Laju pemanasan global kian cepat dan mengkhawatirkan. Pengurangan emisi gas rumah kaca menjadi kunci untuk mengerem laju pemanasan ini.
Laju pemanasan global semakin cepat dan dikhawatirkan meningkatkan frekuensi cuaca ekstrem. Suhu permukaan Bumi meningkat tertinggi pada tahun 2014-2016 dan berkontribusi pada lebih dari 25 persen dari total kenaikan suhu global dalam satu abad terakhir.
Lonjakan kenaikan suhu global itu dilaporkan dalam jurnal edisi daring Geophysical Research Letters pada Rabu (24/1). ”Paper kami yang pertama menghitung lonjakan suhu ini dan menjelaskan kenapa hal itu terjadi. Pemanasan global telah mengalami percepatan,” kata Jianjun Yin, profesor Ilmu Kebumian dari Universitas Arizona, Amerika Serikat, penulis pertama paper ini, dalam siaran pers.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Suhu permukaan Bumi rata- rata naik 0,9 derajat celsius dari tahun 1900 hingga 2013. Dengan menganalisis catatan suhu global, Yin dan tim menemukan, hingga akhir 2016 terjadi lonjakan penambahan temperatur 0,24 persen. Jadi, hanya dalam tiga tahun suhu global meningkat lebih dari 25 persen dari total penambahan suhu sejak 1900.
”Sebagai ilmuwan iklim, kami terkejut dengan fakta atmosfer Bumi menghangat secepat itu,” kata Jonathan Overpeck, anggota tim dari Universitas Michigan.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Para aktivis Greenpeace Indonesia berunjukrasa di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Rabu (7/6/2017). Mereka memprotes mundurnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris. Negara-negara yang terlibat dalam Kesepakatan Paris diharuskan mengurangi emisi karbon yang rentan membuat perubahan iklim atau pemanasan global.
Lonjakan pemanasan suhu pada 2014-2016 berbarengan dengan cuaca ekstrem di dunia, termasuk gelombang panas, kekeringan, banjir, pencairan es kutub, dan pemutihan karang. ”Riset baru menunjukkan variabilitas alami di sistem iklim tak cukup menjelaskan kenaikan suhu tahun 2014-2016,” kata Cheryl Peyser dari Universitas Arizona.
Dalam paper mereka disebutkan, lonjakan kenaikan suhu permukaan global ini karena terjadi pelepasan panas dalam jumlah besar dari lautan. Pada kurun 2015-2016 terjadi siklus El Nino kuat di Samudra Pasifik.
Dalam kondisi El Nino, terjadi pelepasan panas dari laut. Namun, besarnya panas yang dilepas lautan kali ini mengindikasikan ada penyebab lain. Yin dan tim menyimpulkan, itu karena emisi gas rumah kaca meningkat.
Kenaikan suhu permukaan Bumi melambat pada 1998-2013, tetapi efek gas rumah kaca telanjur memanaskan lautan, terutama di Samudra Pasifik. Maka, saat terjadi El Nino kuat pada 2015-2016, terjadi tambahan energi panas terlepas. ”Penurunan emisi gas rumah kaca menjadi kunci pengurangan risiko bencana (iklim) ke depan,” kata Yin.
Peringatan
Kepala Laboratorium Data Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan Widodo Pranowo, Kamis (25/1), di Jakarta, mengatakan, kajian peneliti internasional ini penting untuk diperhatikan pengambil kebijakan terkait komitmen global menekan emisi gas rumah kaca. ”Ini menunjukkan faktor antropogenik, atau ulah manusia, dominan dalam memicu pemanasan global,” ujarnya.
El Nino yang ditandai anomali suhu panas di Samudra Pasifik dibandingkan perairan sekitar terjadi ribuan tahun. El Nino di Indonesia menyebabkan musim lebih kering.
”Periode El Nino tahun 2016 tinggi, tetapi bukan terparah. Namun, kenapa lonjakan pemanasan suhu baru terjadi 2014-2016? Saya sepakat dengan tim pada paper itu, ada faktor lain pemicunya, yakni emisi gas rumah kaca,” katanya. Dalam 100 tahun terakhir, El Nino terparah terjadi pada 1905, disusul tahun 1896, 1940, 1982, 1987, 1994, dan 1997.
Kajian terpisah oleh peneliti iklim maritim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menemukan, suhu muka laut di Laut Jawa dan Samudra Hindia memanas hingga 0,6 derajat celsius dalam 50 tahun terakhir. Selain menyebabkan penurunan oksigen terlarut di laut, kenaikan suhu ini diduga memicu kian sering dan kuatnya siklon tropis. Jika sebelumnya pemanasan muka laut fluktuatif, setelah 1960-an kenaikannya terjadi progresif 0,01-0,02 derajat celsius per tahun. (AIK)
Sumber: Kompas, 26 Januari 2018