Mahasiswa: Lebih Asyik dengan Isu Aksesori?

- Editor

Selasa, 4 Januari 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dalam beberapa kali perbincangan dengan sejumlah mahasiswa, suasana kampus saat ini memang sudah berbeda dengan sebelumnya. Mahasiswa saat ini lebih sibuk memikirkan bagaimana agar kuliah mereka segera selesai, segera mendapat pekerjaan, dan hidup mapan.

”Ya bagaimana? Di kampus memang sekarang suasananya begitu. Kuliah pulang, paling kita nongkrong sambil ngopi di kafe begini,” ujar seorang mahasiswi sebuah universitas di Bandung, beberapa waktu lalu.

Bahkan, menurutnya, fakultasnya yang memiliki dua kampus berbeda—satu kampus di kawasan utara Bandung, satu kampus di Jatinangor, Sumedang—membuat mereka sama sekali tidak mempunyai kegiatan kampus yang berarti. ”Kampus yang di Bandung tempat saya kuliah sih kayaknya biasa-biasa saja, kita kuliah pulang. Kalau mau gabung dengan teman di Jatinangor jauh juga dan tidak ada waktu,” ujarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam sebuah obrolan ringan dengan Brian Yuliarto, Kepala Lembaga Kemahasiswaan Insititut Teknologi Bandung (ITB) Bandung, mengakui, kondisi mahasiswa saat ini berbeda dengan kehidupan senior-senior mereka sebelumnya. ”Bisa dibilang, mahasiswa lebih asyik dengan isu-isu aksesori, bukan isu-isu strategis,” ujar Brian.

Mungkin karena itulah di sejumlah kampus saat ini, misalnya, lebih meriah dengan kegiatan flashmob daripada aksi-aksi kemasyarakatan lain.

Aksi terakhir yang bisa dibilang cukup besar dilakukan mahasiswa adalah akhir Januari lalu. Namun, itu pun tampak gerakan mereka—walaupun dilakukan bersama—tidak menggotong isu yang sama. Tidak ada juga menonjol sosok kepemimpinan di antara mereka. Jangan dibandingkan dengan gerakan mahasiswa sebelumnya, termasuk gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan kekuasaan Orde Baru.

Benarkah mahasiswa saat ini apolitis dan tidak peduli lagi dengan urusan bangsa? ”Ya mungkin tergantung mahasiswanya juga ya,” kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Demosioner Fikom Unisba Bandung Levana. Namun, Levana mengakui, saat ini para mahasiswa sangat sibuk untuk mengikuti jadwal kuliah. ”Sekarang syarat kelulusan saja absensi kehadiran harus terisi 75 persen. Bahkan, mahasiswa kedokteran katanya 100 persen. Belum lagi kita harus mengerjakan tugas-tugas lain,” katanya. Dia menduga, kesibukan kuliah yang luar biasa sedikit banyak memengaruhi mahasiswa untuk ikut memikirkan hal-hal lain di luar kampus maupun perkuliahannya.

Levana mencontohkan, BEM sudah memiliki berbagai program untuk para mahasiswa, mulai dari bakti sosial, diskusi, ataupun ikut berunjuk rasa untuk memperingati hari-hari tertentu, seperti Mayday untuk memperingati hari buruh. Repotnya, mahasiswa kini banyak yang ogah untuk ikut berunjuk rasa. ”Sepertinya itu dampak dari aksi-aksi unjuk rasa yang cenderung anarkis,” kata Levana.

Namun, ternyata enggak begitu juga. Untuk meningkatkan rasa kepedulian terhadap berbagai persoalan, BEM berupaya mengadakan seminar atau diskusi-diskusi. ”Tetapi, animo mahasiswa tetap saja sedikit,” ujarnya.

Menurut Levana, sepertinya mahasiswa saat ini memang sudah terbentuk seperti itu. Alasan lain, sering kali mahasiswa dibuat bingung dengan berbagai pengalihan isu di media. Misalnya, di saat masyarakat sedang ramai membicarakan skandal Bank Century, tiba-tiba saja kasus video seorang penyanyi seolah-olah menjadi berita besar, dibesar-besarkan oleh para pejabat terkait.

Ingin cepat lulus

Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Stefanus Asat Gusma juga mengakui jika mahasiswa saat ini tidak tertarik berpolitik. ”Mahasiswa saat ini berbeda dengan angkatan 66, 78, maupun angkatan 98,” kata Gusma. Saat itu mereka mahasiswa memiliki ”musuh bersama” untuk mereka lawan bersama, semisal saat 1998 mahasiswa secara bersama dan solid bergerak untuk menggulingkan kekuasaan Orde Baru.

Gusma juga sependapat dengan Levana. Sistem akademik saat ini sangat ketat dengan kompetisi antarmahasiswa yang demikian tinggi. ”Sistem itu telah menjadikan mahasiswa tidak memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah sosial politik di sekitar mereka,” ujar Gusma. Dia mengingatkan apa yang pernah diungkapkan oleh mendiang Romo Mangun Wijaya bahwa mereka bisa kuliah dan menjadi mahasiswa sebenarnya yang di dalamnya juga ada ”darah dan keringat” masyarakat. Jadi sudah seharusnyalah mereka tetap peduli terhadap persoalan-persoalan rakyat di sekitarnya, yang terkesan semakin ditinggalkan oleh elite politik.

Hal lain adalah mahasiswa saat ini terjebak dalam gaya hidup hedonisme. Seusai berkuliah, mereka lebih suka menghabiskan waktu di mal atau sekadar nongkrong di kafe. Pembicaraan pun lebih sering dipenuhi dengan obrolan mode, musik, atau film daripada persoalan-persoalan bangsa, dari belum tegaknya hukum hingga ke korupsi yang semakin menggerogoti negara ini, atau kehidupan masyarakat yang semakin sulit dan sengsara. Jangan heran jika banyak di antara mereka bahkan tidak membaca surat kabar, apalagi mengikuti isu-isu yang berkembang di masyarakat.

”Kita tidak bisa menyalahkan mereka,” katanya. Bukan melulu karena persaingan yang semakin ketat atau tuntutan orangtua agar mereka segera menyelesaikan sekolah. Namun, sistem pendidikan yang ada pun tidak membangun kampus dan mahasiswa menjadi manusia-manusia yang berkualitas, yang peduli akan nasib bangsa dan negaranya. Mereka hanya terfokus untuk mengisi absensi sepenuh mungkin, mendapatkan nilai-nilai bagus setiap mata kuliah, segera lulus, dan mencari pekerjaan. Syukur-syukur segera bekerja.

”Kampus kan kini hanya mencetak dan meluluskan manusia-manusia robot,” kata Gusma. Tidak heran jika dalam banyak kasus banyak sarjana yang tidak menguasai disiplin ilmunya karena mereka tidak dipersiapkan secara matang. Buktinya, tingginya angka pengangguran sarjana sebagai bentuk dari kegagalan sebuah sistem pendidikan.

Gusma tidak menyalahkan kondisi yang terjadi di mahasiswa dan dunia kampus saat ini. ”Belum ada momentumnya. Jika sudah ada momentum yang tepat kita semua akan tumpah ruah lagi ke jalan dan berjuang bersama,” ujarnya. PMKRI sebagai lembaga eksternal kampus, kata Gusma, terus berkoordinasi dengan BEM di berbagai kampus. ”Kita berusaha untuk terus bergerak bersama,” katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Noer Fajriansyah membedakan antara mahasiswa dan politik. Pertama, mahasiswa yang memang sama sekali tidak peduli dengan politik alias apolitis. Kelompok lainnya adalah mahasiswa yang masih peduli dengan persoalan-persoalan bangsa, tetapi mereka menghindari dari politik praktis.

Fajriansyah menangkap skeptisme mahasiswa saat ini buah hasil dari Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/ BKK) yang diterapkan oleh Orde Baru untuk membonsai mahasiswa dan tidak dikoreksi oleh orde-orde sesudahnya. ”Mereka sibuk kuliah dan lebih sibuk dengan persoalan-persoalan personal mereka,” katanya. Kepekaan mahasiswa terhadap lingkungan juga terbatas. ”Namun, juga harus diakui zaman sudah berubah, kini bukan seperti lagi era Orde Baru,” katanya. Mahasiswa tidak lagi mempunyai musuh bersama.

Baiklah zaman sudah berubah. Masyarakat, media, dan mungkin saluran demokrasi lainnya sudah demikian terbuka. Namun, hal itu tidak lantas berarti persoalan sudah selesai karena dalam kenyataannya, elite politik maupun penguasa terlihat tidak sepenuhnya bisa menangkap apa yang dirasakan masyarakat saat ini dan menyelesaikan persoalan yang ada. Bahkan, dalam banyak hal mereka cenderung mengabaikannya atau bahkan membelokkannya ke persoalan atau isu lain sekadar lari atau mengalihkan isu dari persoalan yang ada. Untuk itulah peran mahasiswa masih selalu diperlukan.

Kalaulah aksi-aksi unjuk rasa di jalanan, yang sering kali berubah menjadi anarkis—terlepas ada yang membuat kondisi seperti itu atau dengan sendirinya—tidak menarik lagi, peran mahasiswa sebagai kalangan intelektual masih tetap diperlukan.

Diskusi-diskusi yang membahas berbagai persoalan bangsa dan mencoba merumuskan persoalan bangsa membuat mereka akan terus peduli terhadap nasib bangsa. Setidaknya mereka bisa menyumbangkan pikiran-pikiran mereka dengan jernih.

Harus ada bukti nyata bahwa adanya kesan apatisme di kalangan mahasiswa terhadap kondisi bangsa dan negara tidaklah benar. Jika memang demikian adanya, waduh, bagaimana dengan masa depan bangsa ini? (agus hermawan)

Sumber: Kompas, Selasa, 4 Januari 2011 | 03:38 WIB

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB