Tanda-tanda dan dampak perubahan iklim berupa kenaikan permukaan laut, hilangnya es, cuaca ekstrem, hingga peningkatan suhu mengalami penguatan. Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer juga mencapai rekor tertinggi dan kebakaran hutan di Indonesia turut berkontribusi terhadap emisi.
Laporan Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorologi Organization/WMO) tentang Iklim Global pada 2015-2019 yang dirilis hari ini Selasa (23/9) menyebutkan, suhu rata-rata global telah meningkat 1,1 derajat celsius sejak periode pra-industri, dan sebesar 0,2 derajat celsius dibandingkan periode 2011-2015. Kajian dikeluarkan dalam rangka Konfrensi Tingkat Tinggi Aksi Iklim-Perserikatan Bangsa-Bangsa.
–Tren kenaikan suhu globa sejak tahun 1850. Sumber: WMO
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Disebutkan, konsentrasi gas rumah kaca selama 2015-2019 telah meningkat secara konsisten dan mencapai rekor tertinggi. Kadar karbon dioksida (CO2) telah bertambah 20 persen dibandingkan lima tahun sebelumnya. Padahal begitu terlepas di atmoafer, CO2 akan tetap berada di atmosfer selama berabad-abad dan bahkan di lautan akan lebih lama lagi.
Data awal pengamatan gas rumah kaca tahun 2019 menunjukkan konsentrasi global CO2 bisa melebihi 410 bagian per meter (ppm) di akhir 2019. “Penyebab dan dampak perubahan iklim meningkat,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas, yang juga ketua bersama Kelompok Penasihat Sains KTT Iklim PBB.
“Kenaikan permukaan laut telah mengalami percepatan. Kami khawatir penyusutan mendadak lapisan es Antartika dan Greenland akan memperburuk kenaikannya di masa depan. Seperti yang telah kita lihat tahun ini dampak tragis kenaikan mula air laut dan badai tropis di Bahama dan Mozambik, kenaikan permukaan laut dan badai tropis yang hebat menyebabkan bencana kemanusiaan dan ekonomi,” katanya.
Selama periode lima tahun Mei 2014 -2019, tingkat kenaikan permukaan laut rata-rata global telah mencapai 5 mm per tahun, dibandingkan dengan 4 mm per tahun pada periode 2007-2016. Kenaikan ini jauh lebih cepat daripada tingkat rata-rata global sejak 1993 sebesar 3,2 mm per tahun. Laju kenaikan permukaan laut ini terutama disumbang oleh pencairan es dari gletser dunia yang meningkat dari waktu ke waktu.
Menurut Taalas, tantangan ke depan sangat besar. Selain mitigasi perubahan iklim, ada kebutuhan yang semakin besar untuk beradaptasi.
Laporan Komisi Adaptasi Global baru-baru ini menyebutkan, cara paling ampuh beradaptasi ialah berinvestasi dalam layanan peringatan dini, dan memberi perhatian khusus pada ramalan berbasis dampak.
“Sangat penting bagi kita mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama dari produksi energi, industri, dan transportasi. Ini sangat penting jika kita ingin mengurangi perubahan iklim dan memenuhi target yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris,” katanya.
Untuk menghentikan kenaikan suhu global lebih dari 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, upaya yang dilakukan harus digenjot perlu tiga kali lipat. Sedangkan untuk membatasi kenaikan menjadi 1,5 derajat, perlu upaya keras lima kali lipat.
Kebakaran hutan
Laporan WMO ini juga menyebutkan, kebakaran hutan sangat dipengaruhi oleh fenomena cuaca dan iklim. Sebaliknya, kebakaran hutan juga memperparah perubahan iklim. Kekeringan telah meningkatkan risiko kebakaran hutan di sebagian besar wilayah hutan, dengan pengaruh yang sangat kuat pada kebakaran jangka panjang. Tiga kerugian ekonomi terbesar yang tercatat dari kebakaran hutan semuanya terjadi dalam empat tahun terakhir.
Dalam banyak kasus, kebakaran telah menyebabkan pelepasan karbon dioksida ke atmosfer secara besar-besaran. Musim panas 2019, terjadi kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya di wilayah Arktik.
Selama bulan Juni saja, kebakaran di Arktik ini memancarkan 50 megaton (Mt) karbon dioksida ke atmosfer. Jumlah ini lebih besar dari yang dikeluarkan kebakaran Kutub Utara pada bulan yang sama selama 2010 hingga 2018 jika ditotal. Selain itu, kebakaran hutan besar-besaran juga terjadi di Kanada dan Swedia pada tahun 2018. Kini, kebakaran yang meluas di hutan hujan tropis di Amazon dan di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, luasan lahan yang terbakar di Indonesia dari Januari hingga akhir Agustus 2019 lalu telah mencapai 328.724 hektar (ha). Sebanyak 27 persen atau 89.563 ha merupakan lahan gambut
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO–Sejumlah petugas dari Tim Manggala Agni bersama TNI-Polri berusaha memadamkan salah satu lokasi dari lima lokasi kebakaran lahan gambut di Kelurahan Kereng Bangkirai, Kecamatan Sabangau, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah Kamis (14/8/2014) siang. Sekitar 5 hektar lahan diduga sengaja dibakar warga untuk membersihkan semak belukar. Pemadaman terhambat oleh sulitnya akses jalan untuk menjangkau titik api dan minimnya sumber air. KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Terbentuk selama ribuan tahun, karbon yang tersimpan di lapisan gambut yang padat dilepaskan saat terbakar. Hal ini menyebabkan tingkat emisi CO2 dari gambut yang terbakar jauh lebih besar dan berkontribusi terhadap perubahan iklim global.
Kondisi itu menjelaskan mengapa kebakaran di Asia Tenggara, khususnya Indonesia yang memiliki lahan gambut tropis terbesar, menurut data NASA Earth Observatory telah menyumbang 8 persen emisi karbon global dan 23 persen emisi metana. Padahal, dari luasan yang terbakar hanya menyumbang 0,6 persen dari total kebakaran lahan dan hutan di dunia.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 25 September 2019