Namun, sekarang, asumsi seperti itu bisa dikatakan tidak berlaku lagi, gugur sudah. Apalagi setelah munculnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang mengubah status PTN menjadi PT Badan Hukum Milik Negara (BHMN) pada tahun 2008.
Undang-undang itu pada faktanya kemudian membuat biaya pendidikan di PTN menjadi tidak kalah mahalnya dibandingkan dengan kalau kita kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS). Kuliah di PTN ataupun PTS dilihat dari sudut biaya relatif sama mahalnya. Umumnya berharga jutaan rupiah.
Coba kita teliti lebih lanjut, tidak semua PTS memberlakukan uang masuk yang tinggi. Ada PTS yang hanya mensyaratkan calon mahasiswa yang lulus tes masuk di universitas itu membayar Rp 10 juta-Rp 30 juta saja. Namun, biaya per semester umumnya relatif mahal, sekitar puluhan juta rupiah juga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Contohnya, sebuah PTS di Jakarta mengenakan biaya masuk berdasarkan hasil tes calon mahasiswa. Mereka dibagi dalam empat golongan. Mereka yang hasil tes masuknya dianggap bagus dikenai biaya masuk lebih rendah daripada yang hasil tesnya kurang bagus.
Untuk fakultas komunikasi, misalnya, uang masuknya dari Rp 10,5 juta sampai Rp 16,4 juta. Bagi mereka yang memilih fakultas desain komunikasi visual, biaya masuknya lebih mahal, yakni dari Rp 20 juta sampai tertinggi Rp 30,6 juta. Sementara uang per semesternya Rp 3,5 juta-Rp 3,8 juta.
Undang-undang
Dengan munculnya undang-undang tersebut, dengan alasan antara lain biaya pendidikan yang tinggi, juga mensyaratkan calon mahasiswa baru di PTN pun membayar relatif mahal. Biaya masuk PTN pun umumnya sudah mencapai puluhan juta rupiah, sementara biaya per semester umumnya masih di bawah Rp 10 juta untuk fakultas-fakultas tertentu.
Biaya pendidikan perguruan tinggi itu seiring dengan berjalannya waktu terasa semakin mahal. Sebuah perguruan tinggi di Bandung, misalnya, dua sampai tiga tahun lalu mensyaratkan uang masuk wajib Rp 35 juta dan sekarang jumlah itu meningkat menjadi Rp 45 juta.
Itu pun perguruan tinggi tersebut masih ”menyediakan peluang” untuk calon mahasiswa baru memberikan sumbangan sukarela. Hal serupa juga berlaku pada beberapa PTN lainnya di sejumlah kota.
Contoh lainnya, perguruan tinggi di Jakarta yang mempunyai bidang studi ilmu komputer. Tahun 2007 batas atas uang masuknya Rp 25 juta dan tahun 2010 jumlah itu masih sama. Namun, biaya per semester yang pada 2007 batas atasnya sebesar Rp 1,7 juta, tahun ini menjadi Rp 7,5 juta.
Jadi, untuk menjadi mahasiswa PTN ataupun PTS, kita harus mempunyai dana yang relatif ”cukup tinggi”. Selain itu, tentu saja, persaingan di antara para calon mahasiswa pun semakin ketat.
Sekadar contoh, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, untuk jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) 2010 disediakan tempat untuk 15 mahasiswa. Sementara tahun 2009, jumlah pesertanya mencapai 1.417 orang!
Jalur PMDK yang mahal
Diterima di PTN melalui jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan) sudah pasti melegakan sekaligus membanggakan. Sebab, lewat jalur ini, para mahasiswa tidak perlu bersaing dengan ribuan calon mahasiswa lainnya untuk memperebutkan kursi di salah satu jurusan incaran.
Namun, ini bukan berarti mahasiswa yang diterima melalui jalur PMDK bisa melenggang santai, tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Mereka tetap harus membayar sejumlah biaya yang nominalnya ”lumayan” besar.
Di jurusan kriminologi sebuah PTN di Jakarta, misalnya, seorang mahasiswa harus membayar uang pangkal Rp 15 juta. Jumlah tersebut sudah termasuk uang semester pertama sebesar Rp 5 juta. Biaya bisa semakin tinggi, tergantung dari jurusan yang mereka ambil.
Sementara itu, di jurusan sastra Inggris PTN yang sama, mahasiswa jalur PMDK harus membayar uang pangkal Rp 10 juta. Biaya tersebut sudah termasuk uang biaya semester pertama, sebesar Rp 5 juta. Kalau ditambah biaya administrasi, jaket almamater, iuran bus, dan lain-lain, jumlahnya menjadi Rp 10,7 juta.
Untuk jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA), seperti fakultas teknik, jumlah uang pangkal dan biaya per semesternya lebih besar lagi.
Mencicil
Memang sebagian PTN menyediakan sistem mencicil bagi mahasiswa dari keluarga tidak mampu. Namun, apabila mereka tidak bisa melunasi cicilan tepat waktu, ada biaya penalti yang harus dibayarkan sebesar 50 persen dari total biaya. Hal itu bukannya meringankan, tetapi malah makin memberatkan calon mahasiswa.
Bagi mahasiswa yang masuk kategori tidak mampu, PTN juga menyediakan semacam prosedur keringanan biaya. Namun, fakta kerap kali berbicara lain.
Seorang mahasiswa, anak seorang guru SD di Jakarta, misalnya, terpaksa gigit jari karena permohonan keringanan biaya yang diajukannya sebanyak tiga kali sekalipun tidak membawa hasil sama sekali.
Padahal, untuk mengajukan permohonan keringanan tersebut, ada syarat yang mengharuskan mahasiswa bersangkutan menyertakan foto kondisi rumah yang ditinggali, ditambah surat pernyataan tetangga terdekat yang menyatakan dia berasal dari keluarga tidak mampu. Namun, hasilnya nihil.
Akibatnya, orangtua mahasiswa tersebut harus pontang-panting mencari pinjaman agar bisa melunasi cicilan. Sementara sang ibu, yang membantu perekonomian keluarga dengan menjadi penjahit, terpaksa harus bekerja lebih ekstra keras.
Keringanan biaya tersebut menjadi terasa tidak adil. Sebab, ada juga mahasiswa yang berasal dari SMA dengan biaya sekolah yang mahal, yakni Rp 2 juta per bulan, ternyata di PTN itu bisa mendapatkan keringanan biaya.
Semakin tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi tak hanya memberatkan mahasiswa dari kalangan tak mampu. Bahkan, mahasiswa dari keluarga kalangan menengah pun mengeluh dengan semakin mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi. Apalagi biasanya keluarga ini pun mempunyai beberapa anak yang juga memerlukan biaya pendidikan.
Jadi, seiring dengan berjalannya waktu, sampai seberapa tinggikah kira-kira biaya pendidikan bagi para mahasiswa kita? Kalau setiap tahun biaya pendidikan itu makin menjulang, lalu sampai di manakah batasnya? Haruskah anak muda negeri ini tak bisa melanjutkan pendidikan tinggi ”hanya” karena ketiadaan biaya? Sungguh ironis! (LOK/DOE)
Sumber: Kompas-kampus, Selasa, 29 Juni 2010 | 03:41 WIB
**Keterangan foto: Calon mahasiswa menunggu giliran mengembalikan formulir pendaftaran dan verifikasi dokumen penerimaan mahasiswa baru melalui jalur khusus penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (28/4). Hingga hari ketiga pengembalian formulir, calon mahasiswa yang mendaftar mencapai sekitar 7.000 orang.