Limbah radioaktif sumber bekas yang digunakan rumah sakit atau industri bisa didaur ulang untuk digunakan kembali oleh industri lain atau riset. Namun, penggunaan kembali itu harus didasarkan permintaan lembaga yang akan menggunakannya, tidak bisa serta merta dilakukan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional.
Proses penggunaan kembali limbah radioaktif sumber bekas itu dilakukan Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) sejak 2017. Limbah yang bisa dipakai lagi itu adalah limbah yang memiliki nilai aktivitas radioaktif cukup besar dan masa gunanya masih efektif sehingga masih bernilai ekonomi jika digunakan lagi.
BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL–Limbah radioaktif dikemas secara khusus di lokasi penyimpanan sementara sebelum akhirnya ditimbun dalam tanah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Limbah radioaktif dengan karakter itu umumnya berasal dari limbah radioaktif terbungkus yang pernah dipakai industri atau rumah sakit. “Penggunaan kembali dan daur ulang limbah radioaktif meningkatkan nilai ekonomi, mengoptimalkan penggunaan zat radioaktif, serta membatasi penambahan zat radioaktif baru di Indonesia,” kata Kepala PTLR Batan Husen Zamroni di Jakarta, Rabu (8/5/2019).
Salah satu limbah radioaktif yang sudah didaur ulang adalah cobalt-60 yang dipakai untuk radioterapi kanker di rumah sakit. Saat pertama digunakan, aktivitas radioaktif di zat tersebut mencapai 8.000-12.000 curie. Saat aktivitasnya tinggal 2.500 curie, zat itu tidak efektif lagi untuk radioterapi.
Rumah sakit akan mengirimkan limbah radioaktif itu ke PTLR Batan di Kawasan Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Tangerang Selatan. Limbah akan dikirim dalam kemasan dan izin khusus yang diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nasional (Bapeten).
PTLR diamanati undang-undang untuk mengelola limbah radioaktif di Indonesia. Saat ini, ada lebih dari 3.000 sumber limbah radioaktif sumber bekas di Indonesia yang dikelola PTLR. Sumber radioaktif sumber bekas yang terbungkus itu umumnya berasal dari industri dan rumah sakit, tidak termasuk limbah radioaktif yang dihasilkan Batan.
Meski sudah tidak bisa digunakan untuk radioterapi, nilai aktivitas radioaktif 2.500 curie yang ada pada limbah radioaktif rumah sakit itu sejatinya masih bisa dimanfaatkan industri lain maupun riset di berbagai lembaga, seperti lembaga metrologi untuk kalibrasi atau riset dan pendidikan di Batan maupun perguruan tinggi.
Meski demikian, Husen menegaskan proses daur ulang dan penggunaan limbah radioaktif itu tidak bisa serta merta dilakukan Batan. “Harus ada lembaga yang mengajukan untuk menggunakan kembali limbah radioaktif tersebut,” katanya.
Harga zat radioaktif baru dengan aktivitas radioaktif sekitar 2.500 curie mencapai Rp 7 miliar. Namun dengan menggunakan kembali limbah radioaktif, biayanya hanya sekitar Rp 40 juta.
Tak hanya limbah dengan aktivitas radioaktif yang besar, limbah sumber bekas terbungkus dengan aktivitas radiasi sebesar 5 milicurie pun masih digunakan untuk pendidikan dan pelatihan. Harga zat radioaktif baru dengan aktivitas 5 milicurie itu bisa mencapai Rp 200 juta, sedangkan penggunaan kembali limbah radioaktif hanya butuh sekitar Rp 20 juta yang sebagian besar untuk mengurusan izin.
Selain cobalt-60, limbah radioaktif yang bisa didaur ulang adalah iridium-192 yang biasa digunakan untuk radiografi di industri perminyakan guna pengecekan pipa atau bekas las pada sambungan pipa hingga pengukuran ketinggian cairan pada tangki.
Pengelolaan
Selain limbah radioaktif sumber bekas terbungkus yang berasal dari luar Batan, Batan juga mengelola limbah radioaktif yang dihasilkan dari proses riset dan rekayasa di Batan. Limbah itu umumnya berbentuk cair dan padat, sedangkan limbah yang berbentuk gas sudah dikelola langsung di instalasi nuklir yang ada.
Deputi Bidang Teknologi Energi Nuklir Batan Suryantoro mengatakan prinsip dasar pengelolaan limbah radioaktif adalah proteksi radiasi guna menjamin keselamatan dan keamanan masyarakat saat ini maupun generasi yang akan datang.
Proses pengelolaan berbagai jenis limbah tersebut dilakukan dengan cara dikumpulkan, dikelompokkan, diolah, disimpan sementara dan terakhir ditimbun (disposal). Semua proses itu sudah dilakukan PTLR Batan, kecuali penimbunan limbah radioaktif.
“Indonesia belum memiliki lokasi penimbunan limbah radioaktif karena jumlah limbah radioaktifnya masih sedikit,” katanya. Jumlah limbah radioaktif yang sedikit itu karena Indonesia belum memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Jika Indonesia memiliki PLTN, maka 10 tahun sejak PLTN berdiri, fasilitas penimbunan limbah radioaktif itu harus dimiliki.
Sejak PTLR berdiri pada 1988 hingga kini, PTLR sudah mengelola sekitar 1.250 drum limbah radioaktif berkapasitas 200 liter. Itu berarti, sejak Batan berdiri tahun 1958, jumlah limbah radiaktif yang dimiliki Indonesia masih sedikit sehingga kebutuhan untuk lokasi penimbunan limbah belum mendesak.
Kini, penyimpanan limbah radioaktif masih cukup dengan penyimpanan sementara yang dikelola PLTR di Puspiptek Serpong. Di sana, drum-drum itu berisi berbagai limbah radioaktif, baik bahan maupun peralatan yang terkontaminasi zat radaioaktif yang sudah dipadatkan dengan dicampur semen itu, di awasi dengan sistem keamanan tinggi.
“Batan dilengkapi dengan unit pengamanan nuklir, baik berbagai perlatan dan sistem untuk mendeteksi keamanan sumber radioaktif maupun fasilitas pengamanan penunjang. Sistem pengamanan ini juga dikontrol Bapeten secara periodik,” tambahnya.
Budaya keselamatan nuklir pun dibangun Batan. Sistem itu untuk menghindarkan material dan limbah radioaktif dari pencurian, sabotase, atau berpindah tangan kepada orang-orang yang tidak berhak.
Kemampuan Indonesia mengelola limbah radioaktif itu membuat Batan jadi pusat pelatihan bagi negara Asia-Afrika untuk mengelola limbah radioaktif, seperti Malaysia, Myanmar, Libya, Nepal, Kamboja dan Palestina.
“Indonesia memiliki aturan pengelolaan limbah radioaktif yang lengkap dan dikontrol secara periodik oleh Bapeten,” kata Suryantoro.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 10 Mei 2019