Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menginisiasi usulan penyusunan Peraturan Presiden tentang Pengelolaan Mikroorganisme. Ini untuk melindungi serta mengatur pemanfaatan mikroorganisme yang menjadi masa depan berbagai bioindustri pangan, obat, pakan, energi, dan berbagai kebutuhan manusia.
Peraturan presiden ini juga merupakan tindak-lanjut ratifikasi Protokol Nagoya yang dilakukan Indonesia sejak enam tahun lalu melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013. Protokol ini mengatur akses pada sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatannya.
Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eny Sudarmonowati, Selasa (21/5/2019), di Jakarta, mengatakan, inisiasi penyusunan Perpres tentang Pengelolaan Mikroorganisme ini juga dilatarbelakangi belum diaturnya mikroorganisme dalam regulasi di Indonesia. Upaya memasukkan pengelolaan mikroorganisme dalam inisiatif legislatif merevisi UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tidak berhasil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Kepala Bidang Mikroorganisme Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Atit Kanti (berdiri), Selasa (21/5/2019) di Jakarta, memaparkan Pusat Penyimpanaan Mikroorganisme (Indonesian Culture Collection) yang dikelola LIPI di Cibinong, Bogor, Jawa Barat.
Pemerintah berpandangan UU 5/1990 masih relevan. Berbagai pihak menilai perundangan ini telah ketinggalan zaman, tidak hanya karena belum mengatur pengelolaan mikroorganisme, namun juga memiliki sanksi lemah (Kompas, 28 Februari 2019).
“Potensi mikroorganisme kita sangat banyak untuk antibiotik, pengawet makanan, rehabilitasi lahan bekas tambang, dan pemurnian limbah bisa memanfaatkan mikroorganisme,” kata Eny.
Meski demikian, mikroorganisme ini juga dinilai sangat rentan dicuri dan diisolasi serta diproses pihak luar. Akhirnya, Indonesia sebagai negara tropis yang kaya akan mikroorganisme tidak mendapatkan manfaat dari komersialisasi mikroorganisme tersebut. Ini karena makhluk renik tersebut satu-satunya makhluk hidup yang bisa dipatenkan.
Enny mengatakan dalam perpres tersebut diatur agar setiap koleksi mikroorganisme di Indonesia didepositkan di Pusat Sumber Daya Mikroorganisme (Indonesian Culture Collection/InaCC) yang dikelola LIPI di Bogor. Sebagai catatan, lanjut dia, mikroba pathogen yang sangat berbahaya akan dikelola Kementerian Kesehatan.
“Di InaCC itu juga mengoleksi mikroorganisme dari berbagai pihak seperti perguruan tinggi maupun perusahaan serta bisa dari asing atau luar negeri,” kata dia.
Penyimpanan mikroorganisme
Atit Kanti, Kepala Bidang Mikrobiologi Pusat Penelitian Biologi LIPI – pengelola InaCC – mengatakan LIPI juga membangun sarana penyimpanan mikroorganisme sebagai backup di Gedung Kusnoto, juga aset LIPI di Bogor. Ini untuk berjaga-jaga agar terdapat cadangan bila terjadi bencana yang merusak fasilitas di InaCC.
Lebih lanjut, ia mengatakan rancangan perpres dalam tahap finalisasi di Sekretariat Negara. “Tinggal menunggu persetujuan dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan,” kata dia.
Ia mengakui penyusunan perpres ini sangat panjang yaitu membutuhkan waktu tiga tahun. Penyebabnya, kata dia, antara lain pengelolaan mikroba berkaitan dengan masa depan bioindustri yang sangat berharga.
Atit Kanti menyebutkan perpres tersebut nanti hanya membolehkan akses terhadap sampel mikroorganisme pada pihak yang terafiliasi dengan Indonesia. Sampel yang mengandung dan/atau terkait dengan mikroorganisme tidak dapat di bawa ke luar wilayah Negara Republik Indonesia sebelum dilakukan isolasi dan identifikasi.
Ia pun menyebutkan kekayaan mikroorganisme Indonesia sangat tinggi. Namun, catatan dia, hanya sekitar 10 persen saja data yang melaporkan keberadaan mikroorganisme dan behrasil diisolasi dari Indonesia. LIPI mengisolasi dan memetakan 51 jenis baru mikroorganisme (terdiri dari 31 takson bakteri, 18 fungi, dan 2 arkea).
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 22 Mei 2019