Seorang mahasiswa dari Malaysia takjub melihat hasil pengembangan teknologi molekuler berbasis mikrobia yang dilakukan I Made Sudiana. Mahasiswa itu menduga tentu besarlah gaji Sudiana. Namun, jawaban Sudiana tentang gajinya membuat si mahasiswa spontan mengatakan,”Pindah saja ke Malaysia.”
Sudiana menekuni riset ekologi mikrobia di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ini bermula dari rasa ingin tahu dia terhadap sejatinya proses fermentasi minuman khas Bali, brem, itu seperti apa. Ia menemukan jawabnya. Brem itu hasil kinerja mikrobia. Istilah mikrobia tak ubahnya mikroba, mikroorganisme, atau jasad renik.
”Orang UGM (Universitas Gadjah Mada) lebih suka menggunakan istilah mikrobia,” ujar Sudiana saat ditemui akhir Januari lalu di laboratorium Cibinong Science Center LIPI, Cibinong, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pria kelahiran Pangyangan, Jembrana, Bali, ini lulus Fakultas Biologi UGM tahun 1987. Setelah memahami peran mikrobia pada fermentasi brem bali, ia justru semakin ingin tahu tentang ilmu mikrobia.
Pada 1985-1987 Sudiana menjadi asisten dosen Mikrobiologi dan Ekologi di Fakultas Biologi UGM. Tahun 1988 ia diterima menjadi periset mikrobiologi LIPI. Dia lalu melanjutkan studi S-2 Environmental Sanitation State University of Ghent di Belgia (lulus 1992), lalu S-3 Urban and Environmental Engineering University of Tokyo, Jepang (1998).
Tak berhenti di sini, Sudiana menempuh studi lanjut, Post Doc in Molecular Ecology for Agriculture Sciences di Japan International Research Center for Agricultural Center (Jircas) dan lulus tahun 2004. Ia juga mengambil Post Doc in Biodiversity Management Institute of Advance Studies United Nation University, Yokohama, Jepang (2005).
Pengelanaan intelektualitas Sudiana mengantarnya pada pemahaman mendalam tentang ekologi mikrobia. ”Melalui teknologi molekuler dan bioinformatika memungkinkan pemanfaatan metagenomik gen-gen alam pada mikrobia untuk kemaslahatan manusia,” ujarnya.
Sayangnya, riset Sudiana tentang mikrobia itu relatif tak dianggap bernilai oleh pemerintah. Para pejabat berkepentingan pun tak tertarik meliriknya, apalagi keinginan untuk mengetahui lebih dalam dan mengimplementasikan manfaat mikrobia untuk bidang seluas mungkin. Padahal, bagi Sudiana, mikrobia bisa diibaratkan pasukan bersenjata yang dapat digerakkan sewaktu-waktu untuk bertempur melawan pencemar ekosistem.
”Keanekaragaman hayati mikrobia itu seperti pada ekologi hewan dan tumbuhan. Keanekaragaman tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.”
Teknologi molekuler dan bioinformatika, menurut dia, dapat digunakan untuk mengetahui manfaat mikrobia, yang jenisnya mencapai ribuan spesies. Sebagai contoh, belum lama ini Sudiana bersama timnya mengimplementasikan mikrobia untuk bioremediasi atau pemulihan lahan bekas dan terdampak tambang Freeport di Papua.
Dia menganalisis kandungan pencemar, dan menemukan konsorsia atau himpunan spesies mikrobanya. Maka, ditemukanlah spesies mikroba Bacillus sp dan Pseudomonas sp yang kemudian dibiakkan untuk melarutkan fosfat berlebih yang terkandung dalam tanah tercemar tambang Freeport.
”Mikrobia yang ibarat hewan atau tumbuhan ini juga butuh makanan, yang dapat diupayakan dari bahan pupuk organik,” ujarnya.
Institusi tempat dia bekerja, LIPI, tengah mengemas teknologi tersebut. LIPI memadukan mikrobia dan pupuk organik menjadi produk teknologi beyonic. Beyonic tak sekadar pupuk organik, tetapi telah disisipkan mikrobia tertentu untuk menangani, antara lain, lahan tercemar akibat aktivitas tambang, limbah industri, ataupun limbah domestik.
”Mikrobia yang dipakai itu syaratnya terdapat di lokasi setempat. Di tempat itu pasti ada banyak mikrobia. Jadi, lebih dulu perlu identifikasi mikrobia menguntungkan, baru sampelnya diambil untuk dikembangbiakkan,” katanya.
Sudiana juga sudah mengumpulkan dan menyimpan sejumlah sampel mikrobia dari ratusan tempat tersebar mulai dari Papua sampai Aceh. Mikrobia itu dia ambil dari setiap lokasi penting, seperti wilayah perawan di hutan alam, ekosistem pantai, lahan permukiman, lahan bekas dan terdampak tambang, serta lahan tercemar.
”Sampel mikrobia wilayah tambang batu bara Kalimantan juga sudah saya ambil. Kalau mau, itu bisa dimanfaatkan untuk bioremediasi bekas tambang batu bara,” katanya.
Bioremediasi Teluk Jakarta yang menerima bahan-bahan pencemar melalui 13 sungai pun ditempuhnya. ”Sampel mikrobia yang memiliki bioprospeksi pemulihan Teluk Jakarta pun sudah saya ambil,” ucap Sudiana.
Di laboratoriumnya yang dilengkapi mesin pembeku sampai minus 80 derajat celsius itu tersimpan koleksi sampel sejumlah mikrobia. ”Bank mikrobia” Sudiana siap dikembangbiakkan menjadi sepasukan konsorsia jasad renik untuk misi menyelamatkan ekosistem di sejumlah wilayah di Indonesia.
Untuk menuju pencapaian tersebut, Sudiana sudah menghabiskan waktu sekitar 22 tahun untuk riset. Memang menakjubkan, sayangnya hasil yang dia capai itu tak dimanfaatkan optimal.
Oleh: Nawa Tunggal
Sumber: Kompas setelah dikutip dari indonesiaproud
————–
Pembiakan Mikroba Tanah Merapi
Nawa Tunggal
Bagaimana memanfaatkan lahan pertanian yang tertutup abu vulkanik pascaletusan Gunung Merapi 2010 lalu? Pertanyaan ini menjadi tantangan bagi I Made Sudiana, ahli mikrobiologi dari Pusat Penelitian Biologi LIPI. Apalagi, dari kajian sosial rekan sejawatnya, direkomendasikan agar tidak gegabah melakukan relokasi penduduk.
Jika itu rekomendasinya, masyarakat sekitar Merapi harus didukung teknologi agar bisa bertahan hidup bersama ancaman bencana Merapi,” kata Sudiana, Senin (7/2) di Cibinong Science Center Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Jawa Barat.
Langkah yang ia ambil salah satunya dengan mengembangkan teknologi isolasi (pemisahan) dan pengembangbiakan mikroba tanah Merapi pascaerupsi. ”Ini supaya mempercepat pemulihan pertanian pada lahan yang masih tertutup abu dan pasir material vulkanik,” kata Sudiana.
Karena itu, Sudiana mengambil ratusan sampel tanah di lokasi yang berjarak 5 kilometer sampai 20 kilometer dari puncak Merapi pada 16 Desember 2010. Lokasi sampel yang mendekati puncak Merapi ada di beberapa desa termasuk Kinahrejo yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan, Sleman.
Lokasi sampel terjauh diambil di Desa Ngablak, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Sudiana lalu membawa sampel-sampel tanah itu ke laboratoriumnya di Cibinong.
