Melalui serangkaian riset dan kajian untuk pengembangan teknologi mitigasi bencana, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia berhasil menciptakan inovasi untuk memantau tsunami dan longsor. Inovasi ini berpotensi untuk diterapkan untuk memantau longsoran di lereng Gunung Anak Krakatau dan tsunami yang diakibatkan longsoran itu.
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto, menyampaikan hal itu, dalam temu media, di Kantor Pusat LIPI Jakarta, Rabu (2/1/2019). Eko mengungkapkan riset paleotsunami dan paleoseismologi di kawasan Selat Sunda. Peneliti lain dari Puslit Geotek LIPI Adrin Tohari menjelaskan sistem pemantauan gerakan tanah berbasis jejaring sensor nirkabel yang bernama Wireless Sensor Network for Landslide Monitoring (WISELAND).
Adapun Bambang Widiyatmoko peneliti bidang instrumentasi kebencanaan Pusat Penelitian Fisika LIPI menampilkan alat sensor laser. Alat yang dikembangkan sejak tahun 2005 ini merupakan alternatif sistem peringatan dini tsunami yang berbasis pelampung. Sementara itu peneliti lain Deny Hidayati dari Pusat Penelitian kependudukan LIPI memaparkan upaya membangun kesadaran dan kesiapsiagaan bencana melalui jalur pendidikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/YUNI IKAWATI–Sensor Laser Tsunami
Lebih lanjut, Adrin menguraikan WISELAND dapat digunakan untuk memantau bahaya gerakan tanah dalam maupun dangkal, baik pada lereng , potongan maupun timbunan. “Kami juga bisa memantau perkembangan kamar magma di permukaan lereng gunung berapi dan juga longsorannya,” ujarnya.
Sensor yang digunakan untuk itu adalah tiltmeter dan ekstensometer. Sistem ini memberikan peringatan adanya longsoran material lereng gunung akibat aktifitas kegempaan vulkanik.
Untuk membangun sistem pemantauan longsoran vulkanik ini dibutuhkan biaya Rp 300 juta mulai dari pembuatan sampai instalasinya. Memang sensor yang terpasang ini akan rusak bahkan hilang jika terjadi longsoran, tapi data pemantauan sebelum sensor rusak sudah memberikan informasi untuk peringatan dini.
Keunggulan WISELAND antara lain dapat menjangkau daerah yang luas berdasarkan jejaring sensor, menyajikan data seketika dengan akurasi tinggi, serta memiliki catu daya mandiri menggunakan tenaga panel surya dan baterai litium.
Sensor laser
Sementara itu Bambang Widiyatmoko mengungkapkan alternatif sistem peringatan dini tsunami menggunakan Laser Tsunami Sensor. “Prinsip kerjanya adalah mengirim cahaya dari darat itu ditembakkan ke dasar laut, lalu ada sensor di dalamnya yang akan kembali menembakkan cahaya tersebut ke pos pantau,” katanya.
Sensor ini ditempatkan dalam kabel fiber optik yang berada di dasar laut. Kabel fiber optik itu akan terhubung dengan pos pemantau yang akan memancarkan cahaya laser dari ujung kabel ke ujung kabel lainnya melalui sensor deteksi. “Ketika terjadi pergerakan air laut yang tidak biasa atau ada tekanan yang berubah, sensor deteksi akan membelokkan cahaya yang akan menjadi tanda peringatan bahaya tsunami ke pos pemantau,” jelasnya.
Revitalisasi
Menurut Eko sistem yang dikembangkan peneliti-peneliti LIPI ini dapat mendukung upaya revitalisasi sistem peringatan dini tsunami yang diminta Presiden. Revitalisasi diperlukan terutama di daerah yang jarak pantainya dengan sumber tsunami sangat dekat, seperti di Lombok, Palu dan Mentawai. Tsunami di daerah tersebut kurang dari 10 menit.
Selain itu dalam upaya penyelamatan penduduk di daerah rawan tsunami memerlukan penataan tata ruang, yang mengharuskan relokasi penduduk ke daeah aman dan pembangunan selter berupa bangunan tinggi yang kokoh di pantai sebagai tempat evakuasi sebelum tsunami menerjang.
Pada tata ruang pantai di daerah rawan tsunami idealnya ada garis sempadan sejauh 300 meter dari bibir pantai untuk perlindungan penduduk jika ada gelombang tinggi,” kata Eko. Dalam mengatur tata ruang wilayah pantai, lanjutnya, perlu ketegasan pemerintah, karena seringkali terjadi pelanggaran yang akan membahayakan jiwa penduduk saat tsunami.
Pendidikan bencana
Dalam membangun mitigasi bencana perlu melibatkan penduduk setempat, yang peningkatan kesadarannya dapat melalui jalur pendidikan. Pendidikan siaga bencana ini harus sesuai dengan karakteristik lokal dan diperbarui sesuai dengan kejadian bencana terbaru dan latihan secara terus menerus sehingga akan terus dengan mudah diingat.
“Masyarakat lokal sebetulnya punya potensi pengetahuan karena mereka punya kedekatan dengan alam. Cerita rakyat mengenai gempa bumi dan tsunami sebetulnya sudah ada, seperti dongeng Smong di Simeulue, Aceh,” jelas Deny.
Pada tahun 1907, tsunami yang oleh warga setempat disebut smong pernah menghantam Simeulue. Kejadian itu membekas di ingatan kolektif warga dan terus dituturkan dari generasi ke generasi. Isinya, jika ada gempa segera lari ke atas bukit tak perlu lihat laut surut. Saat terjadi tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, meski Simeulue yang paling awal kena, tercatat hanya tujuh korban meninggal.–YUNI IKAWATI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 3 Januari 2019