Trem listrik berjaya di Jakarta sejak era Batavia. Moda transportasi dengan jaringan rel melingkari Ibu Kota ini memudahkan mobilitas warga. Pada masa Kepala Daerah Jakarta Raya R Sudiro, yang saat itu setara gubernur, jelang tahun 1960, trem dihapus. Kini, pemerintah berupaya mengembalikan kehadiran trem dalam versi modern: light rail transit.
Trem listrik kuno Jakarta saat itu melintasi jalan raya, bercampur kendaraan bermotor. Light rail transit (LRT) yang akan menghubungkan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi direncanakan melintasi elevated track atau jalur layang khusus, meminimalkan pelintasan sebidang.
Pembangunan juga memanfaatkan ruas sisi tol, mengoptimalkan lahan pemerintah agar minim masalah pembebasan lahan. Pemerintah menargetkan LRT siap tahun 2018, bertepatan perhelatan Asian Games.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Keunggulan LRT itu fleksibel, bisa melintasi jalur darat mana pun,” ujar Ketua Forum Teknologi dan Inovasi Perkeretaapian Taufik Hidayat dari Bandung, Jawa Barat, Senin (14/9). Jalur LRT bisa dibuat sebidang dengan jalan raya seperti masa trem Jakarta kuno, bisa jadi satu dengan jalur kereta rel listrik (KRL) yang sudah beroperasi ataupun kereta cepat massal (MRT) yang sedang dibangun, serta bisa dibuatkan jalur khusus.
LRT dengan jalur khusus lebih menguntungkan karena bisa mengoptimalkan kecepatan kereta. Jika menggunakan jalan raya, LRT hanya bisa berjalan 25-30 kilometer per jam agar aman di tengah kendaraan bermotor, sedangkan jalur khusus bisa mencapai 70 km per jam.
Taufik menjelaskan, LRT tergolong kelompok kereta ringan karena konstruksinya memang lebih kecil dan ringan dibandingkan kereta besar. Bogie (penggerak kereta yang juga berisi poros dan ban) pada LRT dirancang berukuran kecil. Itu membuat kebanyakan LRT di dunia berlantai rendah, mirip jarak lantai mobil sedan dari tanah, sehingga meningkatkan keamanan bagi pengguna saat akan naik serta lebih ramah bagi kaum difabel. Di sisi lain, satu rangkaian LRT biasanya hanya terdiri atas 2-3 gerbong, total panjang 28-30 meter.
Perbandingan
Kepala Bidang Teknologi Sarana Transportasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Setyo Margono Utomo menambahkan, kereta terbagi dua kelompok: kereta ringan dan berat. LRT masuk kelompok kereta ringan bersama kereta monorel. Di kelompok kereta berat ada KRL dan MRT.
Jika panjang kereta ringan 2-3 gerbong, kereta berat bisa 8-12 gerbong per rangkaian. Beban poros (axle) kereta ringan kurang dari 10 ton, sedangkan pada kereta berat 14 ton. Konsumsi daya kereta ringan pun lebih hemat dibandingkan kereta berat. “Suplai tenaga untuk kereta ringan hanya 750 volt DC, sedangkan KRL dan MRT 1.500 volt DC,” kata Setyo.
Untuk kereta berat, lebar kereta 3 meter, sedangkan lebar kereta ringan 2,7 meter. Karena ringan, kereta ringan semacam LRT lebih andal bermanuver di lintasan dengan belokan tajam lantaran memiliki radius putar kecil, sekitar 25 meter. Radius putar kereta berat 150 meter.
Namun, itu semua membuat kapasitas maksimal penumpang pada kereta ringan lebih sedikit. Setyo mengatakan, sistem kereta berat mampu mengangkut 40.000 penumpang per jam per arah, sedangkan kapasitas kereta ringan setengahnya.
Meski demikian, itu bukan kelemahan kereta ringan, termasuk LRT. Menurut Setyo, ini berarti pemerintah harus memahami kebutuhan jenis moda, salah satunya jumlah penumpang pada setiap rute. LRT lebih baik difungsikan moda pengumpan, bukan moda utamanya. “Dari Blok M menuju Kota, misalnya, dibutuhkan moda transportasi yang mampu mengangkut banyak orang semacam MRT, tidak cocok menggunakan LRT,” tuturnya.
Beda utama LRT dengan monorel ada pada jumlah rel. Kereta monorel hanya menggunakan satu rel. LRT, seperti kereta kebanyakan, pada dua rel.
Kebutuhan material untuk prasarana monorel lebih hemat sekitar 50 persen dibandingkan kereta dengan dua rel. Namun, mutu material harus terjamin bagus. Menurut Setyo, pembangunan jalur monorel setidaknya harus pakai beton berkekuatan K-700, sedangkan beton buatan Indonesia umumnya K-500. Selain itu, teknologi monorel lebih rumit. Pada akhirnya, besaran investasi monorel dan LRT tak jauh berbeda.
Perkembangan teknologi
Teknologi pada LRT terus berkembang, salah satunya pada pembangkit listrik. Kini, ada teknologi rel ketiga sebagai pembangkit energi LRT. Teknologi itu sebelumnya menggunakan kabel jala-jala melintang di atas kereta, seperti pada KRL. Rel ketiga merupakan jalur logam di antara rel lintasan roda- roda bogie. Teknologi itu aman bagi pejalan kaki karena listrik bangkit untuk area di bawah kereta.
Perkembangan juga pada pengereman yang mendorong efisiensi energi. Teknologi pengereman regeneratif itu membuat rem berfungsi pembangkit listrik, serta mengembalikan energi listrik ke sistem.
Sementara itu, Taufik menyoroti pemilihan spesifikasi sarana dan prasarana LRT. Jika pemerintah memilih kereta dengan lebar rel (track gauge) 1,067 meter, keuntungannya bisa membuat LRT melintasi rel yang sudah ada di Jakarta. Lebar rel untuk KRL dan MRT saat ini 1,067 meter.
Namun, Taufik mengingatkan, LRT di seluruh dunia saat ini lebih banyak menggunakan lebar rel 1,435 meter. Jika pemerintah tetap membangun menggunakan lebar rel 1,067 meter, pemerintah kesulitan memperoleh suku cadang.–J GALUH BIMANTARA
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Trem Ibu Kota Versi Modern”.