Jumlah pengguna internet di Indonesia tahun ini diperkirakan melonjak hingga 130 juta orang atau naik 41,9 juta orang dibandingkan tahun 2014. Gelombang pasang pertumbuhan teknologi informasi ini dibiarkan datang bertubi-tubi, sementara di sisi lain budaya berteknologi masih diabaikan.
Hal yang paling memprihatinkan, 60-70 persen pengguna internet adalah anak-anak di bawah umur (di bawah 18 tahun menurut undang-undang) yang setiap saat bisa ”melahap” apa pun dari tsunami saat ini. ”Ini yang menimbulkan kerisauan karena digital native kita adalah anak-anak. Apakah mereka telah disiapkan dengan kemampuan untuk memilah dan memilih informasi? Apakah mereka terbiasa menentukan sikap berdasarkan informasi yang mereka baca?” kata Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Watch Donny B Utoyo dalam diskusi terbatas di Redaksi Kompas, Jakarta, pekan lalu.
Berkaca dari data riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia dan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia 2014, dari 88,1 juta pengguna internet, 79 juta pengguna aktif di media sosial, dengan 66 juta orang di antaranya menggunakan telepon pintar. ”Kalau kita ingat zaman dulu, telepon seluler yang bisa koneksi internet harganya sekitar Rp 10 juta. Namun sekarang, dengan Rp 1 juta, kita sudah bisa berkoneksi internet. Sekarang kita sudah menjadi pasar teknologi murah dengan kebebasan berekspresinya juga,”papar Donny.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diabaikan
Dalam kondisi seperti ini, Donny mempertanyakan, mengapa tak ada pihak yang mau berbicara perspektif lain terkait teknologi, bukan semata-mata soal dampak negatifnya, tetapi kira-kira hal apa yang perlu diwaspadai. Pertanyaan serupa disampaikan sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito Rabu (7/9). Ia menyebut teknologi talah menjadi arena konsumerisme tanpa memperhitungkan budaya berteknologi.
”Sekarang terjadi gap antara proses instrumentasi teknologi dan kultur berteknologi.Semua perangkat teknologi tersedia dan orang dimudahkan dalam mengerjakan apa pun tetapi bagaimana memahami alat menjadi sarana budaya belum sepenuhnya dimanfaatkan, ” ujarnya.
Menurut Arie, pada era saat ini, kultur teknologi masyarakat perlu dimatangkan terlebih dulu. ”Teknologi sering kali disebut sebagai ancaman, padahal yang jadi masalah adalah masih adanya gap antara proses instrumentasi teknologi dan budaya berteknologi kita. Yang perlu dipersiapkan adalah bagaimana memanfaatkan teknologi untuk menyejahterakan masyarakat. Ternyata pemerintah kita belum punya arah ke sana, ” tuturnya.
Sejumlah upaya telah dilakukan pemerintah, antara lain melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang dinilai tidak mendidik. Meski demikian, upaya pemangkasan di tengah ”hutan belantara” dunia maya merupakan kemustahilan dan justru akan memicu permasalahan yang lebih besar.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara membenarkan pentingnya penguatan literasi digital khususnya bagi anak-anak dan generasi muda.
”Kita tidak mungkin menerapkan pemblokiran situs-situs seperti yang dilakukan Tiongkok. Selain karena biayanya mahai sekali, pemblokiran situs-situs negatif sulit dilakukan. Jumlahnya sangat banyak, ada lebih dari 800.000 situs,” kata Rudiantara, beberapa waktu lalu. (ALOYSIUS B KURNIAWAN)
Sumber: Kompas, 5 September 2016