Laki-laki Perlu Lebih Patuhi Protokol Kesehatan

- Editor

Sabtu, 18 Juli 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dengan kondisi biologis dan sosial pada laki-laki, upaya menjadikan kaum adam lebih patuh pada aturan kesehatan membutuhkan pendekatan tersendiri. Pun itu pada lelaki matang, remaja, dan bocah.

Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk mematuhi aturan apapun, termasuk protokol kesehatan Covid-19. Namun, persoalan hormonal dan beban sosial budaya membuat laki-laki lebih abai aturan.

Guna mencegah penularan dan penyebaran Covid-19 di tengah ketidakjelasan akhir pandemi, termasuk saat memasuki era normal baru, pemerintah menggencarkan anjuran perilaku di tempat publik, mulai dari memakai masker, rajin cuci tangan, hingga menjaga jarak 1-2 meter jika terpaksa harus keluar rumah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Meski protokol kesehatan itu sudah disebar melalui berbagai cara dan media bersama ancaman bahaya korona, nyatanya tidak semua orang mematuhinya. Survei daring Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap 87.379 responden pada 13-20 April 2020 menunjukkan perempuan lebih patuh pada anjuran pencegahan korona pada semua aspek.

“Perempuan memiliki perilaku yang lebih baik dibanding laki-laki dalam menjalankan protokol kesehatan,” kata Kepala Subdirektorat Inidkator Statistik BPS Windhiarso Ponco Adi Putranto dalam webinar “Membedah Hasil Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19”, Sabtu (13/6/2020).

Dari survei tersebut, indeks kepatuhan laki-laki terhadap protokol kesehatan lebih rendah dibanding perempuan dalam semua aspek, seperti memakai masker, cuci tangan dengan sabun 20 detik, menghindari jabat tangan dan antrean, hingga peduli gejala korona.

Sikap laki-laki yang dianggap cukup baik karena memiliki nilai indeks sama atau lebih dari 80 persen hanya pada aspek menjaga jarak saat beraktivitas di luar rumah dan menghindari transportasi umum. Meski demikian, tingkat kepatuhannya tetap lebih rendah dari perempuan.

Meski demikian, sejumlah psikolog berpendapat hal itu tidak dapat dikatakan laki-laki memiliki tingkat kepatuhan lebih rendah dibanding perempuan. Sejumlah studi lintas budaya dan waktu menunjukkan peluang laki-laki dan perempuan untuk mematuhi sebuah aturan sama besar.

“Tidak ada perbedaan kognitif antara laki-laki dan perempuan dalam mematuhi aturan. Namun persoalan hormonal dan tuntutan sosial budaya membuat laki-laki cenderung mengambil perilaku berisiko dan perempuan lebih berhati-hati,” kata psikolog kognitif dari Fakultas Psikolos Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Galang Lufityanto, Selasa (14/7/2020).

Hal senada diungkapkan dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Depok, Wahyu Rahardjo yang banyak meneliti perilaku laki-laki. Meski survei BPS menunjukkan laki-laki kurang patuh terhadap protokol kesehatan Covid-19, namun laki-laki punya peluang yang sama dengan perempuan untuk mematuhi anjuran tersebut.

Terlebih, “Perbedaan nilai persentase kepatuhan antara laki-laki dan perempuan tidak terlalu besar hingga kesimulan perempuan lebih patuh dari laki-laki tidak kuat,” katanya.

Dalam budaya patriarki yang kuat, laki-laki dituntut bertanggung jawab memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Bagi laki-laki, bekerja mencari nafkah adalah keharusan, bukan pilihan. Karena itu, meski pemerintah menyarankan lebih banyak di rumah selama pandemi, sebagian laki-laki tetap beraktivitas di luar rumah untuk bekerja meski berisiko tertular korona.

Perilaku laki-laki juga banyak didasari atas pertimbangan kognisi, sedang perempuan lebih pada afeksi atau emosi. Akibatnya, saat perempuan ingin beaktivitas di luar rumah, banyak hal dipikirkannya, bukan hanya keselamatan diri sendiri, tetapi juga kesehatan orang lain di rumah, baik itu anak, suami, atau orangtua yang bisa tertular korona dari dirinya yang bisa jadi tidak bergejala.

“Pertimbangan laki-laki tidak sejauh perempuan. Laki-laki cenderung mengambil hal yang praktis dan tetap membuat mereka nyaman,” tambah Wahyu.