Dalam beberapa hari, ia berhasil mengisolasi lima komunitas mikroba tanah Merapi dengan mengetahui karakter sebagai penghasil hormon tumbuh, pelarut fosfat terikat, penambat nitrogen, dan penghancur senyawa rekalsitran yang bersifat racun.
Sampel tanah yang banyak mengandung mikroba biasanya diambil dari lokasi yang sudah ditumbuhi kembali tanaman. Beberapa jenis tanaman perintis yang tumbuh pertama kali di Merapi pascaerupsi, antara lain, umbi-umbian seperti talas juga pisang dan rumput gajah.
Fermentor
Setelah mikroba berhasil diisolasikan, Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Suprapedi bersama timnya melanjutkan pembiakannya. Suprapedi membuat enam tabung pengembang biak mikroba atau fermentor dengan kapasitas masing-masing tabung 20 liter.
”Pembiakan selama empat hari setiap tabung kapasitas 20 liter itu menghasilkan mikroba yang akan dicampurkan ke dalam 2.000 liter air. Larutan tersebut siap dicampurkan ke media tanam dengan cara penyemprotan,” kata Suprapedi.
Media tanam dikemas di dalam polibag supaya unsur hara dan mikrobanya tidak mudah terlarut air hujan. Cara ini juga menghemat air.
Komposisi media tanam itu meliputi 2 kilogram material vulkanik (berupa abu dan pasir) ditambah 1,5 kilogram tanah dan 1,5 kilogram kompos. Kemudian ditambahkan 25 gram pupuk organik butiran atau granula dan disemprotkan 10 mililiter larutan mikroba tadi.
Larutan mikroba itu mengandung 10(10 pangkat 10) mikroba setiap militernya.
Mikroba memiliki unsur utama protein yang selalu membutuhkan unsur karbon untuk hidup. Media tanamnya mutlak dibutuhkan kompos dari bahan-bahan organik.
Selanjutnya, hidup mikroba dengan karakter masing-masing berfungsi menyuburkan tanah.
Usaha kecil
Suprapedi mengatakan, fermentor dirancang untuk mudah diaplikasikan kelompok usaha kecil. Tabung fermentor itu dari tabung penyimpan susu perah yang terbuat dari baja antikarat.
Kemudian disusun rangkaian elektronik yang berfungsi mengaduk cairan mikroba di dalam tabung fermentor. Sistem pengadukan menggunakan cara magnetis.
”Dengan satu tabung fermentor, setiap empat hari sekali bisa dihasilkan 20.000 polibag untuk tanaman produktif seperti cabai, tomat, timun, dan sebagainya,” kata Suprapedi.
Biaya pembuatan fermentor dengan tiga tabung tidak lebih dari Rp 20 juta. Dengan tiga tabung fermentor, berarti setiap empat hari sekali dapat dibuat tiga kali 20.000 polibag untuk tanaman hortikultura semusim.
Sudiana sudah menguji pembandingan media tanam itu di rumah kaca di Cibinong. Ia pun menunjukkan hasil uji cobanya.
Terbukti tanaman mentimun dengan media tanam tanah Merapi yang ditambah mikroba bisa menghasilkan buah lebih cepat dibanding media tanam tanah Merapi tanpa ditambah mikroba.
Wakil Kepala LIPI Endang Sukara yang pertama kali mendorong para periset LIPI agar berkontribusi nyata terhadap fenomena yang sedang terjadi di Merapi. Teknologi pembiakan mikroba Merapi sebetulnya pengembangan teknologi LIPI sebelumnya dalam pembuatan pupuk organik diperkaya mikroba.
Setelah berhasil, LIPI memberi label produksi pupuk organik itu ”Beyonic”, kependekan dari kata ”beyond organic”, yaitu pupuk yang tidak sekadar berbahan organik, tetapi pupuk organik mengandung pekerja-pekerja jasad renik, seperti kali ini dengan pekerja mikroba Merapi.
Sumber: Kompas, 11 Februari 2011