegang. Gagal sudah!
LALU bagaimana mengatasi ketimpangan ini?
“Sang anak harus dibekali pendidikan humaniora, di samping pelajaran-pelajaran pokok seperti bahasa, matematik, membaca, berhitung,” jawab Ihromi. Dengan pengetahuan tentang moral, anak diharapkan mampu memperdalam visi kehidupannnya, bahwa hidup itu tidak hanya berarti kesuksesan, tetapi juga bisa berarti kegagalan, hingga dengan demikian mereka mampu bangkit kembali.
Pendidikan humaniora memang belum merasa diajarkan di sekolah-sekolah di negeri ini. Tapi itulah tantangan. Artinya, sistem pendidikan perlu dirumuskan kembali.
Ia tampaknya menjadi kebutuhan mendesak. Karena keluarga yang bisa berperan juga dalam pendidikan humaniora, ternyata dalam perkembangan akhir-akhir ini punya keterbatasan pula. Wanita-wanita yang bekerja di luar rumah dari tahun ke tahun semakin banyak jumlahnya. Pada tahun 1971 menurut catatan BPS jumlah itu baru 12 juta. Tahun 1980 naik menjadi sekitar 17 juta, dan dua tahun kemudian mencapai 21 juta.
Dalam tahun-tahun mendatang, tantangan tersebut akan semakin berat tampaknya, mengingat program nasional pemerintah dalam bidang Keluarga Berencana secara tidak disadari diduga akan menimbulkan berbagai kendala baru.
Bukan saja karena dengan anjuran ”cukup dua anak saja”, tuntutan orangtua terhadap anak untuk selalu jadi “pemenang” semakin besar, tetapi juga menuntut orangtua beralih dalam pola asuh. ”Kita sudah terbiasa dengan pola asuh untuk enam atau delapan anak, tapi belum terbiasa untuk mengasuh satu atau dua anak,”ujar Ny Ihromi.
Apa yang dikhawatirkan Ihromi, pernah jadi masalah besar di RRC yang saat ini juga tengah menggalakkan program keluarga berencana dengan ”anak tunggal”. Para ahli sosial Cina mempertanyakan program itu. Program ini akan mengubah karakter bangsa Cina dalam kegiatan gotong royong misalnya.
Apa yang dirisaukan Ny. Ihromi dan para ahli sosial Cina tampaknya cukup beralasan, karena anak tunggal bisa melahirkan sifat-sifat egois dengan kemampuan adaptasi sosial rendah, yang akkhirnya hanya menyuburkan sikap individualistis.
Untuk menghindarkannya Prof lhromi memberi jalan keluar. Satu atau dua anak harus diimbangi dengan ”pola asuh teman sepermainan”. Di sini sang anak banyak dibiarkan bermain dengan teman-teman di luar rumah.
Memang pemompaan serba juara,serba jagoan, serba pemenang bisa jadi boomerang. Juara bisa membawa petaka.
———
Pengantar -Menyambut Hari Anak Nasional 23 Juli, Kompas mencoba mangangkat permasalahan sekitar anak, dengan fokus keterkaitan antara anak – orangtua – masyarakat. Paket tulisan terdiri empat tulisan: tiga di halaman ini dan lainnya sekitar anak di LPAN Tangerang di halaman I Semua digarap oleh Yuni Ikawati, Maria Hartiningsih,Retno Bintarti, Herman Darmo, dan St Sularto.
Sumber: Kompas, 23 Juli 1985