Senja kala aktivitas kliping bagi siswa SD ditandai sejak teknologi daring mengemuka ke kehidupan. Mengkliping suatu berita dipandang tak lagi relevan bagi pendidikan modern. Ia dinilai tak lagi efektif sebagai salah satu materi pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sikap ini muncul tatkala orientasi pengajaran guru berubah dari manual ke digital. Konsekuensi logisnya, antara lain, acap kali berhulu pada menampik kelampauan dan mengunggulkan kedepanan. Dengan kata lain, pelajaran kliping dianggap usang bagi pendidikan anak.
Anggapan skeptis ihwal kegiatan kliping di sekolah perlu ditinjau kembali. Pada awal 2000, kliping masih digiatkan sebagai tugas siswa di rumah. Namun, ia mulai hilang dalam pelajaran sekolah bersamaan dengan viralnya penggunaan internet. Karena itu, kurikulum pendidikan dihela dan diarahkan ke pelbagai kegiatan berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi dalam jaringan. Sejak itu pelajaran kliping hilang dari kelas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengkliping berita dari koran ataupun majalah bukan sekadar aktivitas gunting-menggunting, melainkan juga disiplin literasi. Yang terakhir ini tak banyak disadari para guru dan pengambil kebijakan di ranah regulasi pusat. Pertama, kompetensi literasi dewasa ini selalu dipandang dan dikaitkan secara virtual. Kedua, berkaitan poin sebelumnya, pelajaran bahasa hendaknya diorientasikan pada literasi digital karena konteks zaman: menginduk di bawah jagat maya.
Realitas menunjukkan, kecakapan literasi tak hanya masalah cepat dan praktis, tetapi juga kritis dan komprehensif. Dua variabel terakhir kerap diabaikan pendidikan literasi modern tingkat dasar. Sementara itu, pada implementasinya, pelajaran kliping—indikator yang dituju—ialah mendidik siswa agar tajam daya kognitifnya terhadap informasi yang dikumpulkan. Sebab itu, ia harus teliti memilah dan memilih berita dalam satu tema secara sistematis dan logis.
Peta konsep
Mengajarkan dan memahamkan merupakan dua konsep pendidikan yang berbeda. Butir pertama berkaitan dengan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Butir kedua cenderung mendidik siswa menyelami sendiri secara empiris. Dalam terminologi yang dikenalkan Ki Hadjar Dewantara seabad lalu, yaitu ngerti, ngroso, nglakoni, titik penekanan proses ”memahamkan” berada pada nglakoni. Ia membutuhkan keaktifan siswa secara mandiri. Di sini urgensi pelajaran kliping.
Pertama, modal utama aktivitas kliping adalah mengetahui (ngerti)batasan tema tertentu. Guru berposisi sebagai fasilitator yang membebaskan pemilihan topik. Tahap awal tersebut mengajarkan siswa peka terhadap obyek kliping. Selain itu, daya kritis mempertautkan berita satu dan yang lain secara tak sadar membentuk pengetahuan siswa akan kesadaran intertekstual—warta satu dan lain saling bertalian.
Kedua, keterampilan mengaitkan antarinformasi tanpa keinsafan personal (ngroso)sudah barang tentu akan sia-sia. Oleh karena itu, diperlukan kelantipan hati dalam penyusunan kliping sebab ia merupakan bagian dari seni yang sarat estetika. Warta yang baik dan benar memang diperlukan, tetapi ia harus memenuhi syarat indah. Dengan demikian, kliping yang bernilai seni—memenuhi syarat baik, benar, dan (sekaligus) indah—itu niscaya mudah dimengerti dan digemari pembaca umum.
Ketiga, jika butir pertama dan kedua dilakukan dengan baik, siswa akan belajar bagaimana memetakan informasi secara konseptual. Karena itu, esensi nglakoni (melakukan) dalam kegiatan mengkliping merupakan bentuk proses pendidikan manual yang melibatkan tiga aspek elementer model pembelajaran modern: kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiganya sebetulnya sudah digagas lama oleh Bapak Pendidikan Indonesia itu.
Pada tataran makro, pelajaran kliping seyogianya direvitalisasikan ke dalam kegiatan belajar siswa sekolah dasar. Ia merupakan metode lama yang masih relevan bagi pengembangan kecakapan literasi siswa. Kreativitas guru dalam mengajarkan seni mengkliping niscaya dibutuhkan demi menarik antusias siswa.
Di satu sisi, aktivitas mengkliping juga termasuk pelajaran produktif berbasis karya. Ia mengajarkan betapa berartinya mendokumentasikan sesuatu, terlebih pengetahuan tertulis. Abai terhadap ilmu merupakan degradasi sistematis menuju kehancuran peradaban. Bukankah bangsa besar selalu cakap membaca dan menulis sejarah?
Setelah Jassin tak ada
Menengok pendahulu, berarti merefleksikan ketercapaian mereka. Generasi milenial perlu merekonstruksi pemikiran dan keuletan HB Jassin. Ia ”bapak literasi” yang dimiliki Indonesia meski sepanjang hidupnya kerap tak diacuhkan masyarakat. Sinisme terhadapnya, di satu sisi, adalah bentuk penampikan hasil kerja literasi. Ddi sisi lain, sikap demikian membawa pada generasi ”buta ilmu pengetahuan”.
Sosok Jassin sebagai pekerja literasi patut direlevankan kembali di sekolah dengan tak sekadar menghafal namanya, tetapi juga menenun perjuangannya dalam jagat kliping selama setengah abad. Karena itu, pelajaran kliping atau pendidikan literasi adalah meneroka kehidupan Jassin, baik dari sisi personalitas maupun identitas. Namun, pendidikan dewasa ini hanya berjibaku pada simbol, sebagaimana pengultusan Jassin sebagai Paus Sastra, tetapi menutup mata pada keuletan dan perjuangan hidupnya.
RONY K PRATAMA, PENELITI PENDIDIKAN LITERASI YOGYAKARTA
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul “Literasi dan Pelajaran Kliping”.