Selama pandemi Covid-19, langit di sejumlah kota, termasuk Jakarta, tampak lebih biru. Namun, jika dilihat lebih detail, udara belum bersih. Banyak partikel polusi halus yang bertebaran dan rentan memicu penyakit.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO—Kondisi Jakarta yang menyenangkan dengan langit biru sebagai dampak pelambatan aktivitas ekonomi ini ternyata semu. Polusi udara dari partikel halus PM2,5 masih sangat tinggi.
Sejumlah bukti-bukti visual beredar dan menunjukkan selama kondisi pandemi Covid-19 kualitas udara meningkat seiring melambannya aktivitas warga pada lalu lintas di perkotaan, termasuk di Jakarta. Kemacetan yang relatif tak terjadi lagi di Jakarta membuat indeks standar pencemar udara atau ISPU menjadi jauh lebih baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, fakta tersebut sebenarnya bukan menandakan udara di atmosfir Jakarta dan sekitarnya benar-benar bersih. Bila mengecek lebih detil lagi, ternyata salah satu emisi polusi udara, yaitu PM2,5 (partikulat halus berukuran kurang dari 2,5 mikron) masih sangat tinggi.
Data yang ditampilkan lembaga data kualitas udara, www.iqair.com menunjukkan, polusi PM2,5 Jakarta pada awal sampai pertengahan tahun 2020 jauh lebih banyak dibandingkan periode yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Seperti pada Rabu kemarin (3/6/2020), polusi PM2,5 di Jakarta terhitung sangat tinggi dan membahayakan bagi kelompok rentan, yaitu mencapai 39,5 mikrogram per meterkubik atau 111 dalam ISPU ala Amerika Serikat atau AQI. Sebagai tambahan informasi, menurut sumber data yang sama, Kamis kemarin, polusi PM2,5 tertinggi di Indonesia berada di Tangerang Selatan, yang mencapai 41,2 mikrogram per meter kubik.
Konsentrasi polusi PM2,5 sebesar 39,5 mikrogram per meter kubik tersebut berada di atas standar kesehatan yang ditetapkan WHO, yaitu 25 mikrogram per meterkubik per hari (24 jam). Di Indonesia, aturan baku mutu konsentrasi polusi PM2,5 masih mentoleransi lebih dari 2,5 kali lipatnya, yaitu 65 mikrogram per meter kubik untuk konsentrasi. Aturan batasan PM2,5 muncul dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang telah berusia 21 tahun.
Secara global, dampak pelambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 tidak sepenuhnya mampu membersihkan bumi dari polusi udara. New Delhi, ibukota India misalnya saat pandemi seperti ini kualitas udara juga menunjukkan tidak sehat dengan kadar PM2,5 mencapai 140 mikrogram per meter kubik yang menempatkannya pada kota terpolusi. Masih menurut data IQAIR, kualitas udara di Osaka Jepang, Busan Korea Selatan, Dubai UEA, serta Shenzen dan Chengdu di China, negara tempat ditemukan pertama Covid-19, pun masuk 10 kota terpolusi.
IQAIR.COM—Pandemi Covid-19 secara global tak serta-merta meniadakan kota-kota dunia dari polusi udara. Seperti ditampilkan dalam www.iqair.com (diakses 4 Juni 2020), sejumlah negara mengalami kualitas udara yang tidak sehat. Polusi tersebut umumnya disebabkan partikel halus (PM2,5).
Aturan terkait polusi udara di Indonesia belum menempatkan PM2,5 ke dalam parameter ISPU. Sejak regulasi tahun 1997, yang telah tertinggal dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, ISPU hanya memasukkan PM10, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, karbon monoksida, dan ozon sebagai parameternya.
Budi Haryanto, Guru Besar Kesehatan Lingkungan pada Universitas Indonesia beberapa waktu lalu menunjukkan hasil riset terbaru yang dipublikasikan April 2020 yang dilakukan Harvard University Amerika Serikat. Riset tersebut mendapati keterkaitan antara peningkatan 1 mikrogram per meter kubik PM2,5 dalam pandemi ini memiliki dampak peningkatan 8 persen kematian Covid-19 (angka 8 persen ini direvisi Harvard University dari publikasi sebelumnya sebesar 15 persen). Para peneliti tersebut pun menyatakan orang-orang yang sudah lama terpapar polusi udara adalah kelompok yang paling rentan terkena Covid-19.
Ringkasnya, para peneliti meyakini bahwa peningkatan kecil konsentrasi dalam paparan jangka panjang PM2,5 dapat menyebabkan kenaikan yang besar dalam tingkat kematian Covid-19. Hasil studi Harvard juga menggarisbawahi pentingnya melanjutkan untuk menegakkan peraturan polusi udara yang ada, untuk melindungi kesehatan manusia baik selama ataupun setelah krisis COVID-19.
Di Indonesia, ia menunjukkan dua riset terpisah akan PM2,5 di Jakarta oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat UI pada tahun 2019 mengungkapkan 23 persen wanita di dalam ruangan dan 56 persen sopir transportasi publik menderita impaired lung function atau gangguan fungsi paru.
Memicu penyakit
Dampak dari polusi PM2,5 ini tidak bersifat akut, tapi kronis atau pelan-pelan tapi berpotensi sangat mematikan. Sejumlah penyakit seperti kanker dan penyakit pernapasan bisa disebabkan oleh partikel sangat halus tersebut.
Melihat data polusi PM2,5 di Jakarta yang masih sangat tinggi tersebut, Bondan Andriyanu, Juru Bicara Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengaku tak heran. Ia menunjukkan publikasi Greenpeace Indonesia pada Oktober 2017 yang menempatkan Jakarta dikepung oleh sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pada radius 100 kilometer.
PLTU berbahan bakar batubara saat itu sejumlah 5 PLTU telah beroperasi dan 6 PLTU baru. Pada sejumlah kesempatan, pihak KLHK selalu membantah asap PLTU ini bisa mencemari hingga Jakarta. Diduga PM2,5 berasal dari aktivitas konstruksi. Meski demikian, kondisi pandemic Covid-19 dimana kegiatan konstruksi berhenti ternyata polusi PM2,5 tetap terjadi.
“Meski langit Jakarta terlihat lebih cerah ketika diberlakukan WFH dan PSBB, tetapi emisi dari salah satu sumber pencemar yaitu PLTU bisa jadi tidak mengalami pengurangan yang signifikan,” kata Bondan.
Langit biru Jakarta di masa pandemi seakan menutupi selubung yang disebabkan PM2,5 beterbangan di atmosfir. Virus corona tak mampu membersihkan 100 persen bumi dari polusi. Biarlah manusia dengan segala akal budinya mau bertindak nyata membersihkan bumi melalui kenormalan baru yang lebih ramah lingkungan. Selamat hari lingkungan hidup.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 5 Juni 2020