Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia telah mengembangkan teknologi budidaya teripang pasir atau Holothuria scabra. Diharapkan, teknologi ini mampu menjadi solusi konservasi dan usaha budidaya masyarakat di tengah eksploitasi teripang yang semakin marak di alam bebas.
DOKUMENTASI BALAI BIO INDUSTRI LAUT-LIPI–Berbagai ukuran teripang pasir. Balai Bio Industri Laut-LIPI di Nusa Tenggara Barat, melalukan perbanyakan populasi teripang pasir yang hasilnya diberikan kepada nelayan untuk dibudidayakan sebagai sumber penghasilan alternatif.
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ana Setyastuti di Jakarta, Selasa (16/7/2019) menuturkan, pemanfaatan hasil alam seperti teripang tidak dilarang namun perlu dilakukan secara berkelanjutan. Sayangnya, kenyataan yang terjadi, laju penangkapan teripang lebih cepat dibandingkan kemampuan teripang berkembang secara alami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN–Setelah diambil dari dasar laut, teripang diolah dengan cara dijemur dan siap dijual seperti yang terlihat di Pulau Tamdalan Nawa, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku pada Jumat (25/8/2017). Warga setempat mengeluh maraknya pencurian
“Hingga sebelum tahun 2000, 13.000 ton teripang kering atau setara dengan 32 juta ekor teripang berukuran 300-400 gram ditangkap dari alam setiap tahun. Sementara, kecepatan pertumbuhan teripang untuk mencapai ukuran itu butuh waktu lebih dari dua tahun. Jadi, tidak heran jika perburuan saat ini mengharuskan nelayan mendayung lebih jauh dan menyelam lebih dalam karena populasi di laut semakin berkurang,” ujarnya.
Budidaya yang dilakukan secara bertahap ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan industri perikanan teripang terhadap stok alam. Benih yang dikembangkan pun dapat dimanfaatkan oleh berbagai pemangku kepentingan untuk kegiatan litbang, konservasi, maupun usaha budidaya pembesaran
Populasi teripang di Indonesia semakin terancam karena belum ada regulasi nasional yang mengatur pemanfaatan teripang. Standar nasional mengenai ukuran teripang dan kualitas hasil pemrosesan juga belum ada sehingga nelayan masih bebas mengambil teripang, bahkan teripang usia muda.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ana Setyastuti
Ancaman ini semakin bertambah karena pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang kecepatan tumbuh dan musim reproduksi teripang masih minim.
Teknologi budidaya
Besarnya ancaman terhadap populasi tersebut membuat peneliti di P2O LIPI berupaya mengembangkan teknologi budidaya teripang. Teknologi ini bertujuan untuk mendukung upaya konservasi, usaha budidaya, serta penyediaan bahan baku industri pangan fungsional tanpa mengeksploitasi populasi yang ada di alam.
Peneliti Budidaya Biota Laut Balai Bio Industri Laut P2O LIPI, Muhammad Firdaus menyampaikan, sejumlah penelitian terkait budidaya telah dilakukan pada beberapa jenis teripang. Namun, jenis yang kini berhasil dikembangkan adalah jenis teripang pasir atau Holothuria scabra. Teripang ini merupakan jenis yang paling banyak diburu karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Peneliti Budidaya Biota Laut Balai Bio Industri Laut P2O LIPI, Muhammad Firdaus
Ia mengungkapkan, berkurangnya populasi teripang pasir dibuktikan dari menurunnya jumlah ekspor yang dihasilkan. Dari data Badan Pusat Statistik, ekspor teripang pasir pada 2016 sebanyak 2.003.783 kilogram. Jumlah ini menurun menjadi 1.231.578 kilogram pada 2018.
Adapun penelitian dan pengembangan budidaya teripang pasir yang dilakukan oleh tim P2O LIPI sudah dilakukan sejak 2011. Penelitian ini meliputi proses pemijahan (pengeluaran sel telur dan sperma untuk kawin), pemeliharaan larva dan juvenile (benih usia remaja), pembesaran, hingga menjadi benih yang siap tebar.
“Budidaya yang dilakukan secara bertahap ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan industri perikanan teripang terhadap stok alam. Benih yang dikembangkan pun dapat dimanfaatkan oleh berbagai pemangku kepentingan untuk kegiatan litbang, konservasi, maupun usaha budidaya pembesaran,” ucapnya.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Berbagai jenis teripang yang bisa dtemui di Indonesia dipamerkan dalam bentuk awetan pada acara diskusi media bertajuk “Riset Teripang” di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Dirhamsyah mengatakan, potensi budidaya teripang di Indonesia sangat besar. Berdasarkan analisis yang dilakukan, potensi luas area budidaya bisa mencapai 172.000 hektar. Namun, pemanfaatan budidaya masih di bawah 7.000 hektar.
Menurutnya, optimalisasi potensi budidaya tersebut baru bisa tercapai jika koordinasi antarlintas sektor sudah berjalan dengan baik. Paket teknologi yang telah ditawarkan oleh LIPI perlu disambut dengan implementasi yang masif dari pemerintah daerah dan swasta.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Dirhamsyah
Meski begitu, dia menilai, teknologi budidaya teripang yang dihasilkan saat ini masih perlu pengembangnan lebih lanjut. Panti benih Balai Bio Industri Laut LIPI baru bisa menghasilkan 100.000 ekor anakan setiap tahun. Jumlah ini belum mampu menjawab kebutuhan industri. “Untuk itu, kami masih mencoba untuk mengembangkan skema yang lebih efektif agar bisa menghasilkan benih secara massal,” katanya.–DIONISIA ARLINTA
Editor KHAERUDIN KHAERUDIN
Sumber: Kompas, 16 Juli 2019