Bagi banyak laki-laki, terus memakai masker, bolak balik cuci tangan, adalah tindakan yang menyebalkan, tidak praktis. Laki-laki juga cenderung berpikir mana yang memberikan untuk lebih besar bagi dirinya, seperti antara tinggal di rumah atau bekerja di luar rumah, serta antara mati karena korona atau kelaparan.

Perbedaan dalam mengambil putusan, apakah didasari pertimbangan kognisi atau afeksi, sangat dipengaruhi oleh hormon testosteron. Kadar testosteron dalam tubuh laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Banyaknya testosteron juga membuat laki-laki lebih berani mengambil risiko.

Sikap terhadap pengambilan risiko itu juga terlihat dalam perilaku ekonomi. Teori loss aversion dari Daniel Kahneman memang menyebut manusia cenderung mengambil peluang yang membuatnya tidak kehilangan sesuatu daripada mengambil peluang yang membuatnya mendapat sesuatu. Namun jika dikaitkan gender, teori itu memiliki ekspresi berbeda.

Orang yang memiliki testosteron lebih banyak, lanjut Galang, umumnya memiliki sikap positif terhadap risiko atau risk taker, artinya lebih ingin menghadapi risiko. Sementara orang dengan testosteron lebih sedikit, umumnya cenderung menghindari risiko atau risk averse.

“Dalam sejumlah studi, risk averse lebih banyak ditemukan pada perempuan,” kata Galang.

Sikap yang lebih ingin menghadapi risiko itu, tambah Wahyu, membuat laki-laki memiliki daya tahan lebih tinggi terhadap tekanan otoritas, khususnya pihak yang menegakkan protokol kesehatan. Tekanan yang diterima untuk mematuhi aturan justru kerapkali memunculkan perlawanan atau agresi yang lebih nyata dibanding pada perempuan.

Selain itu, psikolog klinis dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Adityamarwan Menaldi seperti dikutip Kompas, 25 Juni 2020, mengatakan kepatuhan seseorang menjalankan protokol kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat kerentanan, keparahan, keuntungan dan hambatan yang dirasakan terhadap Covid-19.

Masyarakat umumnya baru menganggap berbahaya jika ada keluarga atau orang di sekitar mereka sakit atau meninggal akibat korona. Mereka juga akan patuh dengan himbauan kesehatan jika tahu manfaatnya dalam jangka panjang tetapi juga tak memiliki hambatan terkait kondisi ekonomi saat ini.

Mendorong patuh
Dengan kondisi biologis dan sosial laki-laki seperti itu, maka untuk menjadikan laki-laki lebih patuh pada aturan kesehatan membutuhkan pendekatan yang berbeda. Jika persoalan yang membuat laki-laki kurang patuh adalah ekonomi, maka kebijakan ekonomi yang mendukung aturan kesehatan perlu didorong.

“Salah mengomunikasikan dampak korona, protokol kesehatan atau pentingnya deteksi dini, bisa menjadi bumerang dalam upaya mengendalikan penyebaran korona,” kata Galang.

Selain itu, figur yang memiliki otoritas yang dihormati dan didengar suaranya oleh laki-laki perlu dihadirkan. Figur otoritatif bagi laki-laki itu bisa berupa pemuka agama, istri, mertua, anak, teman dekat atau pimpinan mereka di kantor.

“Dalam situasi seperti ini, tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah untuk mencegah penyebaran korona, semua pihak harus terlibat,” tambah Wahyu.

Pendekatan dengan menggunakan figur otoritatif itu mungkin hanya cocok untuk laki-laki dewasa yang sudah bekerja. Namun untuk mendorong laki-laki yang lebih muda, seperti siswa atau remaja, butuh pendekatan yang berbeda pula. Terlebih anak muda generasi Z atau generasi Phi memiliki pola pikir yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya.

Untuk laki-laki muda, Wahyu menyarankan menggabungkan himbauan kesehatan dengan gaya hidup (lifestyle), seperti fashion atau mode. Bukan hanya dengan membuat masker dengan desain unik sesuai tren yang digemari anak muda saat ini, namun sosialisasinya pun lebih mengarah bahwa: penampilan lebih keren dengan menggunakan masker.

Namun untuk anak balita atau usia SD, orangtua berperan besar dalam memaksa anak laki-laki mereka mau mematuhi protokol kesehatan saat berada di luar rumah. Pemberian pemahaman tentang pentingnya penggunaan masker serta dampaknya pada orang lain bila terinfeksi korona perlu disesuaikan dengan perkembangan kognitif mereka. Penyampaian penghargaan dan sanksi juga diperlukan untuk mendorong kepatuhan mereka terhadap aturan yang diberikan.

Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 18 Juli 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB