Lestari Nurhajati, Perempuan Indonesia Peneliti Demokrasi di Nepal-Afganistan

- Editor

Jumat, 5 Desember 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Santai Bertemu Taliban, Menahan Lapar di Nepal
Rasa ingin tahu pada perkembangan demokrasi di negara miskin, membuat Lestari Nurhajati rela berbulan-bulan berkelana di Afganistan dan Nepal. Hasil penelitiannya pun mendapat perhatian banyak penggiat demokrasi di Asia.

Berbekal pengalaman sebagai penggiat demokrasi di Indonesia pada tahun 1999, menjadi jembatan bagi Lestari Nurha jati mentasbihkan dirinya wanita periset demokrasi pertama di Indonesia. Hingga menggiringnya tergabung dalam lembaga riset Indepth (Institute for Democracy, Politics, and Human Rights).

”Tahun 2008 itulah awal kegiatan riset demokrasi di negara miskin berlangsung. Dan sampai sekarang masih dilakukan,” ujar wanita jebolan Unirversitas Airlangga dan menamatkan studi S3-nya di UI.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Matanya perlahan mulai menerawang. Me ngurut kembali pengalaman risetnya pada tahun 2008 di negara Nepal. Sesekali jemarinya pun membolak-balik berkas kumpulan riset yang dipegangnya.

Dia mengakui, tantangan melakukan riset demokrasi pada negara miskin itu sangat luar biasa. Bukan hanya kondisi politik yang suhunya cenderung naik, tetapi juga ancaman keamanan lingkungan yang patut menjadi perhatian.

”Karakter demografis, sosiografis dan kultur masyarakat pada negara seperti Nepal dan Afganistan itu pun menarik sekali,” ungkap Lestari yang saat itu tergabung dalam International Observer of ANFREL (Asian Networking For Free Election)

Lembaga pemantau demokrasi Interna sional itulah yang mendanai semua kegiatan pe nelitiannya. Waktunya pun cukup lama. Karena harus memulai riset sejak pra pemilihan umum, pemilihan umum sampai pada akhir sengketa pemilihan umum. Menariknya, di kalangan pemantau demokrasi di Nepal dan Afganistan selalu didominasi kaum adam.

Hanya dirinya yang merupakan peneliti asing perempuan asal Indonesia. ”Mungkin inilah yang membuat prespektif riset demokrasi menjadi berbeda dari peri set lainnya,” tuturnya sambil tersenyum.

Penyabet gelar Doktor Komunikasi Politik Universitas Indonesia ini menuturkan, banyak peristiwa yang terbilang unik. Misalkan kebiasaan makan masyarakat Nepal yang terjadwal. Hanya memberikan makan sehari dua kali tanpa makanan tambahan apapun. Tentu saja, menurut dia, jam makan yang begitu ketat memaksa tubuhnya beradaptasi.

Terlebih suhu udara di Nepal cenderung ekstrem. Pada sebagian wilayah panas, tetapi pada wilayah lain bisa sangat dingin. ”Suhu terendah sampai 5 derajat celsius. Itu harus tinggal di kamar tidur tanpa pemanas ruangan,” kata wanita yang akrab disapa Nuri.

Di jelaskan jam makan yang ketat berlaku di Nepal itu berkaitan kondisi ekonomi. Nepal merupakan negara miskin. Sehingga budaya makan terjadwal pun menjadi solusi ekonomi. Semua masyarakatnya melakukan hal serupa.

Bahkan, sambung dia, pada rumah makan atau restoran pun tidak menjual makanan di luar jam makan. Restoran hanya menyiapkan makan pada pukul 10.30 pagi dan pukul 18.00 malam. ”Di luar jam makan itu tidak ada. Jadi harus bisa tahan makan,” paparnya.

203Kondisi geografis negara Nepal juga menantang. Sebagian wilayah Nepal berada di bawah kaki Gunung HImalaya. Tak heran kondisi suhunya pun menjadi sangat dingin. Di wilayah itulah, Nuri harus menjangkau kelompok risetnya. Menemui responden melakukan wawancara dan pengumpulan data.

Dalam waktu yang juga cukup lama. Dia memastikan kesadaran penduduk di Nepal relatif baik. Meskipun miskin cenderung berpartisipasi politik secara maksimal. Hingga pemilihan umumnya tahun 2008 berjalan lancar.

”Kalau di Nepal itu demokrasinya dikuasai komunis. Di negara itu masyarakatnya percaya pada ideologi komunis. Maka negara- negara pengusung demokrasi, kecewa,” terangnya.

Tak lama kemudian Nepal kembali menggelar pemilunya. Hajat pemilu yang dilakukan pada beberapa tahun kemudian merupakan ‘intervensi’ negara asing. Karena tak inginkan politisi komunis mengusai Nepal. Berbeda dengan Afganistan. Negara yang sudah terlalu lama terlibat konflik horisontal, mendorong demokrasi berjalan penuh ketegangan.

Apalagi kelompok Taliban memiliki pengaruh besar. ”Tahun 2009 pemilu di Afganistan itu digelar. Di bawah monitoring PBB dalam pelaksanaanya. Kondisi kemanannya pun belum stabil,” imbuhnya. Tak heran dalam pemilu itu kerap terdengar ledakan bom.

Namun masyarakatnya tetap berjuang mendorong demokrasi. Hingga proses pemilihan tetap berjalan. Nuri menuturkan, kelompok Taliban menjadi bagian dalam demokrasi. Anggotanya sangat banyak. Tersebar di berbagai daerah. Kelompok Taliban tak hanya menjadi kelompok bersenjata, tetapi menjadi kelompok politik berpengaruh.

Dia mengaku santai saja saat bertemu kelompok tersebut. ”Maka komunikasi dengan kelompok Taliban menjadi hal biasa. Menariknya Indonesia begitu akrab bagi kalangan Taliban,” imbuhnya tertawa. Demokrasi di Afganistan berjalan penuh rintangan. Bukan hanya situasi keamanan yang tidak stabil.

Tetapi juga infrastruktur demokrasinya yang belum lengkap. Sengketa pemilunya berakhir pada penghitungan ulang. ”Kemarin baru dari Afganistan. Secara politik sudah berjalan berbeda dibanding 2009. Tetapi keamanannya masih tidak banyak perubahan,” jelasnya.

Ditanya soal demokrasi di Indonesia, dia menilai kondisi politik demokrasi Indonesia baik. Meski tak sehebat demokrasi di Fillipina. Setelah berhasil menerapkan e-Voting, Fillipina menjadi sangat demokratis. Dia berharap arus demokrasi Indonesia bisa menemukan karakternya.

Tidak terlalu mengadopsi politik Amerika yang memang tak sesuai dengan karakater Indonesia. Kini semua hasil riset yang dilakukan Nuri menjadi bagian penting dalam diskusi demokrasi di berbagai negara. Terutama bagi negara berkembang yang terus belajar mewujudkan demokrasi.

RIKO NOVIANTORO, Uploader: Tusi Pratama
Sumber: IndoPos, 4 December 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan
Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah
Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas
Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik
Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian
Maria Yosephina Melinda GamparTotalitas Melayani Pasien
Endang Setyowati; Kepala Sekolah yang Gemar ”Nongkrong”
Maidi; Penangkar Anggrek Hutan
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Jumat, 26 Desember 2014 - 09:24 WIB

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan

Jumat, 19 Desember 2014 - 07:11 WIB

Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah

Selasa, 16 Desember 2014 - 05:51 WIB

Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas

Selasa, 9 Desember 2014 - 07:26 WIB

Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik

Senin, 8 Desember 2014 - 07:27 WIB

Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB