Beban mangajar para dosen dan kebaijaksanaan pemerintah–termasuk penyediaan anggaran penelitian–diidentifikasi sebagai penyebab macetnya kegiatan penelitian ilmiah di perguruan tinggi di Indonesia. Begitu juga dengan apresiasi terhadap hasil penelitian atau hubungan antara perguruan tinggi dan dunia industri pemakai hasil riset.
Di mana pangkal persoalan yang sudah lama menjadi sumber keprihatinan ini? Menjawab pertanyaan itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya Jakarta Dr Irwanto mengibaratkan hal itu bagaikan menentukan mana yang duluan antara ayam dengan telur.
Hasil riset ilmiah akademikus Indonesia tidak banyak dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional. Dibandingkan dengan para ilmuwan negara lain di Asia, jumlah karya ilmiah ilmuwan Indonesia yang dipublikasikan sacara internasional begitu tertinggal. Bahasa dan tingkat persaingan yang ketat menjadi kendala bagi para peneliti negeri ini untuk ”tampil” di tingkat dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada tahun 2004, misalnya, hanya 522 kertas kerja ilmiah karya peneliti Indonesia yang termuat dalam jurnal internasional. Itu hanya sepertiga dari jumlah kertas kerja ilmiah asal Malaysia (1.438). Di lingkungan ASEAN, Indonesia hanya lebih baik daripada Filipina dan Brunei Darussalam, yang jumlah kertas kerja ilmiahnya lebih sedikit dibandingkan dengan Indonesia (Brian Yuliarto, 2005).
Kebanyakan hasil riset peneliti Indonesia hanya diterbitkan dalam jurnal lokal. Padahal, sukses ”menembus saringan” jurnal ilmiah internasional dapat jadi ukuran derajatkeilmuan. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002, secara kelembagaan, Sistem NasionaI Penelitian Indonesia terdiri atas perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, badan usaha, dan lembaga penunjang. Dalam kenyataannya, yang menjadi ujung tombak penelitian hanyalah lembaga riset, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau Badan Penelitlan dan Pengembangan Teknologl (BPPT) serta perguruan tinggi.
Masalah SDM peneliti
Masalah yang timbul kemudian adalah menyangkut sumber daya manusia (SDM) peneliti. Peneliti di lembaga-lembaga riset lebih mudah mengatur pekerjaan dan dapat berkonsentrasi hanya untuk penelitian. Tidak demikian halnya dengan para pengajar di perguruan tinggi yang mengemban Tri Dharma Perguruan Tinggi: mengajar, meneliti, sekaligus pengabdian masyarakat.
Saat ini kewajiban dosen untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi itu tampaknya belum seperti yang diharapkan. Porsi waktu untuk mengajar dan waktu untuk meneliti tidak terbagi seimbang.
Beban mengajar yang padat membuat hilangnya waktu untuk meneliti. Hal ini diakui, Totok Prawitosari, Ketua Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin (Unhas) yang bermarkas di Makassar.
Menurut Totok, regulasi pemerintah yang menentukan jam mengajar dosen minimal untuk 12 satuan kredit seméster (SKS) membuat para dosen tidak punya banyak waktu buat penelitian dan menjalankan kegiatan pengabdian pada masyarakat. Dukungan finansial dari pemerintah untuk penelitian pun masih rendah, tidak sesuai dengan usaha dan karya yang dilakukan untuk riset bermutu.
Di samping meningkatkan anggaran penelitian, demikian Totok, pemerintah sebaiknya juga mengatur agar dalam setahun para dosen diberi kebebasan melakukan penelitian. Dengan demikian, dia akan terpacu untuk meningkatkan kualitas diri dengan membuat riset, tidak hanya mengejar insentif dari mengajar.
Bahwa para pengajar pada berbagai perguruan tinggi di Indonesia lebih senang mengajar daripada meneliti bukanlah keluhan yang baru terdengar. Malah ada yang mengajar di beberapa tempat sekaligus. Kalaupun ada kegiatan penelitian, riset pesanan lewat proyek jauh lebih banyak daripada riset ilmiah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Berhubungan erat
Selain karena insentif mengajar lebih jelas, mengajar juga tidak membutuhkan waktu lama. Berbeda dibandingkan dengan meneliti yang harus melewati berbagai tahapan: mulai dari merancang atau menulis proposal sampai keluarnya persetujuan atas proposal itu, untuk sampai pada kegiatan penelitian itu sendiri.
Anggaran yang disediakan pemerintah untuk penelitian pun terbatas. Keterbatasan itu menyebabkan ketatnya seleksi terhadap proposal penelitian yang diajukan. Pada penelitian Jenis hibah bersaing yang dibiayai pemerintah (maksimum Rp 50 juta per penelitian) di tahun 2004, jumlah yang ditolak jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang diterima, yaitu 922 proposal ditolak dan hanya 244 diterima.
Pada penelitian ilmu dasar yang dananya maksimum Rp 40 juta per penelitian, pada tahun yang sama yang disetujui hanya 247 sementara yang ditolak ada 1.150 proposal. Kecilnya kesempatan diterima dan kecilnya dana yang disediakan tampaknya membuat dosen tidak bergairah merancang riset ilmiah itu.
Kurang ”akrabnya” hubungan antara dunia penelitian–khususnya di perguruan tinggi–dengan dunia industri juga menjadi penyebab tidak berkembangnya riset yang bersifat aplikatif. Di negara maju, kedua lembaga ini berhubungan erat, saling membutuhkan untuk kemajuan masipg-masing.
Di satu sisi, perguruan tinggi –yang tidak dapat berharap banyak dari pemerintah karena keterbatasan anggaran– mengeluh bahwa dukungan dana untuk riset dari dunia industri juga kurang.
Padahal, menurut Irwanto, biaya untuk itu sangat besar dan harus berkelanjutan, sementara di sisi lain tidak banyak industri yang bersedia mengeluarkan dana besar untuk riset karena tidak menganggap penting arti penelitian buat perkembangan ke depan.
Industri di Indonesia kebanyakan masih merupakan industri yang meniru dan menjiplak; tidak menciptakan sesuatu yang baru, yang harus diawali dengan riset. Mencari pangkal persoalan, kata Irwanto, bagaikan menjawab pertanyaan: mana yang duluan ayam dengan telur.
Agaknya kini tidak perlu lagi dipersoalkan siapa yang lebih dulu harus mulai. Masalah lama ini tak akan selesai jika kebijaksanaan pemerintah tidak diperbaiki, kalau semangat penelitian di perguruan tinggi tidak dihidupkan, dan apabila karakter dunia industri Indonesia untuk riset terapan serta hubungannya dengan lembaga penelitian tidak kunjung berubah. (PALUPI P ASTUTI /Litbang Kampas)
Sumber: Kompas, 3 Mei 2006