”Lembaga riset, seperti LIPI, mampu saja menemukan bahan-bahan alami dari keanekaragaman hayati kita untuk menunjang produksi obat-obatan herbal. Namun, untuk perolehan paten membutuhkan uji klinis pada manusia yang seharusnya dilakukan lembaga riset lain di bawah Kementerian Kesehatan dan hal seperti ini tidak pernah terjadi,” kata Ketua Komite Inovasi Nasional Zuhal, Kamis (21/10) di Jakarta.
Pemerintah selama ini keliru menangani program riset. Menurut Zuhal, lembaga riset dibiarkan berjalan sendiri-sendiri.
”Parahnya lagi, orientasi riset telah menjadi proyek semata yang dijalani tanpa memikirkan kegunaannya lagi bagi rakyat,” kata Zuhal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara terpisah, Kepala Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI ) Bambang Subiyanto mengakui, riset yang ditempuh para peneliti LIPI terkait produksi obat herbal selama ini tidak bisa tuntas.
”Tuntas artinya dapat menjadi temuan inovatif yang dapat diaplikasikan industri,” katanya.
Temulawak
Seperti hak paten untuk obat herbal penyakit lever, jantung, dan kanker, dengan zat aktif temulawak yang sekarang dimiliki pihak asing di Amerika Serikat, menurut Bambang, sebagai dampak riset yang tidak tuntas.
Para peneliti bioteknologi mungkin saja mengidentifikasi prospek zat aktif temulawak itu untuk berbagai kegunaan, tetapi riset hanya terhenti di situ.
Para periset bioteknologi tidak bisa menjadikannya sebagai obat herbal dengan hak paten. Sebab, para peneliti bioteknologi tidak memiliki kewenangan pengujian klinis pada tubuh manusia.
”Kondisi ini membutuhkan kerja sama dengan kedokteran. Tetapi, sinergi seperti ini sulit terjadi,” kata Bambang.
Zuhal mengatakan, program riset yang masih sektoral dan dijalankan sebagai proyek semata tanpa mempertimbangkan kegunaan bagi masyarakat ini akan dimasukkan dalam laporan periodik Komite Inovasi Nasional kepada presiden.
”Laporan itu akan kami sampaikan kepada presiden, Desember nanti,” kata Zuhal.
Menurut Zuhal, selama ini banyak riset tidak tuntas sehingga peluang komersialisasinya lepas ke tangan asing. Pemerintah gagal menyediakan infrastruktur sistem inovasi untuk peningkatan ekonomi berbasis riset ilmiah.
”Kita memiliki keandalan sumber daya manusia yang ditunjang sumber daya alam yang tersedia melimpah. Tetapi, pemerintah telah mengabaikan infrastrukturnya,” kata Zuhal.
”Benefit sharing”
Bambang Subiyanto mengakui, tuntutan benefit sharing (pembagian manfaat) atas hak paten obat herbal dengan zat aktif temulawak oleh Amerika Serikat masih membutuhkan penelusuran lebih lanjut. Jika paten tersebut diupayakan dari hasil riset disertai dengan material dari Indonesia, baru bisa diajukan tuntutan benefit sharing-nya.
Ini seperti kejadian baru-baru ini, yaitu periset Jepang mampu memaparkan zat-zat aktif yang terkandung di dalam buah gambir (Uncaria gambir Roxb) dari hasil kegiatan penelitian di Indonesia. ”Kalau kemudian temuan zat aktif dari gambir itu dipatenkan di Jepang dan dimanfaatkan untuk produksi obat-obatan herbal secara komersial, kita bisa menuntut benefit sharing-nya,” kata Bambang. (NAW)
Sumber: Kompas, Jumat, 22 Oktober 2010 | 04:54 WIB