Lumbung Pangan Nasional

- Editor

Senin, 3 Agustus 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Saat ini yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma dan konsep dari pendekatan ketahanan pangan ke kedaulatan pangan yang menempatkan petani sebagai aktor utama pembangunan pertanian serta melaksanakan reforma agraria.

Presiden Joko Widodo berulang kali menyampaikan kekhawatirannya akan terjadinya krisis pangan di Indonesia akibat pandemi Covid-19 yang tidak seorang pun tahu kapan akan berakhir.

Selain Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO), 16 organisasi internasional juga mengingatkan adanya krisis pangan melalui laporannya dalam ”2020 Global Report on Food Crisis”.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lalu, apakah benar Indonesia akan mengalami krisis pangan? Dan, apakah pembangunan lumbung pangan nasional di bekas lahan gambut sejuta hektar merupakan jawabannya? Sebagaimana tulisan ”Krisis Pangan 2020” (Kompas, 21/4/2020), penulis meyakini krisis pangan dunia 2020 sebagaimana terjadi di 2007-2008 dan 2011 tidak akan terjadi. Persyaratan terjadinya krisis pangan adalah penurunan tajam produksi pangan dunia dan peningkatan harga pangan.

Pada 2019/2020 produksi serealia dunia justru mencapai rekor tertingginya, 3 miliar ton (FAS-USDA 2020). Indeks harga pangan dunia juga terus mengalami penurunan. Pada Januari 2020 mencapai puncak tertinggi 102,5 dan menurun berturut-turut menjadi 99,4; 95,1; 92,4; dan 91,1 pada Februari, Maret, April, dan Mei 2020 serta menjadi terendah selama 35 bulan terakhir. Pada Juni naik sedikit ke 93,1. Kenaikan ini disumbangkan oleh kenaikan harga gula, minyak nabati, dan produk turunan susu, sedangkan serealia dan daging masih menurun.

Bagaimana potensi krisis pangan di Indonesia? Produksi pangan terutama padi memang tak menggembirakan. Peningkatan produksi rata-rata 18 tahun terakhir hanya 0,78 persen per tahun, jauh di bawah pertumbuhan penduduk (1,3-1,4 persen).

Semasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), peningkatan produksi padi rata-rata 1,45 persen per tahun, tertolong iklim kemarau basah 2007-2009. Saat ini (2014-2019), pertumbuhan produksi padi justru mengalami kontraksi 0,42 persen per tahun (diolah dari citra satelit, Kementan, BPS, dan World Food Program).

Ketahanan pangan Indonesia
Lalu, mengapa kebutuhan pangan masih tercukupi dan Indeks Ketahanan Pangan Indonesia terus meningkat dari urutan ke-75 dari 113 negara di 2015 menjadi ke-62 di 2019? Ternyata perbaikan ketahanan pangan Indonesia ditopang peningkatan impor pangan. Negara dengan indeks ketahanan pangan tertinggi di dunia adalah Singapura, yang sekitar 90 persen kebutuhan pangan warganya dipenuhi dari impor.

Impor delapan komoditas—yang volume impornya di atas 300.000 ton per tahun, yaitu gandum, beras, jagung, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah—melonjak dari 21,9 juta ton (2014) menjadi 27,6 juta ton (2018) dan sedikit menurun menjadi 25,3 juta ton di 2019. Gandum sebagai pengganti utama beras meningkat tajam impornya dari 5,14 juta ton (2014) menjadi 11,11 juta ton (2019), lonjakan hampir 6 juta ton hanya dalam tempo lima tahun (Pusdatin Kementan 2014-2020).

