Setiap produk pangan yang masuk, beredar, dan dikonsumsi di Indonesia wajib dipastikan keamanannya oleh pemerintah. Tujuannya untuk memastikan produk itu bergizi dan bebas dari kontaminan atau bahan asing yang seharusnya tak ada di dalamnya dengan efek negatif saat dikonsumsi.
Jajanan yang dijual di lingkungan sekolah kerap menjadi sorotan, mulai dari kabar yang menyebut memakai bahan pengawet menyalahi ketentuan hingga narkoba. Penyebab kasus-kasus ini bisa bermula dari prosedur kebersihan absen saat produksi di pabrik, salah pengemasan, atau kandungan tak diperkenankan seperti pewarna tekstil untuk membuat tampilan makanan jadi cerah dan memikat. Produk pangan olahan, obat, dan kosmetik itu memiliki titik-titik yang harus dijaga, mulai dari tempat produksi, distribusi, dan penjualan. Dari satu pabrik, produk diedarkan sampai di kios kecil pinggir jalan dan toko swalayan.
Kabar buruknya, hanya 25 persen dari titik-titik itu di Indonesia yang bisa diawasi secara optimal oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal itu diungkapkan anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan, Harry Azhar Azis, dalam Diskusi Grup Terfokus, di Bali, Kamis (4/5) lalu. Berbagai kasus pelanggaran pada produk pangan umumnya disebabkan ada pihak mencari untung dari ketidaktahuan masyarakat terhadap produk yang sehat dan aman.
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan atas kinerja BPOM tahun 2013-2015 menyimpulkan, fungsi pengawasan mereka belum diterapkan efektif dan efisien. Laporan tahun 2015 menyebut, keterbatasan wewenang dari BPOM karena tak ada regulasi yang mengatur pembagian tugas BPOM dan pemerintah daerah sebagai pihak yang menerbitkan izin usaha di daerah.
Komitmen pemerintah daerah untuk menindaklanjuti rekomendasi hasil pengawasan BPOM bisa menggambarkan masalah yang diungkapkan BPK. Dari 11.269 rekomendasi yang dibuat BPOM terkait obat, obat tradisional, kosmetik, dan pangan, hanya 20,32 persen atau 2.290 di antaranya yang ditindaklanjuti.
Sementara mayoritas kasus yang berlanjut ke meja hijau diganjar sanksi yang tidak menimbulkan efek jera. Contohnya, sanksi denda Rp 150.000 bagi pengedar obat daftar G yang seharusnya diawasi ketat di Yogyakarta, atau hukuman percobaan 1 tahun untuk memasarkan pangan tanpa izin edar di Samarinda. Ada pula sanksi berat seperti pidana 4 bulan 15 hari dan denda Rp 50 juta bagi penjual obat tradisional tanpa izin edar di Makassar, dan sanksi pidana 10 bulan untuk pengedar makanan tanpa izin di Samarinda.
Masalah lain terletak pada struktur organisasi. Kepala perwakilan BPOM di daerah, yakni pejabat eselon III, harus berkoordinasi dengan pejabat pemda eselon II. “Kolaborasi di ibu kota bisa dilakukan, tapi begitu di daerah seperti Flores atau Sumba, itu putus,” kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Timur Hadji Husen.
Contoh lain adalah saat pihaknya mengungkap peredaran ikan berformalin berjumlah 10 ton. Pihaknya bingung menindaklanjuti dengan BPOM karena tak ada dasar hukum.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Badung Putu Suteja menambahkan, pengawasan obat dan makanan secara spesifik tak bisa disinkronisasikan dengan program kerja mereka. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), tak ada tugas itu spesifik pada program prioritas nasional sehingga tak bisa diwujudkan lewat program daerah.
Perkuat institusi
Terkait hal itu, menurut Harry, saatnya memperkuat institusi BPOM dengan undang-undang khusus yang memberinya wewenang jelas dan tegas. Contohnya, Komisi Pemberantasan Korupsi bisa efektif bekerja berkat dukungan produk hukum, Otoritas Jasa Keuangan dengan UU No 21/2011 memberinya wewenang tegas mengawasi bank, asuransi, dan pasar modal.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (US FDA) bisa menjadi lembaga yang efektif mengawasi produk pangan berkat fondasi dari produk hukum Pure Food and Drug Act yang diundangkan tahun 1906. Karena itu, undang-undang bisa jadi awal bagi BPOM agar bisa bekerja efektif.
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito mengakui, wacana UU tentang pengawasan obat dan makanan dimulai sejak tahun 2003, tetapi pasang surut. Tahun lalu masuk program legislasi nasional, tetapi didahului regulasi lain yang diprioritaskan.
Meski demikian, ada kabar baik bagi BPOM karena 10 Maret lalu terbit Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan. Inpres itu memuat penyusunan regulasi, sinergi, serta koordinasi pengawasan obat dan makanan. Instruksi itu menyebut sembilan kementerian, BPOM, serta pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota. “Kami berharap itu meningkatkan mutu pengawasan obat dan makanan,” ucap Penny.
Sekretaris Utama BPOM Reri Indriani menambahkan, itu harus disertai peningkatan efektivitas BPOM. Caranya dengan membenahi mekanisme pengambilan sampel agar bisa mencakup wilayah lebih luas. Langkah lain adalah membangun kesepahaman lintas lembaga seperti kepolisian dan kejaksaan. Maraknya peredaran makanan, obat, dan kosmetik berbahaya harus ditangani serius dengan sanksi tegas agar memberi jera.(DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Mei 2017, di halaman 13 dengan judul “Lubang di Keamanan Pangan Kita”.