Teknologi Pengawasan Belum Ada di Indonesia
Pengolah limbah bahan beracun berbahaya terbesar di Indonesia, PT Prasadha Pamunah Limbah Industri, berencana membangun insinerator pengubah limbah kliennya menjadi energi. Itu akan menambah deretan rencana pembangunan insinerator penghasil energi.
Presiden Direktur PPLI Koji Kuroki mengatakan, investasi pembangunan insinerator sekitar 15 juta dollar AS atau Rp 200,85 miliar. Kini, dalam tahap studi kelayakan dan direncanakan beroperasi April 2018.
Direktur Operasi PPLI Syarif Hidayat menambahkan, saat ini PPLI mengolah 250.000 limbah B3 cair dan padat dari sejumlah daerah di Indonesia. Diperkirakan, 20-30 persen di antaranya bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar insinerator.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Limbah B3 itu di antaranya lumpur minyak, cat, pestisida, lumpur instalasi pengolahan air limbah, bahan kimia, dan gas hasil penimbunan.
Sementara teknologi insinerator yang akan digunakan disebutkan menggunakan teknologi dari DOWA, Jepang. DOWA Eco System adalah anak perusahaan DOWA Holding Co Ltd, perusahaan yang pada 2009 mengakuisisi PPLI dari Modern Asia Environmental Holdings (MAEH). DOWA menguasai 95 persen saham PPLI (sisanya pemerintah).
PPLI baru menghitung energi listrik yang berpotensi dihasilkan. “Mungkin kami pakai sendiri dulu listriknya,” kata Syarif.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) disimpan di dalam drum-drum sebelum diolah di PT Prasadha Pamunah Limbah Industri di Cileungsi, Bogor, Jumat (12/2). PPLI menyediakan jasa pengolahan limbah terpadu untuk pelanggan komersial dan industri.
Rencana itu akan menambah jumlah insinerator pengolah sampah menjadi energi. Pekan lalu, tujuh kota ditetapkan Presiden Joko Widodo menjadi percontohan pengolahan sampah/ limbah menjadi energi (waste to energy). Jakarta dan Surabaya hampir pasti menerapkan teknologi pembakaran itu. Kelemahan regulasi, sistem, pengawas, dan ketersediaan teknologi saat ini belum mendukung operasi insinerator.
Kekhawatiran
Masifnya pendirian instalasi pembakaran sampah/limbah itu dikhawatirkan meninggalkan masalah kesehatan lingkungan dan manusia. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Jumat (12/2), di Bogor, mencatat keresahan dampak cemaran udara dari emisi insinerator berupa dioksin. Potensi emisi itu belum ditunjang ketersediaan peralatan atau laboratorium kimia di Indonesia untuk mengukur kandungan dioksin di lingkungan.
“Masih kami bicarakan instrumen teknologi pengawasan dan baku mutu. Izin harus disertai pengawasan,” katanya saat berkunjung ke PT PPLI bersama sejumlah organisasi kemasyarakatan dan media.
Dalam kunjungan ke perusahaan sejak 1994 itu, pemantauan lapangan hanya bisa dari dalam bus karena hujan. Rombongan melihat lokasi penimbunan, kapsulasi, dan mendengar penjelasan dari PPLI.
Ditemui sebelumnya, Direktur Permukiman dan Perumahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nugroho Tri Utomo mengatakan, program mengubah sampah jadi energi harus dilihat sebagai cara memusnahkan sampah. Energi listrik yang didapat merupakan sampingan atau bonus.
Ia menyebut, sampah/limbah jadi energi, termasuk insinerator, tidak akan membawa keuntungan atau profit finansial. Pemerintah daerah tetap harus menyediakan biaya. Itungannya, biaya pemusnahan sampah dengan teknologi termal, seperti pirolisis, gasifikasi, dan insinerator Rp 450.000-Rp 750.000 per ton.
“Kalau itu sebagian panas diolah jadi energi, pemasukan dari energi paling banter bisa mengurangi biaya sepertiganya,” katanya. Keuntungan lain, pemda mengurangi biaya pemusnahan dan hemat pemakaian TPA.
Menurut dia, perilaku mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang sampah tetap harus diutamakan. Biaya pemusnahan sampah itu baru 50 persen dari ongkos pengumpulan dan pengangkutan. “Kalau mau kurangi biaya, kurangi tonase sampah yang dihasilkan,” ujarnya.
Yuyun Ismawati, Penasihat Senior BaliFokus, menyayangkan ambisi pemerintah membangun insinerator di Indonesia. Apalagi, muncul rencana dari limbah B3. “Sangat berbahaya,” katanya.
Pembakaran bahan toksik, seperti klorin dan logam berat, akan meningkatkan lepasan dan sebaran senyawa beracun pada lingkungan. (ICH)
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Februari 2016, di halaman 13 dengan judul “Limbah Beracun Jadi Bahan Bakar”.