Tak hanya persoalan penurunan produksi padi (2014-2019) dan impor pangan yang terus meningkat, Indonesia juga mengalami persoalan serius terkait ketersediaan lahan untuk pangan. Luas lahan baku sawah menurun tajam dari 8,38 juta hektar di 2012 (Landuse BPN 2012) menjadi hanya 7,46 juta hektar di 2019 (ATR/BPN 2019), turun hampir 1 juta hektar tujuh tahun terakhir. Setiap penurunan 1 hektar sawah di Jawa harus digantikan 2-4 hektar di luar Jawa untuk mencapai tingkat produksi yang sama.

Ketahanan pangan yang ditopang dari impor teramat rapuh. Kerusuhan besar yang terjadi di 15 negara importir pangan di Afrika Utara dan Timur Tengah, yang berakhir dengan tumbangnya berbagai rezim, dipicu kenaikan harga pangan. Saat itu, pada Februari 2011 Indeks Harga Pangan Dunia mencapai 240, tertinggi sepanjang sejarah.

Tumbangnya rezim di Sudan pada April 2019 juga dipicu hal sama, yaitu kenaikan harga roti hingga tiga kali lipat. Dengan demikian, peningkatan produksi pangan menjadi faktor kunci stabilitas sosial dan politik di Indonesia. Cara yang ditempuh pemerintah saat ini adalah membangun lumbung pangan nasional.

Lumbung pangan nasional
Cita-cita membuat lumbung pangan nasional yang difokuskan untuk meningkatkan produksi padi tidak hanya muncul saat ini. Pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Soeharto dikembangkan lahan gambut 1 juta hektar di Kalimantan Tengah. Target pengembangan lahan gambut ini untuk menghasilkan beras 2 juta ton per tahun. Sepuluh kementerian dilibatkan, diketuai Menko Ekuin melalui Keppres No 82/1995.

Proyek kemudian berjalan dengan mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah, 56 juta meter kubik kayu lenyap, menguntungkan segelintir orang dan lingkungan rusak. Proyek dengan biaya awal Rp 3 triliun ini gagal dan pemerintah mengeluarkan lagi biaya rehabilitasi lingkungan Rp 3 triliun.

Lokasi itu saat ini jadi sumber bencana asap pada musim kemarau. Hingga tahun 2000 telah didatangkan 15.600 keluarga transmigran, terutama untuk menggarap lahan di wilayah kerja A seluas 31.000 hektar. Hingga saat ini praktis tak ada hasilnya. Sebagian besar transmigran tak lagi bertumpu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari budidaya padi, bahkan di lokasi dengan bangunan irigasi yang masih tergolong baik pun, hanya 1-2 persen lahan yang masih dimanfaatkan untuk sawah.

Pada masa SBY, upaya pengembangan yang sama diulangi dengan jargon food estate (lumbung pangan). Ada dua lumbung pangan yang dikembangkan: Food Estate Ketapang seluas 100.000 hektar dan Food Estate Bulungan seluas 300.000 hektar. Seperti mengulang cerita lama, keduanya juga gagal total. Di Food Estate Ketapang hingga Agustus 2013 hanya berhasil dikembangkan 100 hektar, sedangkan di Bulungan hingga 2014 menurut laporan dicetak 1.024 hektar sawah.

Pada 2008 dikembangkan The Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dengan berbekal tiga landasan hukum, yaitu PP No 26/2008, Perpres No 5/2008, dan PP No 18/2010, dengan total wilayah yang dikembangkan 1,23 juta hektar. Saat itu jargon feed the world muncul. Hingga Mei 2010, 36 investor masuk dan hanya satu investor untuk padi, lainnya untuk hutan tanaman industri, perkebunan sawit, tebu, dan jagung. Kegagalan MIFEE diulang lagi oleh pemerintah saat ini dengan rencana pengembangan sawah seluas 1,2 juta hektar di Merauke yang berakhir juga dengan cerita yang sama.

