Tahun 2017, Indonesia dikenal sebagai pengemisi gas rumah kaca ketiga di dunia. Itu karena lahan gambut terbakar. Empat bulan terakhir, gambut juga menjadi “lakon utama” drama asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan. Dan memadamkan kebakaran di lahan gambut memiliki tingkat kesulitan amat tinggi dengan kebutuhan air yang luar biasa banyak.
Gambut merupakan ekosistem unik yang terbentuk ribuan tahun. Menurut Kepala Center for International Co-operation in Sustainable Management of Tropical Peatland Universitas Palangkaraya Suwido Limin, lahan gambut seperti bekas sungai berusia sekian juta tahun atau danau yang tertutup biomassa tumbuhan.
“Itu proses alamiah. Umur gambut di barat Palangkaraya, di antara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan, di laboratorium alam hutan gambut (LAHG) yang merupakan pusat riset gambut tropika, kami gali 10 meter. Kami ukur usianya dengan C14, ternyata usianya hampir 10.000 tahun, pada sampel dari kedalaman 10 meter. Rata-rata usianya 9.600 tahun,” ujar Suwido, Selasa (13/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ciri lahan gambut, yaitu berupa tumpukan daun, ranting, dan dahan yang tidak melapuk total karena terendam air. Tumpukan daun, ranting, dan dahan itu telah berlangsung ribuan tahun. “Jasad renik pembusuknya terbatas jumlahnya, jadi awet, tetap berupa daun, ranting, dan dahan,” ujar Suwido.
Pakar gambut dari Universitas Gadjah Mada, Azwar Maas, menyebut ada dua jenis gambut, yaitu gambut topogen (tidak berkubah) dan gambut ombrogen (berkubah).
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN–Tim pemadam dari Koramil 01/Suak Kandis bahu-membahu dalam operasi pemadaman dan pendinginan gambut terbakar di wilayah konsesi hak pemanfaatan hutan (HPH) PT Putra Duta Indah Wood, Pematang Raman, Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Rabu (14/10). Pemadaman lahan gambut terbakar hampir tak pernah memulihkan kondisinya yang sangat unik sehingga menjaga gambut tetap basah menjadi kerja keras yang patut terus diupayakan.
Kubah gambut merupakan tempat penyimpan air. “Kalau kanal dibuat tembus sampai ke sungai, air kubah akan meluncur ke sungai,” tutur Harris Gunawan, Direktur Pusat Studi Kebencanaan Universitas Riau. Ia menambahkan, “Secara alamiah, air pada lahan gambut itu dinamis. Kapan air naik dan kapan turun sudah alamiah terjadi.”
Ketinggian kubah, jelas Harris, bisa dikatakan berkisar 3-17 meter dengan ketebalan 8-12 meter. Kedalaman gambut juga amat bervariasi. Bahkan, pada satu bentangan.
Penurunan
Penggalian kanal di lahan gambut, menurut Suwido, yang saat ini setiap hari bertarung dengan api di lahan gambut Kalimantan, amat berisiko terhadap kebakaran. “Kanal yang dibuat langsung ke sungai akan menurunkan permukaan air tanah. Terutama di sekitar kubah, airnya akan turun banyak,” ujarnya.
“Pada proyek pengembangan lahan gambut (PLG) tahun 1980-an, kami ukur turunnya lebih dari 200 sentimeter. Pada kondisi seperti itu, dalam tiga sampai lima bulan gambut akan kering,” ujar Suwido.
Gambut kering ibarat bahan bakar, amat mudah terbakar. “Sekali gambut terbakar bisa menjalar ke mana-mana,” tambahnya. Belum lagi ada pori-pori mikro (microporous) pada gambut. “Tanpa kanal pun, jika sungainya rusak, air akan mengalir ke sungai,” ujarnya.
Lebar kanal ada yang lebih dari 10 meter karena biasanya untuk transportasi dari kawasan hutan tanaman industri untuk mengangkat kayu akasia. “Kedalamannya bisa mencapai sekitar 7 meter,” kata Harris.
Saat menjadi kering, proses pembusukan berlangsung lebih cepat karena jenis dan jumlah mikroorganisme yang semula terhambat air bertambah. “Pelapukan berlangsung lebih cepat sehingga emisi gas karbon dioksida juga lebih cepat,” jelasnya.
Butuh banyak air
Kebakaran di lahan gambut pada musim kemarau sulit dipadamkan. Sebab, dasar api tidak kelihatan karena ada di bawah permukaan gambut.
“Pembakarannya tidak sempurna sehingga menghasilkan banyak asap. Karena itu, pemadamannya butuh air sangat banyak,” tambah Harris.
Menurut dia, api yang sudah masuk 30 sentimeter-50 sentimeter di bawah permukaan butuh 200-400 liter air untuk memadamkan area seluas 1 meter persegi. “Memadamkan 4 hektar dengan 16 orang, hampir 1 juta liter air yang kami butuhkan,” ujar Suwido yang membentuk Tim Serbu Air yang memadamkan api langsung di lahan gambut. Air didapatkan dari mengebor gambut hingga sedalam 24 meter.
Pengeringan lahan gambut menyebabkan tanah jadi kompak (padat), menyusut, sehingga permukaan lahan gambut pun turun (subsidence).
Kanal kecil
Menurut Suwido, masyarakat Dayak dari dulu tinggal di tanah mineral. Mereka menyebut lahan gambut sebagai uwap (tanah busa). Mereka membuat handel (kanal kecil) untuk alirkan air pasang surut ke sawahnya, tetapi tidak tembus ke lahan gambut.
“Paling hanya sampai yang disebut petak luwau yang tebalnya sekitar 50 sentimeter, yaitu tanah gambut yang sudah berasosiasi dengan tanah mineral. Agak becek-becek,” kata Suwido yang membuat sekat kanal dalam upaya memulihkan sebagian area lahan gambut pada PLG. Daerah-daerah yang dia sekat pernah dikunjungi Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan investor global George Soros.
Suwido dan Harris sependapat bahwa perintah Presiden Joko Widodo melalui surat edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar dilakukan kanalisasi harus dikaji dulu secara hati-hati. Semua kondisi kanal harus ditinjau ulang.
“Semakin kecil dan dangkal kanal, semakin sedikit air keluar. Kecil pula kemungkinan terbakar,” ujar Harris yang menekankan pentingnya modal sosial dalam pembuatan kanal.
Harris membangun kanal bersekat berbasis masyarakat yang diawalinya pada 2008. “Kohesi sosial penting, investasi sosial itu mahal,” ujarnya.
Menurut dia, untuk kanal bersekat, perusahaan harus melibatkan masyarakat yang berbatasan dengan lahan konsesinya. Yang pasti, kanal yang sudah ada. “Perlu dievaluasi. Intinya adalah mempertahankan neraca air,” kata Harris.
Suwido mengatakan, “Kita kaji bersama instruksi Presiden sebelum telanjur keliru.” Adapun Harris menegaskan, “Gambut itu nomenklaturnya adalah rawa, berair.”–BRIGITTA ISWORO LAKSMI DAN ICHWAN SUSANTO
————————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Oktober 2015, di halaman 14 dengan judul “Basah Terjaga, Asap Pun Tiada”.