Persoalan obesitas atau kegemukan umumnya dilihat sebagai masalah penduduk di perkotaan. Namun, studi yang dilakukan di 200 negara menentang pandangan ini dengan menunjukkan bukti bahwa laju kenaikan berat badan lebih dominan terjadi di daerah perdesaan dan di kalangan ekonomi rendah serta menengah.
NCD Risk Factor Collaboration, yaitu jaringan ilmuwan kesehatan dunia terkait risiko penyakit tidak menular (non-communicable diseases). Jaringan ini merupakan kolaborator Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hasil kajian dipublikasikan di jurnal Nature pada 8 Mei 2019.
Dalam kajian ini, tim peneliti menggunakan 2.009 studi berbasis populasi dengan pengukuran tinggi dan berat badan pada lebih dari 112 juta orang dewasa. Data yang dianalisis meliputi tren nasional, regional, dan global indeks massa tubuh (body mass index/BMI) rata-rata yang dipilah berdasarkan tempat tinggal di daerah perdesaan atau perkotaan mulai dari 1985 hingga 2017.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/AHMAD ARIF–Seoang ibu dan anak di pedalaman Kampung Saga, Sorong Selatan, Papua Barat, membeli makanan instan di jolor-jolor atau warung di atas perahu. Tren global menunjukkan, tingkat obesitas lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di perkotaan, salah satunya karena kemudahan akses terhadap makanan instan.
Hasilnya menunjukkan, bertentangan dengan pandangan dominan, lebih dari 55 persen kenaikan global dalam BMI rata-rata dari tahun 1985 hingga 2017 terjadi di daerah perdesaan. Data juga menunjukkan, lebih dari 80 persen tren kenaikan BMI terjadi di beberapa daerah berpenghasilan rendah dan menengah.
Di beberapa negara berpenghasilan rendah dan menengah terjadi pengecualian tren, terutama untuk perempuan. Di Afrika sub-Sahara, misalnya, kenaikan BMI untuk perempuan cenderung lebih rendah dibandingkan di perkotaan. Namun, rata-rata di daerah perdesaan, terutama di negara-negara berpenghasilan tinggi dan negara industri, secara konsisten BMI perdesaan lebih tinggi, terutama untuk perempuan.
Pendekatan terpadu
Ada kebutuhan mendesak untuk pendekatan terpadu terhadap gizi perdesaan yang meningkatkan akses finansial dan fisik ke makanan sehat, untuk menghindari menggantikan kerugian kekurangan gizi perdesaan di negara-negara miskin dengan kerugian gizi buruk yang lebih umum yang memerlukan konsumsi kalori berkualitas rendah yang berlebihan.
Barry M Popkin, ahli nutrisi dari University of North Carolina, dalam analisisnya di Nature menyebutkan, studi tentang obesitas dengan data luas ini telah mengubah perspektif dalam memahami obesitas yang kini menjadi persoalan global. Data dari kajian ini menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat di perdesaan sudah menyerupai masyarakat di daerah perkotaan karena persediaan makanan modern sekarang ada di mana-mana.
Penyebab lain, menurut Popkin, terjadi mekanisasi pertanian dan transportasi bermotor di daerah perdesaan yang mengurangi kegiatan fisik penduduk di perdesaan. Dalam beberapa kasus, konsumsi makanan olahan siap saji pada masyarakat perdesaan dan kalangan miskin atau menengah juga lebih tinggi.
Disebutkan, ada kecenderungan penduduk miskin di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah cenderung memberi bayi makanan-makanan instan atau siap saji. Fenomena ini juga terjadi secara masif di perdesaan.
”Kelaparan pedesaan, pertumbuhan kerdil, dan tengkes dengan cepat digantikan kelebihan berat badan dan obesitas di mayoritas wilayah, kecuali Afrika sub-Sahara, Asia Selatan, dan sejumlah kecil negara,” kata Popkin.
Temuan ini mendasar karena program dan kebijakan pencegahan obesitas pada umumnya difokuskan di perkotaan. Sebagian besar populasi perdesaan telah diabaikan. Padahal, persoalan rawan nutrisi, terutama obesitas, ternyata juga terjadi secara masif di perdesaan.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 13 Mei 2019