Kedaulatan pangan
Kegagalan terus-menerus pengembangan lahan pangan, terutama padi, adalah karena berbagai program tersebut mengingkari kaidah-kaidah ilmiah yang teramat dasar. Terdapat empat pilar dalam pengembangan lahan pangan, terutama padi. Pilar pertama adalah kelayakan tanah dan agroklimat. Tidak ada satu pun tanaman pangan yang bisa berproduksi jika tanah dan/atau agroklimat tidak cocok untuk tanaman tersebut. Banyak proyek pengembangan lahan pangan mengabaikan pilar ini.

Pilar kedua, kelayakan infrastruktur, baik infrastruktur irigasi maupun infrastruktur transportasi untuk pergerakan input dan output ke/dari lahan usaha tani. Pembangunan infrastruktur ini perlu biaya sangat tinggi.

Ketika batas minimum keragaan infrastruktur tak tercapai karena kurangnya pendanaan atau kebocoran anggaran, dipastikan proyek itu akan gagal. Pemeliharaan infrastruktur dalam jangka panjang juga jadi kunci keberhasilan upaya membangun lahan pangan.

Pilar ketiga, kelayakan budidaya dan teknologi. Budidaya meliputi ketersediaan varietas yang adaptif dengan lingkungan setempat, ketersediaan input produksi ketika dibutuhkan, pengendalian organisme pengganggu tanaman, panen dan pascapanen. Teknologi dari hulu hingga hilir yang mendasari itu semua mutlak harus ada atau bisa dikembangkan.

Pilar keempat, kelayakan sosial dan ekonomi. Apabila hal-hal terkait dengan konflik agraria, ketersediaan petani penggarap, dan kelembagaan tidak diatasi, dipastikan proyek akan mengalami kegagalan. Selain itu, kelayakan ekonomi juga mutlak menjadi bahan pertimbangan.

Produksi harus mampu mencapai tingkat tertentu, misalnya untuk padi: minimum 4 ton gabah kering panen per hektar dengan harga jual yang baik. Pembangunan industri hilir juga perlu dilakukan sehingga produk petani bisa tertampung saat panen raya dengan tingkat harga yang menguntungkan mereka.

Apabila pemerintah tetap berkeras untuk melanjutkan pengembangan lumbung pangan di kawasan bekas lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah, keempat pilar tersebut mutlak harus dipenuhi. Untuk kesuksesan upaya tersebut, sebaiknya melupakan target luasan area besar yang dalam kenyataannya tidak pernah berhasil.

Lebih baik mengembangkan area-area kecil yang benar-benar memenuhi keempat pilar di atas. Area-area itu diharapkan akan menjadi titik-titik pengembangan lanjut yang berdampak pada wilayah sekitarnya. Program seperti ini sudah barang tentu bukan pekerjaan ala ”proyek” sebagaimana sudah dilakukan selama 25 tahun terakhir dan selalu menuai kegagalan dan memboroskan uang rakyat sangat besar. Fokus ke intensifikasi lahan sawah yang ada lebih menjanjikan dan berpotensi untuk meningkatkan produksi padi 20-25 persen.

Perubahan paradigma dan konsep perlu dilakukan dengan mengubah pendekatan ketahanan pangan ke kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan menempatkan petani kecil di puncak teratas arus besar pembangunan pertanian.

Kedaulatan pangan perlu didukung dengan melaksanakan reforma agraria sejati, melindungi petani kecil dari sistem perdagangan internasional yang tak adil, pendekatan budidaya agroekologis untuk peningkatan produksi, pengubahan sistem subsidi input dan berbagai bantuan lain menjadi transfer langsung dan perlindungan harga di tingkat usaha tani.

Terakhir, hak petani untuk mengembangkan benih dan teknologi serta ikut menetapkan kebijakan pertanian pada semua level harus dijamin. Hanya dengan cara itu kesejahteraan petani membaik, produksi pangan meningkat, dan cita-cita untuk mencapai kedaulatan pangan akan terwujud. Sejahteralah petani Indonesia!

(Dwi Andreas Santosa, Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI))

Sumber: Kompas, 3 Agustus 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB