CATATAN IPTEK
Gempa yang melanda Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018) sore, sekali lagi menyingkap rapuhnya kesiapsiagaan kita menghadapi bencana. Peringatan dini yang diakhiri tanpa tahu terjadi tsunami besar di Palu hanya salah satunya.
Pengakhiran peringatan dini tsunami awalnya membuat lega, tetapi hanya sesaat karena di media sosial beredar video gelombang laut merangsek ke darat. Tak ada sirene meraung, hanya orang-orang berteriak panik dari atas bangunan meminta yang berlalu lalang di jalanan segera menghindar.
Hingga 24 jam kemudian, seberapa parah dampak gempa dan tsunami di Kota Palu dan Donggala belum banyak diketahui. Seperti bencana sebelumnya, listrik dan komunikasi lumpuh. Bandara pun rusak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di tengah kondisi ini, beredar gambar orang yang tengah membuka toko dan mengambil makanan atau minuman dengan keterangan penjarahan di Palu. Tak jelas siapa pelakunya, tetapi kepanikan dan ketidakpastian dapat membuat orang melakukan segalanya.
Tak perlu saling tuding, tetapi kerja lebih keras dibutuhkan untuk memberikan kepastian dan jaminan rasa aman kepada para korban yang baru saja melewati situasi sempadan hidup-mati. Palu harus diyakinkan, mereka tidak sendirian.
Harus diakui, kita memang tidak siap menghadapi bencana sekalipun kerentanan kota ini terhadap gempa disusul tsunami dan likuefaksi telah lama diketahui. Ahli geologi kelahiran Sulawesi, JA Katili, sudah memperingatkan kerentanan gempa di Sulawesi Tengah, khususnya Palu, sejak 1970-an.
Tak hanya gempa, ancaman tsunami juga sudah diketahui. Apalagi, daerah di Selat Makassar ini memiliki keberulangan tsunami tertinggi di Indonesia, yaitu 18 kali selama tahun 1800-2000 (Gegar Prasetya, 2001). Sementara kerentanan likuefaksi Palu sudah dilaporkan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2012.
Dokumen rencana kontingensi bencana di Palu pun telah dibuat sejak 2012, tetapi tak pernah ditindaklanjuti dengan serius. Pada tahun sama, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggelar latihan nasional penanganan korban bencana alam di Pantai Talise, Teluk Palu, tetapi sesudahnya kembali dilupa.
Masyarakat Kaili juga merekam petaka ini di masa lalu dalam istilah lokal, yaitu linu untuk gempa, bombatalu untuk tsunami, dan nalodo untuk likuefaksi, tetapi kebanyakan warga Palu tak tahu lagi. Harian Kompas pun telah menulis kerentanan gempa dan tsunami di Kota Palu sejak 2012, yang ditekankan lagi pada Mei 2017, berdasarkan bukti ilmiah dan pengetahuan lokal ini.
Namun, pengetahuan saja tak bisa menyelamatkan dari bencana. Mereka yang rutin berlatih, seperti Jepang, masih kehilangan nyawa karena gempa meski jumlahnya jauh lebih kecil. Contohnya, gempa darat M 6,1 yang melanda Takatsuki, Jepang, Juni 2018, hanya menewaskan empat orang, salah satunya siswi tertimpa dinding kolam renang sekolahnya. Padahal, gempa M 5,9 di Yogyakarta pada 2006 menewaskan 3.000 jiwa.
?Gempa bumi tidak pernah membunuh, tetapi korban terjadi karena struktur bangunan yang buruk atau lokasinya di zona likuefaksi dan longsor. Sekalipun gempa adalah peristiwa alam, menghadapinya merupakan proses kebudayaan. Itu menyebabkan kerentanan bencana bersifat relatif.
Bukan hanya perbedaan dalam antisipasi, respons setelah terjadi bencana bisa amat berbeda di setiap budaya. ?Tak lama setelah mengetahui kematian siswi sekolah dasar, Wali Kota Takatsuki, Takeshi Hamada, meminta maaf kepada keluarga korban, seperti disiarkan di stasiun televisi NHK. Hamada menyatakan bertanggung jawab dan berjanji mengecek kekuatan bangunan semua sekolah di kotanya.
Jepang memang terus belajar dari setiap bencana dan itulah kunci kekuatan mereka. Misalnya, setelah gempa Miyagi 1978, mereka merevisi standar bangunan tahan gempa, yang kembali diperkuat setelah gempa Kobe 1995. Upaya itu teruji saat gempa M 9 melanda Sendai pada 2011, konstruksi bangunan mereka rata-rata masih utuh. Kehancuran lebih disebabkan tsunami.
?Setelahnya, Jepang merevisi 17 undang-undang, di antaranya mengenai tata ruang, struktur pelindung tsunami, dan pengembangan wilayah baru yang aman. Perubahan yang kemudian diterapkan adalah memindahkan hunian ke dataran tinggi.
Untuk belajar dari setiap kejadian, pertama-tama kita harus mengakui kesalahan. Maka, izinkan kami mewakili penguasa negeri ini, maafkan kami, Palu dan Donggala….–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 10 Oktober 2018