Penataan Ruang Lebih Efektif Kurangi Korban
Longsor yang merenggut korban jiwa di Jawa Tengah, Sabtu (18/6), terjadi di area yang terpetakan rawan bencana. Peta bahaya longsor sebenarnya rutin dikirim ke daerah. Namun, pengetahuan yang belum mewujud pada perilaku butuh intervensi lewat kerja sama lintas sektor.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, dampak terparah longsor ditanggung Kabupaten Purworejo, Banjarnegara, dan Kebumen. Berdasarkan peta bahaya longsor di Indonesia, tempat kejadian longsor di daerah itu diberi warna jingga atau merah yang berarti tingkat bahayanya sedang-tinggi.
Peta-peta itu sudah dibagikan ke semua kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). “Apakah peta ini sampai ke masyarakat daerah terpapar? Apakah jadi bagian penyusunan rencana tata ruang? Itu jadi PR (pekerjaan rumah) bersama,” ujar Sutopo saat jumpa media di Jakarta, Senin (20/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Itu membuat mitigasi bencana tidak hanya tugas BNPB dan BPBD, tetapi seluruh sektor. Supaya peta rawan bencana masuk penataan ruang, misalnya, kewenangan ada pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Ahli longsor pada Universitas Gadjah Mada, Faisal Fathani, mengatakan, daerah-daerah yang dilanda longsor itu masuk kategori risiko bencana sedang-tinggi. UGM bekerja sama dengan BNPB menerapkan sistem peringatan dini bencana gerakan tanah di 13 provinsi di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi.
Paling mematikan
Tanah longsor bencana paling mematikan sepanjang 2016. Hingga 19 Juni, 99 orang meninggal dan hilang akibat longsor, “mengalahkan” jumlah orang meninggal dan hilang akibat banjir (69 jiwa) serta kombinasi banjir dan longsor (34 jiwa).
Meski demikian, kata Sutopo, relokasi warga di daerah rawan longsor adalah pilihan terakhir karena penduduk di area itu telanjur sangat banyak. Sebanyak 40,9 juta jiwa (17,2 persen penduduk Indonesia) tinggal di area berisiko longsor sedang-tinggi. Solusi beberapa area memang hanya relokasi, tetapi ada yang bisa dengan mengurangi risiko bencana serta meningkatkan kemandirian penduduk.
Terkait banjir dan longsor di Jawa Tengah, hingga kemarin menewaskan 47 orang dan 15 orang hilang di Jawa Tengah. Itu kian menegaskan bencana hidrometeorologi (cuaca dan iklim) tersebut pembunuh paling mematikan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir sehingga butuh tindakan mitigasi sistematis.
Banjir, longsor, dan puting beliung melanda 16 kabupaten/kota, yaitu Purworejo, Banjarnegara, Kendal, Sragen, Purbalingga, Banyumas, Sukoharjo, Kebumen, Wonosobo, Pemalang, Klaten, Magelang, Wonogiri, Cilacap, Karanganyar, dan Kota Solo.
Menurut Faisal, total 39 sistem peringatan dini bencana gerakan tanah telah dipasang di 13 provinsi, termasuk Jawa Tengah. Namun, sistem itu belum dipasang di kawasan yang dilanda longsor tersebut.
Staf Ahli Kebencanaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono mengatakan, sistem peringatan dini tidak akan efektif untuk mengatasi persoalan longsor. Zona rawan longsor di Indonesia sangat luas.
“Untuk riset, sistem ini boleh saja. Namun, untuk mitigasi masyarakat yang lebih cocok adalah tata ruang berbasis peta rawan longsor, gempa, dan erupsi gunung api,” ujarnya.
Menurut Sutopo, perlu jutaan sistem peringatan dini longsor untuk mencakup semua wilayah rawan. Penataan ruang dinilai lebih efektif mengendalikan longsor, selain perbaikan kondisi.(JOG/AIK)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Longsor Terjadi di Daerah Terpetakan”