Lingkungan Hidup, SDGs, dan Isu HAM

- Editor

Minggu, 2 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Senin, 24 Juli 2017, Presiden Joko Widodo menyebut dua kementerian, yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagai dua kementerian yang menerbitkan peraturan menteri yang dianggap menghambat investasi.

Hal yang diduga menjadi latar belakang pernyataan Presiden adalah Peraturan Menteri LHK Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Dalam aturan itu, pengusaha hutan tanaman industri dan kelapa sawit khawatir kehilangan areal garapan (Kompas, 25/7/2017).

Tarik-menarik kepentingan antara perlindungan hutan dan lingkungan dengan pihak pengusaha perkebunan seakan menjadi kisah yang lestari. Rancangan undang-undang perkelapasawitan jadi contoh. Beruntung rancangan UU yang isinya dikhawatirkan memudahkan pelepasan hutan untuk perkebunan dihentikan pertengahan Juli lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Berita mutakhir, kebakaran hutan kembali terjadi, meluas dari Aceh, Riau, dan muncul di Kalimantan Barat. Total ada 214 titik panas (Kompas, 1/9). Pengalaman kebakaran hebat pada 2015 terulang. Kerugian lebih dari Rp 200 triliun-menurut Bank Dunia, ada korban meninggal, gangguan aktivitas sekolah dan transportasi-yang sulit dikalkulasi. Kerugian yang tak pernah jelas valuasi ekonominya: kehancuran ekosistem, keanekaragaman hayati hilang. Butuh waktu lama bagi ekosistem memulihkan diri.

Hutan dan lingkungan
Hutan adalah sumber kehidupan: penghasil oksigen, sumber air, penyerap karbon dioksida yang menyebabkan pemanasan global pemicu perubahan iklim. Fungsi ekosistem hutan demikian lengkap, kompleks, dan tak tergantikan.

Di sisi lain, hutan dan areal hutan ialah gudang sumber daya alam. Mulai dari kayu, sumber panas bumi, mineral dan logam berharga, serta sumber kehati dari mikroorganisme sampai mamalia besar ada di sana.

Tak heran, beragam kepentingan masuk urusan kehutanan. Investor perkebunan kelapa sawit menjadi anak emas karena jadi penyumbang devisa itu. Tahun 2016, dalam data Kementerian Perindustrian, tertulis ekspor minyak sawit sekitar 16 miliar dollar AS (sekitar Rp 208 triliun, dengan kurs Rp 13.000). Cukupkah berhenti pada hitungan dollar?

Sementara kebakaran hutan hanya dalam 4 bulan menyebabkan kerugian Rp 221 triliun, tanpa menghitung air mata dan penderitaan para penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang jumlahnya pada 2015 hampir 500 juta orang. Tak juga menghitung kerugian individu yang kehilangan waktu karena gangguan transportasi dan kesehatan sehingga kehilangan pendapatan.

Di sisi lain, tak pernah ada valuasi ekonomi untuk hutan lestari dengan keberlanjutan ekosistemnya. Ekosistem hutan tak lepas dari keberadaan masyarakat adat yang tinggal beratus tahun sejak sebelum Indonesia merdeka. Sebelum hutan dikomodifikasi melalui hak pengusahaan hutan tahun 1980-an, masyarakat adat hidup subsisten dengan kekayaan hutan. Isu masyarakat adat dan hutan sebagai rumah tinggalnya diakui secara politis oleh Presiden. Bahkan, di Paris tahun 2015 Jokowi menegaskan akan mengawal perubahan iklim bersama masyarakat adat.

Tugas global yang disandang tak hanya menurunkan emisi karbon dioksida 29 persen dan 41 persen dengan bantuan luar, tetapi juga mengusahakan terciptanya pembangunan berkelanjutan, sesuai Deklarasi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Prinsip SDGs ialah pembangunan tak boleh mengorbankan pembangunan lingkungan dan sosial.

Sangat disayangkan jika Jokowi terperangkap pada paradigma lama pembangunan berkelanjutan. Haryanto R Putro dari Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor menjelaskan, “Paradigma lama ini berbasis substitusi. Jika ekonomi lebih besar dan sosial atau lingkungan tertinggal, boleh disubstitusi. Ini berlaku untuk ketiganya, bisa saling substitusi.”

Paradigma baru pembangunan berkelanjutan bukan lagi berbasis prinsip substitusi, melainkan berdasarkan prinsip “ambang batas”. “Dengan lingkaran lingkungan terbesar, artinya, pembangunan sosial tak boleh melanggar batas lingkungan dan pembangunan ekonomi tak boleh mengorbankan sosial.”

Jadi, begitulah Pak Jokowi. Kini pengusaha di area hutan menabur konflik dan bencana serta ingkar pada putusan hukum. Catatan itu sudah panjang….(BRIGITTA ISWORO LAKSMI)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2017, di halaman 12 dengan judul “Lingkungan Hidup, SDGs, dan Isu HAM”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 121 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB